Kota Serambi Mekah

Masjid Baiturrahman di Kota Banda Aceh.


Saya dan Irpan tiba kala subuh di Kota Banda Aceh. Travel yang kami gunakan langsung mengantar ke Hotel Portola Arabia. Kami tak bisa langsung masuk, karena pesanan kamar bukan untuk kemarin, melainkan untuk hari ini, dengan waktu check-in pada siang hari. Akhirnya kami hanya menitipkan tas untuk ditinggal.


Masjid Baiturrahman

Lalu, ke mana subuh-subuh begini? Ke masjid saja. Salah satu ikon Kota Banda Aceh adalah masjid agungnya: Masjid Baiturrahman.

Di Aceh, tidak mengunjungi masjid terasa tak afdol. Sejak berabad-abad lalu, daerah ini menjadi pintu penyebaran Islam pertama di Nusantara. Para ulama dan saudagar dari Arab, Gujarat, dan Persia singgah di pelabuhan-pelabuhan Aceh sebelum melanjutkan perjalanan ke timur. Ajaran Islam tumbuh dan masjid-masjid berdiri, termasuk lembaga-lembaga pendidikan tinggi agama. Orang-orang pada zaman dulu singgah, menuntut ilmu, dan mempersiapkan diri untuk menapaki perjalanan suci yang akan mengubah hidup di sini. Karena itulah ia dijuluki sebagai Serambi Mekah: gerbang menuju tanah suci.

Jika kita mengetikkan “Banda Aceh” di mesin pencarian internet, maka gambar-gambar masjid terbesar di Aceh ini pun segera muncul. Dari Google Maps, lokasinya tampak tak begitu jauh. Kami pun berjalan kaki ke sana, menyusuri jalanan yang masih gelap dan sepi.

Tak salah memang jika saya menyebutnya sebagai ikon kota. Ia dikenal sebagai simbol kejayaan Islam, budaya, dan perjuangan masyarakat Aceh. Dibangun oleh Sultan Iskandar Muda pada tahun 1612 Masehi, masjid ini menjadi pusat ibadah, pendidikan, dan ikon wisata religi.

Jika ditelusuri sejarahnya, masjid ini menyimpan cerita panjang. Konon, bangunan aslinya dahulu terbuat dari kayu dengan satu kubah tunggal yang sederhana. Pada masa kolonial, ketika pasukan Belanda menyerbu Banda Aceh tahun 1873, masjid ini sempat dibakar habis. Peristiwa itu memicu kemarahan dan luka bagi rakyat Aceh, menimbulkan semangat perlawanan.

Sebagai upaya meredakan amarah rakyat, Belanda kemudian membangun kembali masjid itu pada tahun 1879. Dari satu kubah, kini berdiri tujuh kubah megah yang memayungi halaman luasnya, dengan gaya arsitektur Moghul yang menyerupai Taj Mahal di India. Ya, bisa dibilang, masjid ini lahir kembali atas tangan Belanda. Ia yang dibangkitkan penjajah, malah tumbuh menjadi simbol kebanggaan dan persatuan rakyat Aceh sampai kini.

Menara Masjid Baiturrahman.

Masjid Baiturrahman.


Alunan Azan Subuh

Kami memasukinya dari gerbang sisi utara. Karena tak boleh menggunakan alas kaki, saya menitipkan sandal di tempat penitipan. Ada petugas khusus yang menjaganya, yang sepertinya baru datang dan bersiap menyambut subuh.

Kaki saya pun melangkah di halaman masjid. Lantainya seluruhnya marmer. Di beberapa bagian, tergenang air sisa hujan semalam. Licin. Saya agak waswas dan berhati-hati, takut terpeleset.

Di tengah halaman terdapat taman berisi kolam berpagar terali. Itulah yang memisahkan bangunan utama dan menara, yang merupakan bangunan tertinggi di Aceh.

Di beberapa titik yang teratur, terpasang payung-payung raksasa hidrolik, meski sebagian besar masih tertutup. Beberapa petugas terlihat melakukan perbaikan di salah satu payung itu, mungkin perawatan berkala.

Lampu-lampu bersinar kuning hangat, membuat pemandangan masjid utama di kota ini makin megah. Saya mengabadikannya dalam beberapa gambar, hingga kemudian azan subuh berkumandang.

Perlahan, warga sekitar mulai berdatangan: tua, muda, laki-laki, perempuan. Saya menemani Irpan berwudu. Saya sendiri membasuh muka, menghilangkan penat usai perjalanan dari Takengon sebelumnya. Lalu beristirahat di pelataran masjid ketika orang-orang menunaikan ibadah di dalam.

Menyusuri pelataran masjid saat azan subuh berkumandang.


Alumni Al-Azhar Kairo

Irpan punya kenalan di Banda Aceh yang belum pernah ditemuinya secara langsung, hanya secara daring. Namanya Mohammad Iqbal, lulusan Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, jurusan Hukum Syariah. Kata Irpan, Iqbal sering memberikan kajian-kajian islami di media sosial. Dari situlah Irpan mengenalnya, hingga mereka sering berdiskusi jarak jauh.

Karena kami sudah di Banda Aceh, Irpan menghubunginya dan mengajak bertemu. Tak butuh waktu lama, ia menghampiri kami di Masjid Baiturrahman. Pertama bertemu, perawakannya tampak gempal dan gagah, dengan kumis dan jenggot tipis. Ia menyalami Irpan dan saya, menanyakan kabar usai pendakian kami dari Leuser. Logat Acehnya kental sekali terdengar dalam obrolan.

Kami kemudian beranjak meninggalkan masjid. Lebih baik melanjutkan obrolan dengan teman baru sambil sarapan dan minum kopi. Tapi sesaat setelah keluar dari pelataran, saya melihat banyak toko suvenir. Saya pun membeli sebuah peci bermotif rencong, senjata khas Aceh. Pas sekali di kepala. Kata Irpan, “Cocok,” apalagi saya sedang memakai sarung.

Iqbal, Irpan, dan Bli Gejor.


Kopi Ulee Kareng

Iqbal mengendarai sepeda motor, membonceng saya dan Irpan. Ya, satu motor bertiga. Kami seperti “cabe-cabean”, kalau kata orang. Menuju sebuah kedai kopi di tepi Krueng Aceh, sungai besar yang membelah Kota Serambi Mekah ini. Nama kedai itu: Solong Coffee Ulee Kareng.

Ngomong-ngomong soal merek kopi yang cukup terkenal di Aceh ini, Ulee Kareng sendiri adalah nama sebuah kecamatan. Tidak ada kebun kopi di sana, tetapi kawasan itu menjadi sentra warung-warung kopi legendaris. Nama itulah yang kemudian dijadikan sebagai jenama usaha. Walaupun begitu, pada dasarnya tetap merujuk pada gaya penyajian dan racikan khas kopi Aceh.

Kami memesan lontong sayur untuk sarapan pagi, dan tentu saja secangkir kopi. Di belakang meja barista, tampak para karyawan sibuk menyiapkan berbagai pesanan pengunjung. Satu di antaranya terlihat menyaring kopi dengan kain. Ya, Ulee Kareng memang memiliki keunikan pada cara penyajiannya. Tidak menggunakan mesin espresso atau mesin modern.

Panganan ringan juga tersedia di meja. Saya menikmatinya usai menyantap lontong sayur, sambil sesekali ikut nimbrung dalam obrolan Irpan dan Iqbal. Seperti di Aceh pada umumnya, warung kopi adalah bagian dari kehidupan sosial: tempat bertukar kabar maupun berdiskusi tentang apa pun.

Ngopi di Solong Coffee Ulee Kareng.

Krueng Aceh: sungai yang mengalir di tengah Kota Banda Aceh.


Gerakan Aceh Merdeka

Dalam seruputan kopi di kedai yang sejuk, obrolan mengalir ke banyak arah: dari kisah Iqbal di Kairo, kepulangannya ke Indonesia, hingga cita rasa kopi dan cerita masa lalu tentang negeri Serambi Mekah ini. Di wajah-wajah orang Aceh, selalu ada sesuatu yang tegar sekaligus teduh, seperti kopi mereka: pahit di awal, tapi nikmat juga pada akhirnya.

Dari sanalah ingatan saya perlahan menyentuh sejarah yang lebih kelam. Tentang tanah yang pernah gawat oleh operasi militer. Tentang perjuangan dan luka rakyat Aceh pada negeri yang menjadikannya bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tentang masa ketika suara tak hanya terdengar dari masjid dan pasar, tetapi juga dari hutan-hutan di kaki gunung: masa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dideklarasikan pada tahun 1976.

“Dar der dor! Seorang anggota Brimob mati bersimbah darah di pinggir jalan,” ucap Ibu Ida ketika saya dan Irpan makan malam di warungnya di Takengon tempo hari. Itu kisahnya tentang penyergapan anggota polisi oleh gerakan kemerdekaan. “Hari ini kejadian, besok ada pembalasan. Setiap hari gawat! Di Takengon saja begini, di Banda Aceh lebih parah lagi,” sambungnya. Saya sedikit bergidik mendengar cerita tersebut.

Tentang konflik ini, saya juga teringat dengan beberapa teman asal Aceh. Saya pernah tinggal bersama mahasiswa-mahasiswa dari Aceh di satu asrama di Bandung, juga beraktivitas bersama di Student Center Kampus STT Telkom, tempat saya kuliah di periode awal tahun 2000-an. Tak ada yang antusias ketika membicarakan Indonesia. Waktu ada upacara tujuh belasan di lapangan rektorat, mereka ogah-ogahan ikut serta. “Nasionalisme tahi kucing,” begitu kata-kata itu masih terngiang di kepala, menyiratkan rasa tak suka.

Kekecewaan mendalam masyarakat Aceh terhadap Indonesia, atau lebih tepatnya terhadap pemerintah pusat kala itu, memang bukan tanpa alasan. Kebijakan yang ada dianggap tidak adil dan mengeksploitasi sumber daya alam Aceh, serta hanya untuk keuntungan orang-orang di Jakarta. Ditambah keinginan merdeka untuk menegakkan syariat Islam. Semua itu mendapat dukungan rakyat Aceh, baik di dalam maupun di luar negeri. Gerakan pun semakin terorganisir, dengan Hasan Tiro, yang merupakan tokoh intelektual setempat, menjadi pemimpinnya.

Respon pemerintah tak kalah keras. Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Eskalasi konflik bersenjata makin menjadi, melibatkan serangan GAM dan tindakan represif militer. Konflik kian sengit, kedua pihak saling menyerang dan mengabaikan hukum. Dalam periode itu, ribuan pelanggaran HAM, termasuk penculikan dan penyiksaan terhadap tersangka anggota GAM serta rakyat sipil, terjadi. Wajar jika orang-orang Aceh makin muak.

Toko yang menjual pakaian anak-anak bermotif polisi dan tentara, mengingatkan bahwa Aceh pernah dijadikan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).


Hidup Damai

Namun takdir menemukan jalannya sendiri. Tahun 1998, Presiden Soeharto yang militeristik turun. Penggantinya, Presiden Habibie, memilih bersikap lebih lunak. Dialog dengan pihak GAM dimulai. Status DOM dicabut. Jeda perang dan perdamaian demi kemanusiaan pun berlangsung hingga masa Presiden Gus Dur. Tapi kemudian, di zaman Presiden Megawati, operasi militer di Aceh dimulai lagi.

Hingga akhirnya pada tahun 2004, bencana besar terjadi: Aceh hancur oleh tsunami. Kedua pihak, Indonesia dan GAM, seperti dituntun tangan gaib untuk berdamai. Perjanjian Helsinki di Finlandia pada tahun 2005 pun disepakati. Keduanya berkomitmen menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat bagi masyarakat Aceh.

Para petinggi pemberontak diberi kesempatan menjadi pemimpin. Hasan Tiro, yang berkewarganegaraan Swedia, menjadi Wali Nangroe, sebuah jabatan pemimpin adat sekaligus pelestari budaya serta pemberi nasihat strategis bagi pemerintahan Aceh. Bahkan Gubernur Aceh sekarang, saat saya berkunjung ke provinsi ini, adalah mantan Panglima GAM. Ia pernah dilatih di Libya untuk menjadi pejuang gerilya.

Ketika perjanjian itu dibuat dan menyadari mereka yang dianggap pemberontak jadi diuntungkan, pihak militer Indonesia sempat menentang keras. Sempat timbul kekhawatiran akan terjadi disintegrasi. Namun akhirnya, seiring waktu, semuanya tetap dapat menerima dan mematuhi kesepakatan. Makanya saya bisa minum kopi dengan tenang seperti sekarang, tanpa perlu waswas ada tembakan senjata di mana-mana. Dan untuk bisa berdamai, masa lalu memang tak perlu lagi dipersoalkan panjang lebar. Semua harus berjiwa besar.

Bli Gejor di tempat wudhu. Kata Irpan: sudah cocok jadi mualaf.


Kisah yang Tak Pernah Usai

Aceh kini telah tenteram dan damai, tapi masih menyimpan kisah yang belum saya jelajahi: tentang gelombang besar yang pernah mengubah segalanya. Yang pendorong perdamaian yang dirasakan sampai sekarang. Saya menatap ke arah sungai yang mengalir tak jauh dari tempat saya duduk, membayangkan betapa tenangnya hari ini dibanding masa lalu yang begitu bergemuruh. []


I Komang Gde Subagia | Banda Aceh, Januari 2025


Terkait:
Leuser (Bagian 19: Gelombang Ujung Utara Sumatera)

Comments