Ini hari keenam, sudah separuh perjalanan. Dari total dua belas hari pendakian melintasi Gunung Leuser, hari ini menandai titik tengah. Lumayan lama juga, saya berada di tengah belantara hutan dan sabana. Dan seperti hari-hari sebelumnya, setiap pagi usai sarapan serta berkemas, kami melanjutkan perjalanan ke titik kamp berikutnya. Hari ini, tujuan kami adalah sebuah tempat yang dinamai sebagai Kamp Simpang Tanpa Nama.
Separuh PerjalananNaik Turun Bukit
Dari Bivak Kaleng, kami mulai perjalanan yang tetap menantang menuju Kamp Simpang Tanpa Nama. Jaraknya sekitar sembilan kilometer dengan elevasi ratusan meter, tapi jangan tertipu oleh angka itu. Jalurnya seperti ombak raksasa—naik, turun, lalu naik lagi, berulang tanpa henti. Setiap langkah terasa seperti menaklukkan dunia kecil di bawah kaki kami.
Langit cerah sekali. Kami berjalan beriringan, memasuki hutan lebat yang dahan-dahannya dipenuhi lumut, sampai ke lantai hutannya. Seperti yang saya perkirakan dari peta topografi, konturnya memang berbukit. Setelah mendaki, jalur menukik turun, lalu naik lagi. Begitu seterusnya. Entah berapa kali.
Di puncak-puncak bukit yang kami lalui, vegetasi terasa lebih renggang. Saya yang hari ini berjalan bersama Dulah, Pipi, Anggi, dan Hilmi beberapa kali berhenti di titik-titik itu. Kami mengambil gambar, berlatar pemandangan terbuka yang menyejukkan mata.
Saya sempatkan berfoto dengan Anggi—si “Kaki Seribu”. Setelahnya kami sama-sama menghela napas, melihat pemandangan yang membentang luas, seperti memberi kesan misteri. Anggi, yang berdiri dengan tongkatnya, tersenyum dan berkata, "Gunung ini ngajarin kita sabar dan kuat, Bli." Saya mengangguk saja. Pendakian ini memang bukan sekadar soal jarak yang jauh dan waktu yang lama, tapi juga tentang perjalanan yang mendidik hati.
Burung-burung terlihat bertengger di dahan-dahan kering di sekitar kami, berkicau merdu. Di Kepulauan Nusantara ini, dari Sabang hingga Merauke, burung-burung menampakkan ragam perbedaan. Konon katanya, semakin ke barat seperti di Aceh, warna bulu burung makin sederhana, tapi kicauannya makin indah. Sementara semakin ke timur, seperti di Maluku dan Papua, burung-burung makin berwarna-warni, namun kicauannya biasa saja.
Bivak Batu
Saya berjalan tak jauh dengan Dulah, ketua pemandu lokal kami. Wajahnya tenang, seperti sudah hafal betul dengan medan yang kami lalui. Sesekali ia menunjuk dahan pohon yang berlumut tebal, atau suara burung yang memecah keheningan. "Di sini, hutan seperti ada yang menjaga," katanya datar. Saya menatap ke atas, cabang-cabang pohon yang rimbun menjulang seolah menyapa kami—sekaligus mengingatkan betapa kecilnya kami di tengah alam yang luas ini.
Menjelang siang, kami tiba di sebuah puncak bukit yang terbuka. Di atas permukaan tanahnya yang keras, berdiri tumpukan batu kecil—disusun rapi seperti piramida mini. Mungkin tangan-tangan iseng pendaki sebelumnya yang membangunnya. Atau mungkin itu bentuk sederhana dari upaya mereka memberi tanda di alam, di jalur pendakian kami.
"Ini Bivak Batu," kata Dulah sambil menunjuk. Di sinilah, menurut rencana pagi tadi, kami akan berhenti dan makan siang. Tapi puncak ini ternyata tak cukup lapang untuk menampung kami semua. Teman-teman yang berjalan lebih dulu rupanya sudah turun sedikit ke lereng di bawah, membuka flysheet di samping sebongkah batu besar, di dekat rindang semak dan perdu.
Saya menyusul ke sana, lalu duduk di bawah flysheet yang berkibar pelan diterpa angin. Walau udara dingin pegunungan menggigit kulit, matahari yang sedang garang siang itu tetap menyengat. Bahkan rebahan pun tak sepenuhnya nyaman—terasa seperti tidur di dalam oven. Wajah saya terasa sedikit perih, terbakar pelan-pelan oleh cahaya yang jatuh tegak lurus dari langit, menembus flyheet tipis yang membentang.
Sembari menunggu makan siang siap, kami juga memanfaatkan cuaca cerah: antena satelit, telepon genggam, dan power bank dikeluarkan—dioperasikan dan diisi daya oleh matahari yang bersinar gagah. Saya sempat tertidur sejenak, barangkali tidak lama, tapi cukup untuk mengistirahatkan tubuh. Ketika membuka mata, saya melihat beberapa kawan menaiki batu besar tak jauh dari tempat kami berteduh. Mereka tertawa, bergaya, berpose, lalu memotret pemandangan sekitarnya.
Masih Jauh
Setelah lewat tengah hari, perjalanan dilanjutkan. Medannya masih sama—naik turun bukit yang seolah tak ada habisnya.
Karena cuaca cerah, puncak-puncak utama di kejauhan mulai tampak dari jalur yang kami lalui. Di kiri, puncak tertinggi pegunungan ini menjulang: Puncak Tanpa Nama. Di kanan, tapi bukan yang paling ujung, terlihat Puncak Loser. Dan paling ujung kanan, menyembul Puncak Leuser—titik paling jauh yang menjadi tujuan perjalanan kami.
"Di situ, lokasi Kamp Simpang Tanpa Nama," ujar Dulah sambil menunjuk sebuah titik di antara hutan lebat yang menanti untuk kami susuri. Masih jauh. Apalagi puncak-puncak yang jadi tujuan, masih puluhan kilometer lagi. Tapi begitulah rencananya. Besok dan dua hari ke depan, kami akan ke sana.
Melihat puncak-puncak itu dari tempat saya berdiri, membuat saya menarik napas panjang. Tarikan yang pasrah, namun juga membulatkan tekad. Tak ada pilihan lain, selain melangkah dan melangkah terus. Ini sudah hari keenam. Kami sudah terlalu jauh untuk mundur.
Krueng Kluet
Dalam perjalanan di lebatnya hutan lumut, terdengar suara gemericik air. Tak lama, terlihat sungai kecil yang jernih, mengalir di sela pepohonan. Namanya Krueng Kluet. Saya pun menuruninya, mengeluarkan botol, dan mengambil airnya. Lalu meminumnya langsung. Rasanya segar luar biasa. Seperti air paling murni yang pernah saya minum selama ini.
Beberapa rekan berfoto-foto di sungai ini. Tak heran—penampakannya memang cantik. Air bening mengalir di antara batuan dan kehijauan pepohonan. Tapi hati-hati. Batu-batunya licin. Salah satu dari kami sempat terpeleset saat hendak berpose. Untung tak cedera, hanya basah kuyup.
Sungai ini dinamai Krueng Kluet karena nantinya akan melewati Kampung Kluet di Aceh Selatan—kampung pertama yang dilaluinya ketika keluar dari rimba. Dalam bahasa Aceh, krueng berarti sungai. Sementara kluet atau kaluet berasal dari bahasa Arab, dari kata khalwat, yang berarti menyepi atau berzikir. Konon, para ulama dahulu mengasingkan diri di kaki Gunung Leuser untuk berkhalwat.
Sungai kecil ini ada dua. Yang pertama disebut Krueng Kluet Satu, dan yang kedua Krueng Kluet Dua. Itu sesuai urutannya saat ditemui di jalur pendakian. Kedua sungai itu akan bertemu di bawah, bersatu dengan anak-anak sungai lain, lalu mengalir ke kampung para ulama, hingga akhirnya bermuara di Samudera Hindia.
Menutup Hari
Setelah menyeberangi Krueng Kluet Dua, jalur menanjak terus menuju sebuah sadelan bukit tempat Kamp Simpang Tanpa Nama berada. Tak ada naik turun lagi. Mungkin karena hari cerah, perut kenyang, dan air sungai segar yang bercampur Nutri Sari rasa jeruk nipis, saya mendaki lebih cepat. Sebelum pukul lima sore, saya sudah tiba di kamp.
Dan kamp kami hari ini sungguh mempesona. Tak ada hujan seperti biasanya. Pakaian pun kering. Kalau pun ada basah, itu karena keringat. Atau sepatu dan ujung celana yang terkena air sungai atau rerumputan becek.
Kami menikmati sore itu dengan khidmat. Langit senja memerah lembut di atas punggungan terbuka. Jika hari hujan, suasana pasti lebih kelabu. Tapi kali ini, alam seperti sangat ramah dan bersahabat.
Beberapa rekan saya bahkan bercanda bahwa tempat buang hajat mereka hari ini adalah tempat buang hajat yang terindah selama pendakian. Heh? Ada-ada saja.
Tapi memang betul, di balik kerindangan semak dan menghadap ke barat, sebagian dari kami menuntaskan ‘panggilan alam’ sambil merenung, menyaksikan proses terbenamnya sang surya, menatap tirai langit kemerahan yang pelan-pelan menutup hari.
Yang Penting Lancar
Hadeuh! Kok jadi bahas soal buang hajat? Jorok? Belum tentu. Di gunung, urusan ‘ke belakang’ adalah hal penting. Kelancaran aktivitas itu sangat berpengaruh pada stamina dan semangat.
Bayangkan jika tidak lancar selama pendakian—apalagi berhari-hari. Nafsu makan bisa hilang, metabolisme terganggu, tenaga cepat habis. Pendakian pun jadi tersendat. Karena itu, logistik yang kaya serat sangat penting untuk kelancaran itu. Juga istirahat yang cukup. Kalau ‘be a be’ lancar, perjalanan pun ikut lancar.
Tapi, hati-hati! Jangan jauh-jauh dari tenda melakukannya. Ini Leuser. Jangankan jauh, yang dekat pun bisa bikin jantung berdebar. Kita tak tahu, siapa yang sedang mengintip dari balik rimba. Ini rumah mereka, para harimau sumatera. Dan kita hanya tamu.
Makanya, aktivitas pribadi kadang dilakukan berdua atau bertiga. Bareng-bareng. Bukan untuk romantis-romantisan, tentu saja—tapi agar tidak takut dan menghindari resiko buruk. Hutan Leuser yang sunyi kadang menegangkan. Tapi siapa sangka, justru momen seperti itu bisa berubah jadi lucu.
Bayangkan: jongkok berjajar di balik semak, saling melempar guyonan, lalu tertawa pelan sambil menahan, ya, dua-duanya. Dalam pendakian, ternyata urusan perut pun bisa jadi kisah kocak yang bakal terus dikenang, bahkan saya abadikan di tulisan ini. []
I Komang Gde Subagia | Gayo Lues, Desember 2024