“Ayo bangun! Bangun!” Seruan itu terdengar di luar. Saya terbangun, menggeliat di dalam kantong tidur yang hangat. Di samping saya, Dion dan Farid—dua rekan setenda— sudah tak tampak. Mereka tentu telah bangun lebih dulu.
Hutan dan Sabana.Bunga Tidur
Pagi datang di Kamp Tronton. Saya baru sadar, pundak yang kemarin terasa nyeri kini sudah tidak sakit lagi. Saya ayunkan tangan ke kanan dan ke kiri—bergerak bebas dengan mudah. Tak seperti kemarin, ketika mengangkat sedikit saja rasanya menyiksa. Kini benar-benar pulih. Entah karena efek obat anti nyeri yang saya minum, atau karena tubuh yang sudah cukup beristirahat.
Oh, ya. Semalam saya bermimpi tentang keluarga. Barangkali itu bisikan bawah sadar yang muncul karena renungan semalam, mengubahnya jadi rindu yang datang di keheningan. Beginilah rasanya ketika melakukan perjalanan jauh, apalagi mendaki gunung yang memakan waktu berhari-hari tanpa akses komunikasi. Di satu sisi, kita jadi lebih menghargai orang-orang yang kita miliki. Di sisi lain, ada juga rasa khawatir jika terjadi sesuatu dengan mereka saat kita berada jauh dan tak bisa dihubungi.
Mengembara ke pedalaman hutan, terputus dari jaringan, dari dunia. Walau tak sepenuhnya hilang kontak, karena ada Starlink. Saat tak terhubung, ingatan akan orang-orang tercinta justru menyeruak paling kuat. Berkelana membuat kita jadi belajar untuk berlaku adil terhadap pikiran. Melihat dengan tenang akan apa pun yang hadir menyeruak di dalam kepala. Kita bisa membiarkannya datang, meresapi maknanya, tapi tidak sampai membiarkannya membebani langkah.
Pagi yang Cerah
Langit membiru di luar tenda. Pemandangan sekitar kamp jauh lebih menarik daripada meneruskan lamunan soal bunga tidur. Saya pun keluar. Matahari bersinar hangat—bahkan cenderung panas. Luar biasa. Itu menjadi anugerah setelah kemarin kami diguyur hujan hampir seharian. Tenda dan pakaian yang basah akhirnya bisa dijemur di bawah terik.
Suasana Kamp Tronton pun langsung berubah, bertransformasi layaknya pasar peralatan mendaki. Sepatu dan tas dari berbagai merek terhampar di rerumputan, tergantung di dahan-dahan pohon. Semua itu milik rekan-rekan pendakian saya, yang memanfaatkan pagi cerah untuk mengeringkan berbagai peralatan.
"Ayo, dipilih-dipilih, kesempatan langka, pasar hanya buka hari ini saja," begitu seorang kawan memvideokan jemuran kami. Mungkin untuk konten media sosialnya.
Hari ini, kami akan melanjutkan perjalanan menuju titik kamp berikutnya: Bivak Kaleng. Jarak tempuh sekitar sepuluh kilometer, dengan selisih ketinggian empat ratusan meter—cukup jauh, tapi tak terlalu menanjak.
Kata Dulah, jalur hari ini akan banyak melewati sabana yang silih berganti dengan hutan dataran tinggi. Dan yang pasti, ia tetap mengingatkan supaya kewaspadaan tetap harus dijaga—karena potensi bertemu harimau sumatera akan selalu ada.
Sabana, Sabana, dan Sabana
Untuk menuju Bivak Kaleng, kami akan melewati beberapa titik penting: Kamp Empat Sekawan, Kamp Koba, dan Telaga Khansa. Semua titik ini berupa padang rumput luas—sabana—dengan tumbuhan perdu dan semak belukar.
Perjalanan hari kelima pendakian ini cukup menyenangkan. Pemandangannya luar biasa. Selain sabana-sabana bernama tadi, kami juga melewati banyak sabana kecil yang tak bernama. Keluar hutan, masuk sabana. Selesai menyusuri sabana, masuk lagi ke hutan. Polanya terus berulang seperti itu.
Sekilas, keberadaan banyak sabana ini mengingatkan saya pada Gunung Argopuro di Jawa Timur. Tapi kalau dibandingkan dengan Leuser, vegetasinya sangat berbeda. Di Leuser, rerumputannya lebih liar dan tak beraturan. Banyak batuan, perdu, serta kantong semar. Ada juga tumbuhan seperti cemara kecil beruntai—yang saya sendiri tak tahu jenisnya. Sementara di Argopuro, dominan berupa rerumputan seragam, dihiasi pinus dan cemara.
Yang paling mencolok dari sabana di Leuser adalah banyaknya kubangan air. Itu menjadi tempat minum bagi satwa-satwa liar. Bahkan di salah satu kubangan di Kamp Koba, saya melihat kotoran harimau. Bentuknya khas—berisi bulu dan kuku rusa. Untung saya cukup awas memeriksanya. Kalau tidak, mungkin saja saya mengambil air dari sana untuk persediaan minum.
Kamp Koba dan Empat Sekawan
Kami beristirahat makan siang di Kamp Koba—ya, di tempat yang tadi kubangannya ditemukan jejak harimau. Seharusnya, kemarin kami bermalam di sini. Tempatnya terbuka, langit berawan, dan cuaca cerah dengan panas terik. Kesempatan sempurna untuk menjemur panel surya, mengisi ulang daya power bank dan telepon genggam dengan energi matahari.
Adul memasang antena satelit pada sebatang kayu yang tertancap di tanah. Setelah dinyalakan, sinyal telekomunikasi pun muncul dengan kuat. Sambil menunggu makan siang, kami semua sibuk dengan ponsel masing-masing. Saya menyempatkan diri menelepon ke rumah, juga mengabari Remon dan Sinchan yang memantau pergerakan saya di Leuser.
Saya kembali bertanya pada Dulah mengenai asal-usul nama-nama kamp yang kami lalui. Kamp Empat Sekawan, misalnya. Dinamai demikian karena empat orang porter ngecamp di sana. Sebenarnya, aslinya bernama Kamp Paya. Dalam bahasa Gayo, paya berarti daerah berlumpur yang lembap. Di dekatnya ada genangan air berlumpur. Kamp ini biasanya hanya difungsikan sebagai tempat darurat jika pendaki kemalaman.
Sementara Kamp Koba diambil dari nama salah satu porter: Salman Fahmi, yang akrab disapa Koba. Namanya diabadikan di sini karena ketika itu, istrinya di kampung sedang melahirkan anak laki-laki. Wuih! Kelak sang anak mungkin perlu napak tilas ke tempat ini—kamp yang dinamai berdasarkan momen kelahirannya.
Telaga Khansa
Selepas makan siang, awan mulai menebal—pola yang sudah familiar: mendung datang setelah tengah hari, lalu hujan turun. Maka kami pun melanjutkan perjalanan menuju Telaga Khansa sebelum ke Bivak Kaleng.
Dalam perjalanan, saya melihat asap mengepul di kejauhan. Awalnya saya mengira ada kelompok lain di gunung ini. Tapi ternyata, jalur yang saya lalui mengarah ke sumber asap tersebut. Itu adalah para porter kami yang berjalan lebih dulu dan kini tengah membakar kayu, membuat api unggun kecil.
Sabana tempat para porter itu menunggu sangat luas, dengan kontur bergelombang. Di salah satu cekungannya terbentuk telaga alami. Itulah Telaga Khansa. Luasnya tak seberapa, tapi konon kedalamannya lebih dari lima meter. Namanya diambil dari nama seorang pendaki yang menandai titik itu di peta. Lama-kelamaan, semua orang mengenalnya sebagai Telaga Khansa. Padahal menurut Dulah, awalnya hanya disebut Kamp Telaga saja.
Di tengah perjalanan kami yang rasanya berada dalam kesendirian, ada kebersamaan yang sunyi tapi nyata. Kami adalah bayangan kecil dalam bentang alam raksasa yang tak peduli siapa kami. Tapi dengan mengingat nama-nama sabana itu, kita seperti berkata kepada alam: “Kami ada di sini. Dan kami menghargai keberadaan kisah mereka.”
Meliuk-liuk
Setelah Telaga Khansa, saya merasa seperti kena prank. Tak banyak melihat peta lagi, saya mengira Bivak Kaleng sudah dekat. Tapi setelah mendaki satu bukit, ternyata di depannya masih ada bukit lain. Jalur setapak mendaki tampak meliuk-liuk. Beberapa rekan terlihat kecil di kejauhan, berjalan di ujung jalur.
“Kijang satu! Kijang satu! Posisi di mana? Apakah posisi kami sudah terlihat? Ganti!”
Kurang lebih seperti itu seruan Adul melalui radio komunikasi. Kami sedang berdiri di sebuah punggungan terbuka. Panggilan itu ditujukan kepada tim belakang yang belum tampak dari kejauhan.
Padahal pada hari pertama kami sepakat untuk berjalan bersama. Tapi kesepakatan itu tak bertahan lama. Kecepatan kami berbeda, apalagi yang senang membuat konten, biasanya lebih lambat. Akhirnya kami terpecah—ada yang di depan, ada yang di belakang. Menjadi tiga hingga lima tim kecil.
Berjalan bersama dan tidak terpisah terlalu jauh adalah hal penting di Leuser. Pantang berjalan sendirian, apalagi jika malam hari. Komunikasi harus terus dijaga. Selain untuk saling mengawasi, ini juga demi mengurangi risiko menarik perhatian 'si nenek'—julukan sang harimau sumatera.
Bivak Kaleng
Langit kelabu. Kabut tipis. Gerimis mulai turun. Hari beranjak sore. Saya mempercepat langkah. Selain bersama Adul, tak jauh dari saya ada Kak Duwi, Mazlan, Naomi, Pipi, dan Dion. Sedikit terpisah, Gio dan Nadya tampak sibuk membuat konten video. Akhirnya, sekitar pukul lima sore, kami semua tiba di Bivak Kaleng.
Berupa lahan datar yang tak begitu luas di tengah sadelan bukit. Lalu, mengapa tempat ini disebut Bivak Kaleng? Sekilas, tak ada yang tampak istimewa. Area ini dikelilingi pohon cantigi. Saya sempat menengok ke sekitar, tak ada satu pun kaleng di dekat tenda-tenda kami.
Namun, beberapa puluh meter sebelum tiba, saya melihat kaleng berbentuk kotak—usang dan terkoyak dimakan waktu. Teronggok di tepi lintasan. Tak tampak menarik, tapi itulah rupanya kaleng yang dimaksud.
Anwar, pemandu lokal dari Leuser Mentalu, membenarkannya. Kaleng-kaleng seperti itu dulunya banyak tersebar di sabana ini. Sisa ransum militer yang menggunakan tempat ini sebagai basecamp operasi sekitar tahun 1980–1990-an. Entah operasi pendakian, atau militer, saat masa konflik di Aceh dulu.
Saya mengernyit mendengar kisah itu. Informasinya minim. Rentang waktunya terlalu luas. Bahkan saat saya mencoba mencari referensinya di internet setelah turun gunung, ada yang menuliskannya sebagai peninggalan Belanda. Benarkah sudah selama itu?
Sementara kaleng yang saya foto itu tetap teronggok bisu, menjadi gambar yang tak utuh memberi makna—ia tak bisa menjelaskan apa-apa. []
I Komang Gde Subagia | Gayo Lues, Desember 2024