Skip to main content

Posts

Showing posts from 2020

Bumi Ini Berharga

Image by Bob Bello from Pixabay Bagaimana Tuan dapat membeli atau menjual langit dan kehangatan tanah? Gagasan ini aneh bagi kami, kalau kami tidak memiliki udara yang segar dan air yang bergemericik. Bagaimana Tuan dapat membelinya? Pada tahun 1854, "Pemimpin Besar Orang Kulit Putih" yang berkedudukan di Washington menyatakan keinginannya untuk membeli tanah milik orang Indian yang luas dan berjanji akan memberi mereka "tanah perlindungan". Jawaban Kepala Suku Seattle berikut dianggap sebagai pernyataan mengenai lingkungan hidup paling indah yang pernah dibuat. Semuanya Keramat Bagi bangsa saya, setiap bagian dari bumi ini adalah keramat. Dalam ingatan dan pengalaman bangsa saya, setiap pucuk daun cemara yang berkilauan, setiap pantai berpasir, setiap kabut yang menyelimuti hutan nan gelap, setiap jengkal tanah terbuka dan serangga yang bergumam adalah sakral. Sari kehidupan yang mengalir di dalam pepohonan menyimpan ingatan orang kulit merah. Orang kulit putih ya

Keliling Sangeh dan Carangsari (Bagian 2)

Di tepian kolam, saya menghirup segarnya udara. Pemandangan di lembah Tukad Yeh Penet ini sangat asri. Rasanya begitu tersembunyi dari dunia luar. Sementara, kucuran dan gemericik air Beji Samuan berpadu dengan denting genta jero mangku.  Bersepeda Keliling Sangeh dan Carangsari (Foto oleh Alit Arimbhawa) Agama Tirta, Agama Asli Bali Menikmati suasana di petirtaan seperti ini, pikiran saya melayang tentang tradisi Bali. Tentang spiritualitas dan kepercayaan lokal orang-orang di pulau ini. Jika kita melihat lebih dalam, maka akan kita ketahui bahwa setiap kegiatan upacara keagamaan di Bali, selalu menggunakan air sebagai instrumen utama. Sebelum memulai, saat kegiatan, dan setelah selesai; air selalu digunakan. Suasana Beji Samuan di Lembah Tukad Yeh Penet Suasana Beji Samuan di Lembah Tukad Yeh Penet Dulu, kepercayaan orang-orang Bali disebut sebagai Agama Tirta. Yang artinya air suci. Karena selalu menggunakan air. Sebuah praktik laku kehidupan yang diamalkan oleh hampir seluruh manus

Keliling Sangeh dan Carangsari (Bagian 1)

Monyet ekor panjang itu asyik mengunyah nasi kuning di atas pohon. Yang didapatkannya dari dashboard mobil. Monyet itu pasti sangat menikmatinya. Pagi-pagi benar sudah dapat rejeki nomplok. Nasinya masih hangat. Lengkap dengan ayam suwir dan tempe oret manis. Belum lagi beberapa pisang goreng yang juga ikut dibawa kabur. Bersepeda keliling Sangeh dan Carangsari (foto oleh Alit Arimbhawa) Sementara itu. Di bawah pohon tempat si monyet menikmati sarapan. Saya dan Alit melihat peristiwa itu. Antara sedih dan tertawa. Sedih karena merasa sayang sekali makanan seenak itu dibawa kabur oleh para primata. Tertawa karena nasi itu adalah jatah Si Ufo, teman kami yang memang nasibnya cukup sial pagi ini. Ia terlambat berangkat. Sehingga nasi bungkus tak sempat ia makan sebelumnya. Niat mau dimakan di Sangeh, malah sarapan itu berakhir di tangan para penghuni hutan. Awal Mula Cerita Seusai insiden makanan diambil monyet, saya memulai perjalanan. Bersepeda cross country . Bersama Alit Arimbhawa yan

Catatan dari Dadia Arya Keloping Besang Kawan Tohjiwa

Di atas pintu gapura pura dadia keluarga besar saya di Klungkung, ada sebuah petunjuk waktu. Yang telah lapuk dimakan usia. Yang hanya menyisakan keterangan bulan dan tahun : Juni 1952. Bagi masyarakat Bali, pura dadia adalah pura keluarga besar. Tempat suci yang sangat penting. Tempat bersejarah. Tempat asal para leluhur. Sekaligus juga tempat pemujaan kepada Hyang Widhi, yang maha tunggal. Karena itulah, dalam berbagai kesempatan saya sering menanyakan perihal sejarah yang berhubungan dengan keluarga besar saya. Mencatatnya. Dengan tujuan memperpanjang ingatan dan menolak lupa. Termasuk sejarah tentang pura dadia saya ini : Pura Dadia Arya Keloping di Desa Besang Kawan Tohjiwa. Di Klungkung, Bali. Salah satu orang yang bercerita pada saya adalah I Ketut Nurana. Saya biasa memanggilnya dengan sebutan Pak Okoh. Ia adalah kakak ipar dari ayah saya. Termasuk anggota keluarga yang sudah sepuh. Dan tentunya menjadi saksi langsung di masa-masa tahun 1950-an. Tahun di

Piodalan Alit

Sukra Umanis Kelawu. Hari Jumat 19 Juni 2020, adalah hari upacara piodalan di pura dadia keluarga besar saya. Pura Dadia Arya Keloping, Besang Kawan Tohjiwa. Di Klungkung, Bali. Piodalan Alit Dadia Arya Keloping Besang Kawan Tohjiwa Ada yang tak biasa dari upacara kali ini. Yaitu tak meriah. Hanya dihadiri beberapa kerabat keluarga saja. Yang memang tinggal di sekitar pura. Kecuali saya yang dari Denpasar, anggota keluarga lainnya yang tinggal di luar Klungkung tak hadir. Termasuk pihak keluarga dari saudara perempuan kami yang telah menikah keluar, juga tak datang. Tak ada terpasang pengangge atau hiasan-hiasan layaknya upacara besar. Tak ada penjor . Tak ada babi guling. Tak ada iringan gamelan. Juga tak ada pedanda yang memimpin upacara. Hanya Jero Mangku keluarga yang menjadi pemuput. Semuanya terjadi karena saat ini masih musim pandemi virus corona, covid 19. Yang mana sudah diatur, bahwa segala jenis kegiatan keagamaan harus terbatas. Dibatasi secara jumlah orang

Ulang Tahun yang Salah?

Kota Klungkung Tempo Dulu  (gambar diambil dari internet) Hari ini, 28 April 2020, adalah hari ulang tahun Kota Klungkung. Atau lebih tepatnya : hari ulang tahun Kota Semarapura. Sebuah kota kecil di Bali bagian timur. Yang diresmikan namanya melalui sebuah peraturan pemerintah tahun 1992 silam. Sekarang, usia kota ini sudah mencapai 28 tahun. Umur yang masih muda. Jika menjadi pemain bola, ia sedang jaya-jayanya. Tapi ini sebuah kota. Bukan pemain bola. Umur segitu tentu belum apa-apa. Dan melihat umur yang masih muda ini, saya sedikit ragu dan bertanya. Tepatkah peringatan kelahiran Kota Klungkung atau Kota Semarapura di tanggal tersebut? Kalau dipikir-pikir dan menurut saya pribadi, yang hanya berkapasitas sebagai penyuka kisah-kisah sejarah, hal itu tidak tepat. Jika merunut kronologi garis waktu, istana Kerajaan Klungkung mulai dibangun pada tahun 1686 Masehi. Masa di mana istana sebelumnya di wilayah Gelgel telah hancur akibat pemberontakan. Saat itu, raja pertama y

Panggilan dari Dayeuhkolot

Teruntuk Alumni Kampus Putih Biru : Universitas Telkom Di kala pandemi corona terjadi, Bandung Selatan banjir lagi. Sungai Citarum meluap. Merendam tiga kecamatan : Dayeuhkolot, Bojongsoang, dan Baleendah. Ketinggian air sampai dengan dua meter. Membuat puluhan ribu warga mengungsi. Laporan BPBD, ada 98 ribu jumlah pengungsi. Dan pengungsian ini berlangsung di tengah epidemi virus corona. *** Tak jauh dari lokasi banjir, ada Universitas Telkom. Yang sejak pertengahan Maret lalu, imbauan untuk bekerja dan belajar dari rumah sudah dilakukan. Mahasiswa, dosen, dan seluruh pegawai berkegiatan di rumah. Belajar mengajar di rumah. Walaupun banyak yang berkegiatan dari rumah, masih ada yang tak bisa di rumah. Seperti misalnya tim keamanan : para satpam. Ada juga tim kebersihan : cleaning service maupun tukang kebun. Mereka semua masih tetap bertugas di kala yang lainnya berkegiatan dari rumah. Asrama mahasiswa, juga tak sepenuhnya sepi. Sebagian besar mahasiswa memang memilih

Benteng Terakhir

Semenjak pandemi corona ini berlangsung, sudah lama sekali saya tak pulang kampung. Biasanya seminggu atau dua minggu sekali saya pasti menyempatkan diri. Atau bahkan di waktu yang tak tentu. Hanya sekedar untuk melihat orang tua di rumah. Untuk mengobati kerinduan, saya lakukan hanya lewat komunikasi di telepon. Memantau kesehatan orang tua. Sambil bertanya apa saja kegiatan dan aktivitas mereka pada hari-hari belakangan ini. Saya mendapatkan kabar tentang ayah yang rajin panen ubi dan singkong. Memetik bayam dan buah pepaya. Yang pohon-pohon tersebut lagi rajin-rajinnya berumbi, berdaun, dan berbuah. Sampai-sampai bisa dijual ke pedagang-pedagang sayur. Di rumah saya di Klungkung, ayah saya yang pensiunan PNS memang rajin bertani. Menanam segala jenis tanaman di kebun samping rumah. Atau di sawah di desa. Juga memelihara ayam. Yang beberapa ada di dalam kandang. Dan beberapa lain dibiarkan berkeliaran. Ini adalah oleh-oleh dari desa, hasil kebun di rumah :  buah pisang, man

Nyepi Kali Ini (Dengan Corona)

Saat malam Nyepi yang gelap, bintang-bintang  di langit terlihat lebih terang, walaupun hanya dilihat dari teras rumah Nyepi kali ini rasanya sungguh berbeda. Bagaimana tidak. Sejak munculnya virus corona atau covid-19 dari Wuhan di Tiongkok pada Desember 2019 lalu, himbauan negara  pada masyarakatnya untuk waspada terus bergulir. Karena proses penularannya yang begitu cepat. Sehingga tak ada satu negara pun di dunia yang bisa dipastikan bersih dari virus ini. Membatasi jarak dengan sesama makin mengemuka dan menjadi-jadi. Karantina . Lock down . Social distancing . Istilah-istilah ini menjadi tak asing. Tak peduli untuk urusan tradisi atau keagamaan. Termasuk dalam menyambut hari raya Nyepi kali ini pada tanggal 25 Maret 2020 Masehi. Tahun baru Saka 1942. Tak hanya di Bali yang akan Nyepi. Hampir seluruh negara di dunia ‘ikutan’. Membatasi ruang gerak masyarakatnya. Beberapa malah melakukan lock down . Atau menutup akses secara total. Baik penutupan akses setingkat negara, p