Leuser lebih tepat disebut sebagai sebuah pegunungan ketimbang sekadar gunung, di mana Gunung Leuser hanyalah salah satu dari banyak puncaknya. Kemarin, pada hari kedua pendakian, saya dan seluruh tim telah mencapai Gunung Angkasan dan bermalam di puncaknya yang dingin. Hari ketiga ini, kami bersiap untuk turun menuju Lembah Sungai Alas.
Sungai Alas.Mendaki, Tapi Turun
Pendakian gunung di Pegunungan Leuser dari arah Kedah umumnya menargetkan tiga puncak utama: Puncak Tanpa Nama, Puncak Loser, dan Puncak Leuser. Sementara Gunung Angkasan, yang telah kami lalui kemarin, bukanlah salah satu dari tiga puncak utama itu. Namun karena jalur kami memang melewati Angkasan, maka puncak ini pun menjadi bagian dari perjalanan.
Perjalanan berikutnya dari Puncak Angkasan—yang tingginya nyaris 3.000 meter di atas permukaan laut—didominasi jalur menurun, menuju lembah tempat mengalirnya sungai besar bernama Sungai Alas. Lokasi berkemah malam ketiga kami berada di tepi sungai itu, di ketinggian sekitar 1.700 meter. Artinya, hari ini kami akan turun lebih dari seribu meter elevasi.
Briefing sebelum bergerak dari Puncak Angkasan ke Sungai Alas.Menanam Logistik
Karena pendakian kami dimulai dan akan diakhiri di tempat yang sama—di Kedah—jalur yang dilalui pun akan kembali dilewati. Artinya, pada hari kesebelas nanti kami akan naik kembali ke Puncak Angkasan dan bermalam di sana. Maka dari itu, logistik untuk malam kesebelas dan hari kedua belas tidak perlu ikut dibawa hari ini. Cukup ditinggalkan di Puncak Angkasan.
Ditinggalkan? Ya. Logistik yang tidak diperlukan hanya akan menambah beban jika ikut dibawa terus. Maka semuanya dikumpulkan, dibungkus plastik kedap air, lalu ditanam di tempat tersembunyi. Dibuatkan lubang secukupnya, ditimbun, dan ditandai agar mudah ditemukan saat kami kembali nanti.
Menanam logistik semacam ini adalah hal lazim dalam manajemen perjalanan, terlebih bila akan melewati jalur yang sama. Namun, tetap ada risiko—terutama dari satwa liar yang bisa mencium aroma makanan, seperti babi hutan. Atau primata seperti monyet yang kerap iseng membuka apa pun yang tercium wangi. Karena itu, penanaman logistik harus dilakukan sungguh-sungguh agar tidak terbongkar oleh hidung-hidung lapar itu.
Ancaman lainnya datang dari manusia. Pendaki atau pemburu yang lewat bisa saja iseng membongkar dan mengambilnya. Tapi di Leuser, kemungkinan seperti itu sangat kecil. Lokasinya terlalu terpencil. Dan para pemandu kami dari Leuser Mentalu sangat yakin bahwa tak akan ada yang mengambilnya selain kami sendiri.
Namun di gunung lain, pencurian logistik atau barang-barang yang ditinggalkan bukan hal aneh. Saya sendiri pernah menyaksikannya di Gunung Agung, awal tahun 2000-an. Kala itu, sekelompok pendaki kehilangan tenda dan seluruh isinya saat ditinggal untuk muncak. Kasihan dan menyedihkan. Tenda dome, carrier, sleeping bag, matras—semuanya raib dibawa kabur oleh maling gunung.
Menanam logistik.Kotoran Harimau
Setelah sesi briefing, perjalanan hari ketiga menuju Sungai Alas pun dimulai. Dulah, ketua pemandu lokal kami, mengingatkan sejak awal bahwa mulai hari ini kami akan semakin dekat dengan habitat harimau sumatera. “Jangan berjalan sendirian, selalu dalam rombongan,” begitu pesannya. Saya pun makin waspada.
Awal perjalanan dari Puncak Angkasan melewati hutan perdu yang rapat. Jalurnya sempit, nyaris tak terlihat, seolah jarang dilalui. Dulah yang berjalan paling depan sesekali mengayunkan golok menebas semak. Tas saya berkali-kali tersangkut ranting. Lengan yang tak tertutup sleeve cover pun tergores-gores ranting, menyisakan luka kecil. Tapi tak apa.
Sekitar satu kilometer dari puncak, kami berhenti untuk beristirahat. Sekalian menyatukan barisan. “Sebat dulu,” ujar beberapa rekan sambil mengeluarkan rokok dari kantong. Yang tidak merokok memilih meneguk air—campuran air kubangan dengan serbuk Nutri Sari atau Pocari Sweat.
Tak jauh dari tempat kami duduk, sebuah papan pengumuman hijau kusam menggantung di dahan pohon, di bawah plakat kuning penanda hutan negara. Mungkin dari pihak balai taman nasional. Isinya jelas: Selamatkan harimau dari jerat dan perburuan liar. Saya jadi berpikir, siapa sebenarnya yang lebih terancam di hutan ini—kami atau harimau itu sendiri?
Tiba-tiba Anwar—pemandu yang lain, menunjuk sesuatu. “Ini kotoran nenek,” katanya memberi tahu kami. Di tepi jalur, tak jauh dari tempat kami duduk, terlihat seonggok kotoran hewan kering. “Sudah semingguan lebih ini,” lanjutnya. Saya amati. Tak ada bau. Isinya hanya rambut-rambut hewan—jejak dari santapan sang predator yang tak tercerna sempurna.
Pengumuman di tengah hutan.Kotoran harimau sumatera.
Hutan Lumut
Perjalanan dilanjutkan. Jalur makin menurun dan perlahan berubah semakin curam. Hutan-hutan yang kami lewati makin gelap dan lembap. Pohon-pohon besar dibungkus lumut hijau. Hijau. Hijau. Di mana-mana hanya hijau.
Entah mengapa, di tengah lebatnya hutan lumut seperti ini, pikiran saya berubah dibanding kemarin, saya malah merasa lebih aman dari ancaman harimau sumatera. Mungkin karena logika sederhana: hutan sepadat ini pasti menyulitkan pergerakan sang karnivora. Jadi kemungkinan mereka berkeliaran di sini pun kecil.
Namun kemudian hutan lumut berubah lagi menjadi hutan perdu. Rasa waspada kembali. Di beberapa titik, kami melihat lorong besar menyerupai jalur setapak, tapi itu bukan jalur kami. Lebarnya cukup untuk dilewati manusia dewasa. Rasanya seperti jalur lintasan satwa. Mungkin harimau. Mungkin rusa atau kijang.
Akhirnya, kami sampai di tempat terbuka. Teman-teman yang berada di rombongan depan tampak sudah beristirahat di sana. Matahari cukup terik, meski di balik awan keabuan. Mendung seperti kemarin. Sepertinya hujan akan turun beberapa jam lagi.
Hutan lumt.Menyusuri hutan lumut.
Kamp Daus Kekuyang
“Kita istirahat makan siang di sini,” kata Adul, si bos besar Shelter Garut, yang disambut gembira semua orang. Bagi saya, momen istirahat dan makan siang adalah saat paling dinikmati dalam pendakian. Di saat seperti inilah saya merasa paling bisa berbaur dengan alam: minum teh sambil menikmati desau angin atau menatap api unggun jika di malam hari.
Kami tiba di sebuah tempat bernama Kamp Daus. Kata Dulah, kamp ini dibuka oleh seorang pemandu lokal bernama Firdaus. Di peta pendakian yang saya pakai, nama tempat ini tertulis sebagai Kekuyang. Saya tidak tahu asal-usulnya. Tapi saya tahu, di Aceh Tengah memang ada kampung bernama Kekuyang. Entah ada hubungan atau tidak.
Kamp Daus memiliki beberapa area datar terbuka. Sambil menunggu tim logistik menyiapkan makan siang, saya beranjak ke area terbuka lain, tempat Adul dan Nadya sedang menjemur solar panel charger untuk mengisi daya ponsel dan beberapa power bank. Adul juga memasang antena Starlink. Sinyalnya cukup kuat di tempat terbuka seperti ini.
Saat makan siang siap, kami berkumpul. Menu siang hari ini: suwir tuna, tempe kering dengan kacang tanah, dan mi rebus. Beberapa membawa abon, dibagi-bagi. Minumnya teh manis hangat, yang sedari tadi sudah kami seruput. Camilan pun tersedia: keripik pisang dan energy bar untuk tambahan kalori.
Saya melihat Anggi asyik sendiri. Sinyal wifi lancar jaya di kamp ini, membuatnya bisa teleponan terus dengan pacarnya sepanjang makan siang. Beberapa yang lain live di Instagram. Saya? Cukup mengirim laporan harian pada Asa, Remon, dan Sinchan—tiga orang yang saya mintai tolong memantau pergerakan selama mendaki.
Kamp Daus Kekuyang.Rehat sejenak saat istirahat siang.
Pondok Pemburu
Perjalanan dilanjutkan. Kami masuk lagi ke hutan tropis dengan pepohonan tinggi. Lantai hutannya ditutupi serasah coklat tua. Saya berjalan bersama Adul, Mazli, dan Nadya. Lagu-lagu Linkin Park terdengar dari speaker portable yang tergantung di tas Adul—semacam soundtrack perjalanan menuju Sungai Alas.
Lalu jalur berubah lagi—menjadi terjal dan nyaris tegak lurus. Licin dan berlumpur. Saya sampai terpeleset beberapa kali. “Gila ini jalurnya,” batin saya. “Ini kerjaan anak-anak Eka Citra, nih,” celetuk Adul, menyebut nama Mapala Universitas Negeri Jakarta yang pernah ekspedisi lewat jalur ini.
Tak lama, kami sampai di sebuah sungai kecil. Airnya jernih dan menyegarkan. Kami isi ulang botol, lalu langsung meneguknya. Rasanya segar sekali. Ini air murni. Paling-paling hanya tercampur tanah, atau sedikit tercemar kencing harimau. Atau mungkin juga kijang. Tak apa, lah.
Dekat sungai kecil itu, ada sebuah pondok beratap plastik. Pondok pemburu. Di hutan Leuser ini, warga Kedah dan sekitarnya biasa berburu rusa atau kijang, masuk hingga jauh ke dalam. Mereka tinggal berhari-hari di pondok seperti ini, memasang jerat, menunggu keberuntungan.
Melintasi sungai kecil.Pondok pemburu.
Anak Sungai Alas
Kami lanjutkan perjalanan. Jalur tetap curam. Gemuruh aliran air di kejauhan terdengar makin jelas. Dan akhirnya, di bawah sana, tampak sungai yang lebih besar. Itu adalah anak Sungai Alas, yang nantinya bermuara ke induk Sungai Alas yang lebih besar lagi.
Sebuah batang pohon yang berdiameter seukuran roda sepeda motor, melintang di atas sungai, menjadi jembatan alami. Kami menyeberang satu per satu. Tepat saat saya menginjak sisi seberangnya, hujan mulai turun rintik-rintik.
Sejak dari Kamp Daus tadi, saya sempat memikirkan Anggi. Jalur yang kami lalui cukup ekstrem—turunan curam, licin, dan berlumpur. Saya membayangkan betapa beratnya ia melalui semua itu dengan kondisi disabilitasnya. Tapi saat saya melihatnya tiba di seberang, ia tertawa-tawa. Tak sepatah pun keluhan keluar dari mulutnya.
Di turunan terjal, ia melempar tongkatnya ke bawah agar lebih leluasa bergerak. Di jembatan batang pohon, ia menyeberang sambil duduk dan mengangkat tubuhnya perlahan-lahan untuk berpindah. Kami menyemangatinya, tapi rasanya itu tak perlu. Mentalnya terlihat sudah sangat tangguh.
Benar kata orang bijak: semangat sejati bukan datang dari motivasi orang lain. Orang lain mungkin bisa memicu semangat kita, tapi nyalanya yang berkobar itu harus berasal dari dalam diri. Semangat itu adalah tekad untuk terus melakukan yang terbaik, kapan pun, dalam situasi apa pun.
Menuruni lereng menuju Anak Sungai Alas.Menyeberangi Anak Sungai Alas.
Jalur Harimau
Hujan turun semakin lebat. Pakaian saya mulai basah. Saya tak mengenakan jas hujan karena sudah terlanjur kuyup. Toh, tak lama lagi kami akan sampai di Kamp Sungai Alas, dan akan menyeberangi sungai itu—basah juga pada akhirnya.
Tapi ternyata, kamp yang jadi tujuan hari ini masih jauh. Perjalanan kembali menanjak curam setelah kami menyeberangi anak sungai tadi. Setelah tiba di atas, jalurnya justru turun, lalu naik lagi. Terjal lagi. Lama-lama saya kesal juga. Basah, kotor, capek, dan ingin segera sampai di kamp—tapi tak kunjung sampai.
Beginilah jadinya kalau kita berandai-andai bahwa tujuan sudah dekat. Otak cenderung menyepelekan. Kita membayangkan akan melaluinya dengan mudah dan cepat. Tapi ketika realitas tak sesuai harapan, kekecewaan pun datang. Saya mengira setelah naik punggungan usai melewati anak Sungai Alas, jalur akan turun terus. Nyatanya, ia naik dan turun beberapa kali lagi.
Di sebuah punggungan, saya dan beberapa rekan berhenti untuk beristirahat. Lokasinya tampak seperti tempat kamp: luas, lapang, dan memanjang. Serasah hutan menutupi lantainya. Saya duduk dan menyandar ke sebuah pohon, menatap hujan deras yang mengguyur wajah dan tubuh.
Jaenal, salah satu pemandu dan porter lokal yang datang kemudian, ikut beristirahat sejenak. Ia menarik napas, lalu memberi instruksi, "Ayo kita lanjut. Jangan lama-lama. Ini jalur nenek," katanya sambil menatap ujung punggungan yang dipenuhi pepohonan besar dan diselimuti kabut. Tampak begitu misterius.
"Ayo!" saya yang kaget langsung bangkit berdiri. Lalu menyusulnya ke depan. Kami turun ke arah berlawanan dari jalur sebelumnya. Saya melangkah lebih hati-hati. Setiap semak terasa seperti potensi pergerakan makhluk besar yang mengendap. Tapi saya tetap berjalan tenang, dalam rombongan. Hujan yang turun tak kunjung reda. Jalanan licin. Sepatu dan ujung celana terasa berat oleh lumpur yang melekat.
Nanti, ketika tiba di Kamp Sungai Alas, saya baru tahu bahwa Jaenal adalah seorang pemburu. Sehari-harinya bertani di Kedah, namun sesekali ia menyempatkan diri berburu rusa ke hutan atau menjadi porter pendakian. Pantas saja ia hafal tempat-tempat yang biasa dilalui satwa liar, termasuk jalur perlintasan harimau.
Menyeberang
Menjelang pukul lima sore, saya akhirnya tiba di tepian Sungai Alas, bersama Jaenal, Farid, Asyraf, dan Nadya—menyusul rombongan pertama yang terdiri dari Anwar, Zulfadli, Kiwil, Ahong, Sapu, dan Gio.
Hujan masih turun, dan debit sungai cukup besar. Saya melihat Kiwil, Sapu, dan Gio sudah tiba di seberang dan sedang memasang tali penyeberangan.
Satu per satu, kami mulai menyeberang dengan membawa tas masing-masing. Farid menjadi yang pertama. Disusul Asyraf, kemudian Nadya dan Ahong.
Saya sendiri sempat ragu. Bukan karena takut, tapi karena saya membawa dua tas—satu di punggung, satu lagi di dada. Tas depan berisi kamera, ponsel, baterai, serta power bank. Kalau menyeberang begitu saja, semua alat elektronik itu bisa basah dan rusak.
Untungnya, Adul datang tak lama kemudian. Ia mengatakan akan memasang tali lintasan khusus untuk barang, digantung lebih tinggi dengan menggunakan pulley, sehingga semua tas bisa dikatrol menyeberang tanpa menyentuh air.
Saya pun meletakkan tas depan saya di tumpukan tas-tas lain yang akan diseberangkan. Kamera dan peralatan lainnya telah saya bungkus rapat-rapat dengan dry bag.
Akhirnya, saya pun menyeberang. Tongkat pendakian terikat di pergelangan tangan. Tas gendong di punggung terikat erat di pinggang. Tangan saya berpegangan pada tali. Arus sungai di bagian tengah cukup deras. Airnya sedalam pinggang hingga dada orang dewasa. Kaki saya sampai tak menjejak dasar, terdorong oleh kuatnya arus. Jika saja pegangan saya terlepas, saya pasti hanyut.
Bersiap menyeberangi Sungai Alas.Ada yang Hanyut
Beberapa menit setelah saya sampai di seberang dan sedang memeras baju yang kuyup, tiba-tiba terdengar teriakan histeris, “Emak...!!!”
Rupanya yang diteriaki hanyut! Diduga pegangannya di tali terlepas. Refleks, saya berlari ke tepi sungai. Saya melihat Emak sudah terbawa arus ke arah hilir, dikejar oleh Kiwil. Untungnya, tak lama kemudian saya melihat Emak telah menepi di bebatuan. Ia hanya perlu menyeberang kembali menuju kamp.
Sebenarnya, Sungai Alas di sekitar lokasi ini tak terlalu dalam. Tapi arusnya memang cukup kuat. Yang saya khawatirkan adalah jika kepala terantuk batu saat hanyut—risikonya sangat fatal, apalagi menjelang malam dan langit semakin gelap. Syukurlah, tak ada kejadian lebih buruk. Dengan dibantu Kiwil, Emak akhirnya berhasil kembali ke lokasi kamp.
Setelah insiden itu, saya mengusulkan pengaman tambahan kepada tim pendukung yang bersiaga di masing-masing ujung tali. Lewat Nadya, saya menyarankan agar setiap penyeberang mengenakan harness yang dilengkapi karabiner dan dikaitkan ke tali. Memang sedikit memakan waktu, tapi jauh lebih aman. Itu akan menjaga penyeberang tetap “nyantol” ke tali, bahkan jika pegangan tangan terlepas.
Selanjutnya, semua anggota yang tersisa menyeberang dengan perlengkapan pengaman tersebut. Mereka tak membawa barang apa pun supaya lebih leluasa; semua tas dipindahkan lewat tali penyeberangan khusus.
Karena jumlah kami cukup banyak, penyeberangan selesai pukul sembilan malam. Dingin luar biasa. Untung saja api unggun telah menyala dan minuman hangat sudah siap sejak tadi. Jadi, saat penyeberang sampai, bisa segera menghangatkan diri tanpa menggigil lebih lama lagi.
Ikan ili dari Sungai Alas.Ikan Ili
Hujan reda saat seluruh tim telah lengkap dan aman di kamp. Lokasi kamp ini tepat berada di pertigaan sungai. Satu sungai utama yang kami seberangi tadi mengalir deras dan airnya dingin. Satu lagi lebih tenang dan terasa sedikit lebih hangat.
Berkemah di tepian Sungai Alas ini terasa begitu nyaman. Air berlimpah ruah. Kami semua bisa mandi, gosok gigi, bersih-bersih, mencuci pakaian, dan membersihkan peralatan yang kotor oleh lumpur. Setelah dicuci di sungai, tinggal dijemur di dekat api unggun hingga pagi.
Di sungai ini juga bisa memancing ikan. Para pemandu lokal sudah terbiasa memancing di sini. Dengan senar pancing dan umpan cacing tanah yang didapat di sekitar kamp, mereka berhasil mendapatkan banyak ikan. Namanya ikan ili, ikan endemik dari Aceh.
Saya melihat Saiful dan Zulfadli memotong dan membersihkan ikan-ikan itu. Ditaburi garam saja, lalu digoreng. Hasilnya renyah dan kriuk. Lumayan bagi saya yang sudah mulai bosan makan ikan tuna suwir dan sarden kalengan.
Beberapa rekan lain juga menyukainya—seperti Ibu Dian dan Nadya. Awalnya mereka hanya iseng mencoba. Tapi setelah mencicipi, saya lihat mereka malah minta tambah. “Lumayan enak,” kata mereka sambil tersenyum. []
I Komang Gde Subagia | Gayo Lues, Desember 2024
Comments
Post a Comment