Tahun yang Berganti

Walaupun hari masih pagi, awan tebal bergumpal-gumpal di langit. Malam telah berlalu di Bivak Kaleng. Hari ini, esok, dan lusa adalah hari-hari terakhir saya bersama rekan-rekan sependakian luntang-lantung di belantara Leuser. Rasanya sudah tak sabar untuk segera keluar menuju peradaban. Nasi goreng, bakso, soto, sate, es jeruk, es teler, es krim—semuanya sudah terbayang-bayang untuk segera bisa dinikmati di kota nanti.

Pagi tahun baru di Puncak Angkasan.


Menuju Sungai Alas

Seperti biasa, kami bergerak meninggalkan kamp usai sarapan dan berkemas. Tujuan kami hari ini dari Bivak Kaleng adalah Sungai Alas. Berbeda dengan sebelumnya saat mendaki, ketika kami sempat berkemah semalam di Kamp Tronton, kali ini titik itu akan dilewati langsung. Artinya, jarak yang biasanya ditempuh dalam dua hari harus kami habiskan hanya dalam sehari.

Tak banyak yang bisa saya ceritakan lagi karena jalurnya sama. Kembali melalui sabana dan Telaga Khansa—medan yang sebelumnya kami lalui dengan penuh antusias saat ingin mencapai puncak—kini terasa berbeda. Semangat itu berubah menjadi harapan untuk segera tiba di kota. Di Kamp Koba kami berhenti sejenak, menyantap makan siang sambil menatap suasana sabana yang sama seperti beberapa hari lalu ketika kami beristirahat di sana kala tengah hari.

Saat saya mencapai Kamp Tronton, hujan tipis mulai menetes. Padahal baru saja duduk untuk sekadar melepas lelah. Terpaksa saya mengenakan jas hujan. Rintik dari langit perlahan berubah deras, membasahi rumput, batu, dan tanah yang segera menjelma menjadi lumpur licin. Setiap langkah harus dihitung, setiap pijakan dipilih dengan waspada. Di medan basah seperti ini, satu kesalahan bisa membuat kita jatuh bergedebuk. Bisa kita saja bilang, “sakitnya tak seberapa, tapi malunya luar biasa.” Tapi kalau sampai cedera serius? Itu jelas berbahaya.

Hutan makin lebat, sabana makin menghilang, dan lereng yang kami lalui makin menurun terjal. Itu pertanda kami mulai menuruni lembah Sungai Alas, yang alirannya masih jauh di dasar sana. Di jalur ini, saya satu rombongan kecil bersama Anwar, Akbar, Ibu Yani, dan Ibu Dian. Kami saling mengawasi satu sama lain. Beberapa rekan lain yang tadi sempat istirahat bersama, ada yang sudah jauh di depan, ada pula yang tertinggal di belakang.

Entah apa yang ada di benak Akbar, ia melangkah lebih cepat di depan ketika kami bergantian menuruni titik-titik licin. Ia pun berpisah dari rombongan. Saya dan Anwar memanggilnya beberapa kali, tapi tak ada sahutan. Sepertinya ia turun sendirian ke arah Sungai Alas. Di satu titik jalur yang menyerupai persimpangan, saya dan Anwar sempat khawatir. Anwar, pemandu lokal yang bersama saya, tampak risau; saya pun merasakan denyut waswas yang sama. Semoga saja Akbar tak salah jalan, dan semoga pula ia tak bertemu harimau.

Tergesa-gesa untuk turun adalah musuh. Banyak pendaki hilang justru saat perjalanan turun. Rasa ingin segera sampai membuat kewaspadaan menurun. Salah pilih jalan, sudah terlanjur jauh melangkah, lalu enggan kembali—itulah yang sering membuat orang makin tersesat. Ditambah tanpa kemampuan navigasi serta bekal logistik yang cukup, risikonya kian besar.

Bersama Anwar, saya memilih tetap melangkah perlahan, menemani Ibu Dian dan Ibu Yani, menjaga ritme kami tetap sama. Kami saling mengawasi agar tak terseret arus keburu-buruan. Sesekali terpeleset dan terjungkal, untungnya masih aman, karena ransel ternyata jadi pelindung tubuh yang mumpuni. Dalam hati, saya tetap berharap Akbar baik-baik saja dan menempuh jalur yang benar menuju kamp.

Suara deras aliran air mulai terdengar. Saya khawatir debit Sungai Alas yang harus kami seberangi meluap akibat hujan. Beruntung, sungai yang mulai terlihat di balik kabut dan pepohonan ternyata mengalir tenang, tak sebesar sebelumnya. Lokasi bermalam ada di sisi seberang, agar besok pagi kami bisa langsung bergerak ke puncak tanpa harus berbasah-basah menyeberang lagi.

Asap api unggun tampak mengepul. Ada Akbar di sana. Aman. Saya pun bergabung menyiapkan tenda. Sayangnya lokasi di seberang sungai ini cukup sempit, tak banyak dataran yang nyaman. Saya, Farid, dan Diyon mendapat tempat penuh bebatuan serta akar pohon menonjol. Namun dengan kerja bakti dan perhitungan, kami berhasil merapikan gundukan itu agar tak terlalu mengganggu istirahat. Hasilnya tetap masih kurang nyaman, tapi jadi cukup layak.


Puncak Angkasan dan Pergantian Tahun

Malam kembali berlalu. Pagi ini adalah pagi akhir tahun, Desember di hari ketiga puluh satu. Tak terasa hari demi hari telah berganti di dalam rimba, dan tanpa disangka saya akan merayakan pergantian tahun di Leuser. Tepat tengah malam nanti, saya akan melewatinya di Puncak Angkasan, titik berikutnya yang akan dituju dari Kamp Sungai Alas. Tak akan ada gegap gempita kembang api atau terompet, tentu saja.

Setelah mandi-cuci-kakus di Sungai Alas, tanpa membuang limbah sabun atau sampo ke aliran sungai, perjalanan turun gunung untuk kembali ke Kedah dilanjutkan. Namun tidak seperti sebutannya, “turun gunung” kali ini bukan benar-benar turun. Karena tujuan kami adalah Puncak Angkasan, satu titik kamp sebelum kembali ke peradaban. Mau tidak mau, harus mendaki dulu sebelum akhirnya benar-benar turun.

Kami menyusuri hutan lembap di tepian Sungai Alas, meniti batang pohon tumbang untuk menyeberangi anak sungainya, mendaki lereng terjal meninggalkan lembah, lalu istirahat makan siang di dekat pondok pemburu. Hujan turun sejak Kamp Kekuyang, hingga akhirnya kami melintasi hutan lumut menyusuri punggungan Gunung Angkasan. Jalur ini sama persis seperti saat kami mendaki sebelumnya. Tak ada hal baru yang bisa saya ceritakan, selain rasa tak sabar ingin segera sampai.

Kami semua sumringah ketika, sebelum gelap, sudah berkumpul di bawah naungan flysheet di samping api unggun di Puncak Angkasan. Hampir semua dari kami terlihat riang gembira. Main kartu, minum minuman hangat, berbagi makanan, sambil bernyanyi mengikuti lagu yang mengalun dari sebuah speaker portable. “Ayo pesta! Malam terakhir kita di Leuser, malam tahun baru!” entah siapa yang berseru. Gelak tawa berderai tak henti-henti.

Saya bergeser ke dekat api unggun, menemani Dulah dan beberapa pemandu lokal yang sedang memasak nasi. Mereka memanggang ikan asin. Aromanya menggoda. Ikan asin yang kering, terbakar, dengan beberapa bagian kehitaman sedikit hangus. “Coba aja, Bli! Tambahin nasi putih hangat, pasti mantap,” saran Dulah. Dan benar saja, enak sekali! Saya sampai nambah sepiring nasi lagi. Hadeuh, telat sadar nikmatnya ikan asin bakar. Tahu begini, saya sudah menikmatinya sejak kemarin, daripada terus makan ikan suwir kalengan yang membosankan.

Di sisi lain, ketika telepon genggam saya mendapatkan sinyal Wi-Fi dari antena satelit yang dinyalakan, kabar gembira datang. Dari grup Saraswati Runner, salah satu komunitas lari di perkumpulan alumni Universitas Telkom yang saya ikuti. Enam bulan terakhir ada challenge di sana: perlombaan olahraga yang menghitung jarak tempuh jalan, lari, mendaki, maupun olahraga lain berbasis kaki. Akhir lomba adalah hari ini. Makanya setiap mendaki di Leuser, Strava saya selalu aktif. Ternyata saya juara satu. Wah! Kenyang dengan ikan asin bakar, dapat juara pula. Makin nyenyak lah tidur saya malam ini.


Bablas Turun ke Kedah

Hingga kemudian hari, bulan, dan tahun pun berganti. Matahari pertama tahun baru akhirnya bersinar di ufuk timur. Langit biru cerah seolah menyambut kami yang akan segera turun ke desa hari ini. Di sekitar tenda, jemuran pakaian dan peralatan terhampar di mana-mana. Sambil berkemas, sebagian dari kami menari dan berjoget, melanjutkan kegembiraan semalam. Sukacita karena sebentar lagi kami keluar hutan.

“Ayo! Gas…!!! Gas…!!!” seru kami penuh semangat. Apalagi di kejauhan, perkebunan penduduk mulai terlihat ketika kami menyusuri punggungan terbuka Gunung Angkasan. Saya berjalan bersama Farid dan Martha. Beberapa rekan lain ada di belakang, sementara Asyraf, Irpan, Pipi, Pak Sugi, ditemani Badrun, Jaenal, dan Saiful sudah melesat jauh di depan. Mereka tampak buru-buru, bahkan melewatkan makan siang di Bivak Panorama.

Saat istirahat makan siang, saya melihat para pemandu lokal menganyam rotan. Beberapa helai dijalin menjadi satu, dipilin sedemikian rupa, jadilah gelang-gelang cantik yang dibagikan kepada kami semua. “Sebagai kenang-kenangan dari Leuser,” kata Dulah bangga. “Ini lebih mahal dari emas dan permata,” tambahnya sambil tertawa. Benar juga, gelang rotan itu bagi kami sangat berharga, karena untuk mendapatkannya butuh perjuangan berhari-hari menembus rimba.

Dengan gelang di tangan, perjalanan dilanjutkan. Melewati Kamp Simpang Air—lokasi bermalam pertama kami di hutan—dan punggungan tempat kami dulu melihat orang utan besar. Sempat ngeri-ngeri sedap, takut berpapasan lagi dengan primata itu. Tapi kali ini ia tak menampakkan batang hidungnya. Sebagai gantinya, suara siamang terdengar bersahut-sahutan di kejauhan, mengiringi langkah kami di jalur hutan.

Hingga akhirnya, cahaya terang menembus di antara remang pepohonan, pertanda ladang terbuka milik warga sudah menanti di depan. Bersama Farid dan Marta, langkah saya makin ringan, meski lutut terasa bergetar lelah. Saya, kemudian melihat Akbar. Kami pun keluar hutan bersama-sama. “Alhamdulillah,” gumam Akbar begitu Pos Pantau terlihat berdiri beberapa puluh meter di depan. Sesampainya di sana, kami segera merebahkan badan. Fiuh! Lega sekali rasanya. Lalu, satu per satu rekan lain bermunculan keluar hutan. Kami saling tos dan mengucapkan selamat.


Kembali ke Peradaban

Namun rasa lega keluar hutan tidak berarti bahwa perjalanan telah selesai. Masih ada sekitar lima kilometer lagi menuju rumah singgah Leuser Mentalu. Jalannya melalui perbukitan ilalang dan ladang penduduk, sampai benar-benar masuk dusun. Banyak dari kami mengeluh, ternyata mental diuji lagi. Begitulah kalau kita merasa “finish” sudah dicapai, padahal belum—fisik ikut melemah. Sebaliknya, bila fisik jatuh tapi mental tetap tangguh, maka fisik pun bisa ikut menguat.

Tanpa berlama-lama di Pos Pantau, kami bergerak lagi. Menyusuri jalan setapak berdebu di tengah ladang warga. Seorang petani bersama istri dan anaknya menyapa saya saat berpapasan. Seolah mengucapkan selamat atas keberhasilan kami mendaki gunung tertinggi di kampung halamannya—gunung yang ia sendiri belum pernah daki, mungkin bukan karena tak mampu, tapi karena memang tak punya keinginan sama seperti kami, orang-orang kota yang jauh-jauh datang hanya untuk naik lalu turun lagi.

Tak lama kemudian, motor-motor trail ditunggangi pemuda Kedah berdatangan. Ternyata Dulah memanggil mereka jadi tukang ojek untuk mengangkut kami. Rekan-rekan saya berebut naik. Saya pun kebagian giliran, tapi apes: motor yang saya tumpangi kehabisan bensin. Alhasil, kami meluncur di turunan tanpa mesin. Di satu tanjakan, saya dipindahkan ke pengendara lain—ternyata kakak sulung Dulah, yang juga tuan rumah di Leuser Mentalu.

Tiba di rumah singgah, tersaji potongan-potongan semangka merah segar, gelas-gelas kaca dengan termos kopi dan teh, serta pisang goreng melimpah di atas piring. Wuih! Nikmatnya tak terkira. Tubuh yang haus dan lapar setelah tenaga terkuras membuat otak melepaskan sinyal kepuasan yang jauh lebih kuat dibanding saat biasa. Inilah salah satu asyiknya naik gunung: kepuasan sederhana yang terasa berlipat ganda saat misi pendakian selesai.

Di cermin, saya memperhatikan diri. Tangan dan kaki penuh goresan luka. Wajah tirus, tubuh makin kurus. Celana robek akibat bara api unggun. Jersey lapangan kumal kecokelatan. Sepatu trail kebanggaan saya berlubang, trekking pole bengkok. Mantap sekali, Leuser ternyata membuat beberapa peralatan tangguh langsung “pensiun”.

Oh ya, jika Ibu Yani berulang tahun di Puncak Leuser, maka saat tiba di rumah singgah Leuser Mentalu, ada lagi yang ulang tahun: Gio. Setelah bersih diri dan makan malam sambil ngopi, ia mentraktir kami dengan mie Aceh yang dibelinya di Pasar Kuta Panjang. Malam pun makin mantap dengan makan mie Aceh di tanah Aceh. Cihui!


Sampai Berjumpa Lagi

Namun ada yang membuat saya bersedih. Sambil menyeruput kopi, saya memandangi rekan-rekan yang sibuk berkemas. Tiba kembali di Kedah berarti tiba waktunya berpisah. Sebagian besar akan kembali ke Medan malam ini. Dengan berbagai pertimbangan, saya memutuskan menginap semalam lagi di rumah singgah ini. Besok pagi, saya dan Irpan akan ke Takengon. Adul dan beberapa tim pendukung, ditambah Nadya, juga masih tinggal semalam karena mereka akan ke Meulaboh.

Betul seperti hukum kekekalan alam semesta: jika ada pertemuan, maka ada perpisahan. Orang-orang datang, orang-orang pergi, tapi kenangan tertinggal di hati masing-masing. Walaupun kenangan itu perlahan akan tenggelam ditimpa perjumpaan dan perpisahan lain di kemudian hari, setidaknya kebersamaan yang kami alami beberapa hari terakhir menjadi nukilan sejarah dalam rentang waktu hidup ini.

Dalam tegukan pahit kopi Gayo, saya bertanya dalam diri, sambil memperhatikan satu demi satu wajah rekan saya di tengah kesibukannya. Mengapa ada segelintir orang seperti mereka yang rela pergi ke tempat asing, mendaki gunung, menyusuri hutan, melewati lembah, kehujanan, hingga berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu? Setelah berhasil sampai puncak, mengapa harus turun lagi? Pertanyaan klasik yang tak pernah tuntas terjawab.

Sepertinya jawabannya memang beragam, tergantung pelakunya. Bisa tentang wisata, tentang olahraga, tentang pencapaian, tentang cari konten, tentang cari nafkah, atau bahkan tentang alasan pribadi terdalam sebagai manusia. Atau mungkin sesingkat jawaban legendaris seorang pendaki mancanegara: “Because it’s there.” Karena gunung itu ada di sana, maka orang pergi ke sana.

Bagi saya, bertemu orang-orang yang punya “kegilaan” sama dalam kegiatan alam terbuka adalah alasan berharga. Ternyata bukan saya saja yang “gila.” Dari berbagai penjuru Nusantara hingga negeri tetangga, saya dipersatukan dengan mereka dalam satu tim pendakian. Ada yang menjadikannya ajang reuni dari petualangan sebelumnya, ada pula yang baru pertama kali berjumpa. Semuanya menambah warna-warni cerita.

Lalu ketika misi selesai, kami pun bubar. Berpisah. Untuk kemudian melanjutkan perjalanan masing-masing ke tempat tujuan lain, seperti saat ini. Sampai jumpa terucap, walau entah kapan kami akan benar-benar bertemu kembali. Mungkin suatu hari nanti, saat mendaki gunung lain di Nusantara, atau bahkan di kesempatan berbeda, kala ke pelosok lain untuk menggapai atap-atap bumi di segala penjuru dunia. []


I Komang Gde Subagia | Gayo Lues, Januari 2025


Terkait:
Leuser (Bagian 16: Takengon, Si Kota Kopi)

Comments