"Ketika lari, saya sempat menyaksikan seorang ibu menyambar anak kecil yang terpaku diam. Namun belum sempat menyelamatkan diri, mereka telah ditimpa ombak besar itu hingga hilang. Saya berhasil mencapai bukit di belakang pelabuhan, meski di sana air sudah sepinggang saya."
Bandung, Dua Puluh Tahun yang Lalu
Demikian kisah salah satu saksi mata tsunami di Aceh, yang dituliskan dalam buku lawas garapan saya dan teman-teman pecinta alam di STT Telkom: Meniti Langkah – 25 Tahun Astacala. Saya masih ingat betul suasana kala itu, ketika banyak rekan di kampus berjibaku menjadi relawan dan berangkat ke Aceh: daerah yang sebelumnya dikenal rawan konflik, tapi kemudian luluh lantak oleh bencana.
Waktu itu, Desember 2004 di Bandung. Saya dan rekan-rekan Astacala sedang sibuk dalam kegiatan pendidikan dasar kepecintaalaman untuk mahasiswa baru. Jimi Piter, yang menjadi ketuanya, tiba-tiba memutuskan berangkat ke Aceh. Ia menjadi relawan bersama beberapa anggota lain. Sekretariat mendadak ramai dengan aktivitas tanggap bencana.
Saya tak memiliki banyak informasi tentang bencana yang sedang terjadi. Saat itu, saya hanya tahu bahwa ada gempa dan tsunami di Aceh. Itu saja. Berapa jumlah korban dan seberapa besar kerusakannya, hanya terdengar samar di telinga. Saya sangat jarang menonton televisi sejak kuliah. Membaca koran pun juga jarang. Belum ada media sosial yang seramai sekarang.
Perlahan saya menyadari, bencana itu bukan peristiwa biasa. Berskala nasional: jumlah korban jiwa sangat besar, kerugian harta benda sangat banyak, sarana vital hancur, wilayah terdampak luas, dan dampak sosial ekonominya parah. Pantas saja bendera setengah tiang berkibar di depan sekretariat. Saya pun kemudian ikut mendukung dan membantu teman-teman relawan yang berangkat di sela-sela kegiatan kepanitiaan.
Dan saya tak menyangka, dua puluh tahun setelah bencana itu terjadi, saya berkunjung ke daerah yang dulu begitu bergemuruh. Untuk menyaksikan masjidnya dari dekat, menghirup udara pesisirnya, serta memandangi jalan-jalan dan rumah-rumah yang dulu porak-poranda.
Lewat Lapangan Blang Padang
Hari telah beranjak siang. Usai ngopi di tepian Krueng Aceh, saya dan Irpan berpisah dengan Iqbal. Masih ada waktu sekitar dua jam sebelum waktu check-in di hotel yang kami pesan. Mengunjungi museum yang mengisahkan tsunami besar di kota ini, tentu tak boleh dilewatkan.
Maka Museum Tsunami Aceh pun kami tuju. Tapi waktunya tak tepat. Sepuluh menit lagi, museum akan tutup untuk jam istirahat. Daripada membayar tiket masuk lalu terburu-buru di dalam dengan waktu terbatas, kami memutuskan akan kembali lagi dua jam kemudian. Lebih baik makan siang dulu.
Kami berjalan kembali ke arah hotel sambil mencari warung untuk beristirahat. Melewati Lapangan Blang Padang yang tampak sejuk: luas, hijau, ditumbuhi rerumputan, dan dikelilingi pepohonan besar.
Di dekat gapura pintu masuk, terpasang pengumuman tentang ketentuan berpakaian sopan dan menutup aurat. Di beberapa titik, tampak gerobak makanan tertata rapi. Sepertinya pagi atau sore hari, lapangan ini ramai oleh orang-orang yang berolahraga atau berjalan santai. Tapi karena siang, suasananya cukup lengang.
Hal istimewa lainnya dari lapangan ini adalah replika Pesawat Dakota RI-001 Seulawah. Itu adalah pesawat angkut pertama milik Republik Indonesia yang dibeli dari sumbangan rakyat Aceh pada tahun 1948. Pesawat itu menjadi simbol kedaulatan bangsa sekaligus cikal bakal maskapai Garuda Indonesia.
Mendengar kisah tentang pesawat pertama ini, terasa ironis ketika mengingat bahwa Aceh kemudian sempat ingin merdeka. Pergantian kekuasaan dari Soekarno yang nasionalis ke Soeharto yang militeristik membawa perbedaan perlakuan pada daerah. Seperti yang saya tulis di kisah sebelumnya: Kota Serambi Mekah, di mana Aceh berdarah-darah oleh operasi militer bertahun-tahun sejak masa Orde Baru.
Museum PLTD Apung
Usai makan siang yang nikmat dan istirahat singkat di hotel, kami tak ingin menyia-nyiakan waktu di Banda Aceh. Walaupun mengantuk dan siang terasa terik, kami tetap bersemangat keluar. Niatnya: menuntaskan kunjungan ke beberapa titik penting.
Kami berjalan kaki menuju Museum PLTD Apung. Dari hotel, jaraknya sekitar tiga kilometer. Lumayan jauh. Melewati Masjid Raya Baiturrahman dan Lapangan Blang Padang lagi. Di tengah perjalanan, sempat terbersit niat memesan taksi daring, tapi urung dilakukan karena rasanya tanggung. Hingga akhirnya kami pun tiba.
Museum ini dulunya adalah kapal milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang berfungsi sebagai pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD). Dari sanalah nama museum berasal. Kapal ini melayani daerah-daerah dengan pasokan listrik terbatas. Dibuat di Batam, sempat beroperasi di Pontianak, Bali, dan Madura, hingga akhirnya di Aceh.
Dulu, saat konflik, sering terjadi sabotase jaringan listrik. Aparat menuding GAM sebagai pelaku, sementara GAM menuduh militer Indonesia. Entah siapa yang benar, yang pasti menyebabkan pemadaman berulang. Ketidakstabilan listrik di ujung barat Sumatera ini membuat pemerintah menyiagakan kapal PLTD tersebut di lepas pantai Aceh.
Namun naas tak dapat ditolak. Gempa besar mengguncang, lalu tsunami datang menghantam kapal yang sedang mengisi bahan bakar di Pelabuhan Ulee Lheue. Walau berbobot 2.600 ton dengan panjang 63 meter, gelombang besar menyeretnya sejauh lima kilometer. Kini kapal itu berada di Gampong Punge Blang Cut dan dijadikan museum sebagai wahana edukasi dan situs peringatan bencana.
Saya dan Irpan menyusuri halamannya. Kapal besar itu tampak menjulang di antara bangunan sekitar. Tiang dan cerobong asapnya masih utuh. Di sisi samping, terpasang tangga untuk naik ke dek. Dari luar, kapal itu tampak seperti gedung bertingkat.
Catnya yang dominan merah dan hitam mulai pudar, besi-besinya berkarat. Di lambung kapal terdapat penanda ketinggian air. Di tepian geladak, masih terpasang ban-ban peredam benturan. Saat menaiki tangga menuju dek, saya memandangi rumah-rumah di sekitar yang dibiarkan menjadi puing kenangan tsunami. Terbayang betapa dahsyatnya gelombang yang mampu menyeret kapal sebesar itu dan memporak-porandakan kota.
Kisah Faisal dan Deri
Di dalam kapal, terdapat banyak informasi tentang sejarah PLTD Apung dan kronologi tsunami Aceh dalam bentuk foto, video, infografis, dan animasi. Salah satunya adalah film dokumenter yang menampilkan Faisal — petugas kapal PLTD Apung yang saat kejadian tengah bersiap berangkat dari rumahnya di Gampong Punge Blang Cut.
Diceritakan, Faisal mendapat tugas jaga piket. Belum sempat berangkat, gempa berkekuatan 9,2 skala Richter mengguncang hebat. Ia keluar rumah, dan tak lama kemudian gelombang datang. Ia menyelamatkan diri dengan memanjat ke bangunan tinggi di dekat rumah.
Di tengah terjangan, Faisal melihat sebuah cerobong tinggi terseret air menuju arah Gampong Punge Blang Cut. Antara yakin dan ragu, pikirannya langsung terbayang kapal tempatnya bekerja. Keyakinannya bulat ketika kapal itu benar-benar mendekat. Ia yakin, itulah Kapal PLTD Apung.
Faisal terisak melihat rumah-rumah rata dengan tanah dan mayat-mayat berserakan di bawah kapal. Kapal itu berhenti karena tertahan pondasi rumah, dan juga karena gelombang mulai surut. “Hari itu saya yang seharusnya ke kapal, malah kapal yang datang ke rumah saya,” ujarnya.
Saat kejadian, ada tujuh dari tiga belas pegawai yang berada di kapal. Dari tujuh itu, hanya satu yang selamat, namanya Deriansyah. Selebihnya hilang dan tak pernah ditemukan hingga kini.
Ketika laut surut pasca gempa, Deri dan kawan-kawannya turun ke darat karena kapal miring. Saat gelombang besar datang, mereka terpisah. Deri selamat karena berpegangan pada pelampung dan puncak cerobong kapal.
Museum Tsunami Aceh
Dari Museum PLTD Apung, kami berpindah ke museum lain: Museum Tsunami Aceh. Museum ini adalah salah satu landmark paling ikonik selain Masjid Baiturrahman. Letaknya di seberang timur laut Lapangan Blang Padang. Karena lelah dan cuaca panas, kami menyewa taksi daring untuk ke sana.
Dari luar, bangunan museum tampak modern dengan sentuhan tradisional: tiang-tiang kokoh seperti rumah panggung dan dinding bermotif anyaman bambu. Usut punya usut, arsiteknya adalah Ridwan Kamil, mantan Wali Kota Bandung sekaligus mantan Gubernur Jawa Barat. Karyanya ini terpilih setelah memenangkan sayembara internasional tahun 2007 dalam rangka peringatan tsunami Aceh.
Lantai dasar museum yang terbuka dipenuhi pengunjung. Orang tua membawa anak-anak, wisatawan lokal maupun mancanegara. Sebuah grup musik memainkan lagu-lagu keroncong modern, menambah semarak suasana akhir pekan.
Setelah membayar tiket, kami masuk melalui lorong sempit dan remang, dengan air jatuh di sisi kiri-kanannya. Suaranya bergemuruh. Lorong ini dimaksudkan untuk menghadirkan kembali suasana mencekam saat tsunami.
Setelah keluar dari lorong, kami tiba di ruang foto. Dindingnya gelap, dihiasi potret-potret kehancuran pasca tsunami. Lalu ada ruang berbentuk menara silinder bernama The Light of God. Di dalamnya cahaya menyorot ke atas menuju lubang bertuliskan lafaz Allah, sementara dindingnya dipenuhi nama-nama korban tsunami.
Selanjutnya, jalur pengunjung mengarah ke lantai atas, melalui lorong dengan plakat bertuliskan Asmaul Husna. Di ruang berikutnya dipamerkan benda-benda peninggalan: Alquran yang lecek karena terendam air, sepeda motor rusak, hingga berbagai diorama tentang upaya pemulihan Aceh.
Ujung jalur museum membawa kami kembali ke ruang terbuka dengan pameran foto-foto tsunami. Ratusan karya fotografer dari berbagai penjuru negeri terpajang rapi. Melihatnya satu demi satu, menimbulkan rasa kagum sekaligus ngeri. Membayangkan kedahsyatan bencana dan betapa kecilnya manusia di alam semesta.
Kopi Sanger Bersama Turki
Sore pun menjelang. Malam turun di sela alunan azan magrib yang menggema di seantero kota. Saya dan Irpan kembali ke Hotel Portola Arabia. Hujan turun deras. Dari jendela kamar, saya memandangi gemercik air yang berjatuhan di halaman. Sesekali kilat menyambar di langit. Rencana bertemu teman malam itu terpaksa batal. Makan, mandi, dan istirahat jadi pilihan paling masuk akal.
Di Aceh, saya punya cukup banyak teman. Salah satunya: Yuli Martunis, atau akrab dipanggil Turki. Ia asli dari Banda Aceh, kakak kelas saat kuliah tapi adik angkatan di Astacala. Kini bekerja sebagai aparatur negara di kota ini. Pagi-pagi benar, ia sudah datang ke hotel.
“Halo Gejrot, apa kabar? Lama tak jumpa!” sapanya dengan senyum lebar. Anak-anak Astacala memang sering memanggil saya dengan nama plesetan itu. Saya sebenarnya kurang suka, tapi mereka sudah terbiasa.
Kami pun menuju sebuah kedai kopi tak jauh dari hotel. Di Banda Aceh, mencari tempat ngopi bukan perkara sulit, tak seperti mencari jarum dalam tumpukan Jerami. Tak sampai seratus meter berjalan, kami sudah menemukannya: kios kecil dengan meja dan kursi di terasnya. Kami memesan kopi sanger.
Dari Turki, saya baru tahu bahwa kopi sanger khas Aceh ini berasal dari akronim “sama-sama ngerti”. Sebenarnya kopi susu biasa: kopi hitam dengan kental manis dan gula. Tapi tradisi, rasa local, dan kisah di baliknya yang membuatnya berbeda. Katanya, dulu berasal dari kebiasaan mahasiswa yang uangnya pas-pasan, jadi penjual dan pembeli “sama-sama ngerti” untuk urusan minum kopi ini.
Turki yang pernah setahun tinggal di Jepang untuk pelatihan penanggulangan bencana, banyak bertanya tentang pendakian saya ke Leuser. Sebagai orang Aceh, ia belum pernah mendaki gunung tertinggi di daerahnya. Tapi ia sudah menjejak Fujiyama, gunung tertinggi di negeri para samurai itu.
Kami tak banyak bicara berbagai topik, selain bernostalgia tentang masa-masa di Bandung dulu. Waktu saya di Banda Aceh tak banyak; beberapa jam lagi saya harus terbang ke Kuala Lumpur, lalu lanjut ke Denpasar. Ya, sudah waktunya saya pulang ke rumah.
Walau sebentar, saya sangat menghargai pertemuan dengan Turki. Kami sama-sama meluangkan waktu untuk bertemu. Itu ibarat memberikan sepotong umur yang tak akan pernah kembali, namun akan selalu bisa dikenang. Terima kasih, Tur. Sampai bertemu lagi di lain kesempatan.
Sampai Jumpa, Aceh
Berpisah dengan Turki, berpisah pula saya dengan Irpan. Dari hotel saya menuju Bandara Sultan Iskandar Muda, sementara Irpan melanjutkan perjalanan ke Sabang, kota ujung barat Indonesia di Pulau Weh.
Ada rasa tak lengkap di hati, karena sudah jauh-jauh ke Aceh tapi saya tak menyempatkan diri menyeberang ke Sabang. Tapi tak apa. Mungkin lain kali. Anggap saja ini pertanda bahwa suatu hari nanti saya akan kembali lagi ke negeri ini.
Untuk sekarang, saya hanya bisa mengucapkan terima kasih. Dan tentu saja salam hangat untuk Aceh yang begitu berkesan: sampai jumpa di lain masa. []
I Komang Gde Subagia | Banda Aceh, Januari 2025

Comments
Post a Comment
Comment