
Pendakian pada hari pertama.
Kami tiba di basecamp kala dini hari. Kantuk dan lelah masih tersisa usai perjalanan panjang dari Medan. Kemudian bergegas meletakkan tas dan barang-barang bawaan. Lalu berlanjut dengan duduk melingkar bersama. Ditemani kopi dan sepiring gorengan. Membahas rencana pendakian yang akan dimulai esok hari.
Kedah
Dusun atau Kampung Kedah, itulah sebutannya. Secara resmi, berada di antara dua wilayah desa, yaitu Penosan dan Penosan Sepakat. Dan secara administratif, berlokasi di Kecamatan Blangjerango, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Kampung ini menjadi titik awal pendakian kami. Di peta, posisinya berada di utara Gunung Leuser. Jaraknya sekitar sepuluh kilometer di sebelah barat Blangkejeren, ibukota kabupaten.
Pintu masuk utama untuk menuju Kedah adalah Jalan Raya Kutapanjang. Penandanya berupa pertigaan yang mengarah ke selatan. Perkampungan utama tak jauh dari jalan raya. Lebih jauh masuk ke dalam, persawahan menghijau ada di kanan dan kiri jalan kecil yang tak rapi. Di mana sesekali domba dan kambing menyeberang ke sana kemari. Rambu-rambu bertuliskan Asmaul Husna terpancang tiap sepuluh meter. Sesekali, melintas becak motor yang khas: sepeda motor dengan gandengan di sampingnya.
Berada di ketinggian seribuan meter di atas permukaan laut, Kedah terasa sejuk di kala siang dan cukup dingin di waktu malam. Selain persawahan, di beberapa titik ada kebun-kebun kopi dan coklat. Ada juga kebun-kebun tembakau. Air mengalir jernih di selokan pinggir jalan. Beberapa puluh meter di sebelah barat jalan, terlihat sungai kecil yang mengalir di tengah persawahan. Aliran-aliran air itu berhulu di hutan Gunung Leuser.

Pak Sugi dan Ibu Yani
Selain kami yang baru tiba dari Medan, ada dua rekan pendaki kami yang lain. Mereka tiba sehari lebih awal di Kedah, berangkat bersama Adul dan tim pendukung dari Shelter Garut. Kedua pendaki ini adalah Sugiarto Candra Lim dan Yani Lim. Dua pendaki senior, dengan usia mendekati atau sekitar lima puluh tahun. Dan kebetulan, mereka sama-sama bermarga Lim. Nadya, yang saya ceritakan di tulisan sebelumnya, juga bermarga Lim. Semoga tak ada nepotisme di pendakian ini, canda saya pada mereka.
Sugiarto Candra Lim. Saya dan rekan-rekan lain kemudian lebih sering memanggilnya dengan panggilan Pak Sugi. Berasal dari Surabaya dan terlihat sangat antusias dalam pendakian ini. Ia yang paling banyak melontarkan berbagai pertanyaan tentang harimau di grup percakapan. Nanti, yang paling saya ingat darinya adalah panggilan pada porter pribadinya. "Badrun...", begitu biasanya selalu terdengar di kamp.
Kemudian Yani Lim. Saya memanggilnya dengan panggilan Ibu Yani. Sudah pernah mendaki Leuser sebelumnya. Hanya saja pendakiannya itu lewat jalur lama dari Kedah yang sedikit berbeda. Ia adalah anggota Sangkala, kelompok pecinta alam yang bermarkas di Medan. Ia beberapa kali menawari saya dan rekan-rekan pendaki lainnya untuk menginap di sanggar, istilahnya untuk menyebut Sekretariat Sangkala. Karena tak sempat ke pusat kota sewaktu di Medan, tawarannya itu pun terlewatkan.
Yani Lim (Ibu Yani).
Pagi di Basecamp
Dari salah satu sudut ruangan utama di mana saya terlelap, telinga menangkap sayup-sayup suara hujan. Saya masih meringkuk di dalam hangatnya kantong tidur. Lalu perlahan membuka mata. Suara air di luar terdengar makin jelas. Saya merasa sedikit cemas. Sepertinya cukup lebat. Membayangkan mendaki di hari pertama diguyur hujan, rasanya tak enak.
Saya pun bergegas bangun. Sebagian besar rekan-rekan saya juga sudah bangun. Ada yang berkemas, ada yang antri di kamar kecil, ada juga yang santai menikmati secangkir kopi. Lalu saya beranjak keluar. Tapi begitu di luar, hujan hanya gerimis kecil. Suara air yang saya dengar ternyata berasal dari got di depan basecamp. Alirannya deras, persis seperti bunyi hujan lebat. Saya kecele.
Langit berwarna kelabu. Mendung. Pegunungan Leuser yang menghijau di arah selatan tak nampak jelas. Ia tertutup kabut dan awan tebal. Bagian lain Pegunungan Leuser di arah utara juga sama, tak tampak karena tertutup awan. Di tempat saya berdiri, hanya ada dua rumah. Satu adalah rumah yang menjadi basecamp. Satu lagi di seberangnya, adalah rumah penggilingan padi. Di sekitarnya sawah. Sementara rumah-rumah warga lainnya berlokasi cukup jauh.
Pagi yang mendung di Basecamp Kedah.Kopi gayo dan pisang goreng saat menyambut pagi di Kedah.
Leuser Mentalu
Nama basecamp yang kami singgahi ini adalah 'Leuser Mentalu'. Artinya 'Leuser Memanggil'. Baru didirikan beberapa bulan lalu, di atas bekas sawah. Oleh sekelompok warga yang berprofesi sebagai pemandu lokal. Dibangun oleh tiga orang orang bersaudara: Mister Nasir, Abdulah, dan Anwar. Foto mereka bertiga ada di sebuah spanduk yang terpasang di tembok. Lengkap dengan nomor telepon dan akun media sosial masing-masing.
Sebelum memutuskan mendaki Leuser, yang saya tahu tentang pemandu lokal di Kedah ini adalah Rajali alias Mister Jali. Informasi tentangnya berseliweran di internet. Banyak yang mengatakan bahwa Mister Jali yang merintis jalur pendakian dari sisi utara ini. Ia membentuk kelompok pemandu gunung sekaligus mengembangkan wisata pendakian untuk para turis. Hingga perlahan mendirikan pondok di tepian hutan yang bernama Bungalow Mister Jali. Tapi kini, Mister Jali sudah tua dan sakit. Kepemanduannya di gunung diteruskan oleh anaknya.
Sedangkan Mister Nasir dulunya adalah anggota tim pemandu Kelompok Mister Jali. Saya tak tahu pasti, bagaimana kisah Leuser Mentalu ini didirikan oleh Mister Nasir, sehingga ia berbeda dengan kelompok pemandu Mister Jali. Saya tak enak untuk menanyakan alasan dan latar belakangnya. Hanya mengira-ngira saja. Tapi yang pasti, kedua kelompok pemandu ini masih aktif. Keduanya bisa dijadikan pilihan, karena menjadi rekomendasi BKSDA setempat untuk memandu para pendaki menjelajahi Gunung Leuser.
Tim pemandu lokal dari Leuser Mentalu yang akan menemani pendakian adalah Abdulah alias Dulah. Mister Nasir, abangnya, tidak bisa ikut karena baru turun gunung usai memandu kelompok pendaki lain. Dulah yang menjadi kordinator dari para pemandu lokal. Anggota timnya adalah: Anwar, Jaenal Abidin, Badrun, Kasat, Zulfadli, dan Saiful. Dari keseluruhan pemandu lokal ini, hanya Zulfadli dan Saiful yang belum pernah mendaki Leuser. Jadi sama seperti saya, ini akan menjadi pendakian perdana mereka.
Tim Pendukung
Seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, pendakian ke Leuser ini dikelola oleh Shelter Garut. Badan usaha wisata pendakian gunung yang didirikan oleh Adul. Ia dari Garut di Jawa Barat, yang sepertinya memang menjadikan daerah asalnya itu sebagai jenama dan merek usaha. Dalam pendakian ke Leuser kali ini, Adul membawa serta beberapa orang yang menjadi tim pendukung: Willy Darmawan alias Kiwil, Renaldi Fauzi alias Ahong, Jamaah Rahmad alias Sapu, Givary Antoni alias Gio, Alwi Pikauli, Alkautsar Taufik, dan Alfaro Tobing.
Kiwil dan Ahong saya lihat seperti satu paket tim pendukung. Mereka pemandu gunung di Rinjani, di Lombok sana. Kalau tak salah, keduanya berasal dari Bogor. Tapi sehari-hari biasanya bermukim di Sembalun, sebuah desa di kaki Gunung Rinjani. Jika ada pendaki ke Rinjani dan memakai jasa Shelter Garut, maka kemungkinan besar akan bertemu dengan mereka. Karena saat ini Rinjani sedang ditutup, maka Kiwil dan Ahong dialihkan ke Leuser oleh Adul untuk bantu-bantu.
Lalu ada Sapu. Lebih dikenal dengan sebutan Sapu Rinjani. Ia juga pemandu gunung di Rinjani. Seorang anggota Gempar, Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Gunung Rinjani di Lombok. Walaupun pernah bersekolah dan kuliah di Lombok, Sapu aslinya berasal dari Sulawesi. Ia juga sedikit fasih berbahasa Bali, karena di Sulawesi tinggal dekat dengan pemukiman transmigran asal Bali. Rambutnya gondrong dan dikepang konro. Rambutnya itu menjadi ciri khas ketika kami mendaki Leuser.
Kemudian ada Gio. Saya kurang tahu bagaimana ia bisa bergabung dengan Shelter Garut. Dari penampilan dan musik-musik yang dikumandangkan melalui speaker portable atau telepon genggamnya, ia sepertinya adalah 'anak senja'. Sebuah istilah untuk menyebut generasi muda yang menyukai lagu-lagu indie, puisi, kontemplasi, keterhubungan dengan alam, dan tentu saja matahari terbenam. Termasuk sepatu gunung yang dipakainya berjenis indie alias sepatu bot karet pendek, harga dua puluh ribuan. Yang kalau tidak salah, sepatu itu dibeli di Pasar Kutapanjang, pasar terdekat dari basecamp.
Berikutnya adalah Alwi. Saya cukup surprise melihatnya ketika tiba di Leuser Mentalu. Ia satu-satunya tim pendukung yang saya kenal. Alwi adalah pemandu gunung di Binaiya. Sebagian besar dari kami telah mengenalnya sejak mendaki ke Binaiya setahun yang lalu. Ia jauh-jauh berangkat dari Pulau Seram ke Aceh untuk bantu-bantu pendakian. Sekaligus supaya bisa menjejakkan kaki di Leuser untuk pertama kalinya. Persis seperti sebagian besar anggota tim pendukung yang tak pernah ke Leuser sebelumnya.
Alkautsar. Ia dari Padang di Sumatera Barat. Saya tak banyak memiliki informasi tentangnya. Rasanya ia tidak memiliki latar belakang pemandu gunung. Juga bukan seorang anggota komunitas pecinta alam mana pun. Tetapi ia sudah banyak mendaki gunung ke mana-mana. Yang paling lucu darinya adalah julukannya: El Piton. Itu karena nanti ketika kami sudah ada di ketinggian Leuser, ia melihat ular piton sebesar paha orang dewasa. Yang akhirnya dijadikan olok-olok oleh yang lain, karena mana mungkin di ketinggian tiga ribuan meter ada ular besar yang tak berbisa itu.
Alvaro. Pemuda Batak ini adalah anggota Kompas USU alias Korps Mahasiswa Pecinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup Univesitas Sumatera Utara. Masih aktif sebagai mahasiswa semester akhir. Seragam kebesaran mapalanya menjadi pakaian lapangannya ketika mendaki Leuser bersama saya. Ia ikut menjadi tim pendukung dalam pendakian ini karena rekomendasi seniornya di Kompas USU pada Adul. Rambutnya sedikit gondrong dan selalu memakai bando.
Alfaro Tobing.
Rekor Terbanyak
Pendakian kami kali ini adalah pendakian yang mencapai rekor. Yaitu dengan jumlah personel paling banyak dari seluruh pendakian Leuser yang pernah dilakukan selama ini. Jumlah pendaki, tim pendukung, serta pemandu dan porter lokal adalah tiga puluh empat orang. Ramai sekali.
Pendakian dengan personel terbanyak yang pernah dilakukan sebelumnya adalah berjumlah dua puluh delapan orang. Itu dilakukan pada tahun 2015 lalu. Diselenggarakan oleh Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser dalam rangka pembaruan data dan informasi. Mereka melakukan pendakian lintas dari sisi timur laut gunung ke pesisir barat Sumatera. Dari Kedah di Gayo Lues sampai ke Trieng Gading di Aceh Barat Daya.
Kisah tentang pendakian pada tahun 2015 ini diceritakan oleh Anwar pada saya. Ia menjadi bagian tim tersebut sebagai pemandu dan porter lokal, bersama Mister Jali dan Mister Nasir. Walaupun Anwar pernah satu kali melakukan pendakian lintas jalur, ia sudah berkali-kali mencapai Puncak Leuser dari Kedah. Ia termasuk salah satu pemandu yang memiliki jam terbang tinggi mengantar pendaki.
Naik Truk
Dalam briefing semalam, kami sepakat akan memulai pendakian agak siang. Karenanya, kami akan naik kendaraan hingga ujung jalan kampung. Waktu pendakian yang harus ditempuh hari ini pun bisa dipangkas. Sebuah truk yang biasanya digunakan mengangkut sapi atau kerbau disiapkan. Kami menaikinya bergiliran. Lalu berdesakan di dalam bak truk itu, sambil berpegangan pada tepian bak. Beberapa dari kami bahkan duduk di kap, bagian atas ruang kemudi.
Saat truk mulai berjalan, penumpangnya yang berdiri langsung oleng. Tubuh terdorong seirama laju kendaraan. "Eaaa...!!! Eaaa...!!!" begitu beberapa dari kami memberikan respon sambil tertawa-tawa. "Seru juga ya, jadi sapi" celetuk salah seorang menambahkan. Tawa pun makin membahana. Sesekali beberapa dahan pepohonan ikut mengganggu perjalanan, terutama bagi mereka yang duduk di kap. Hingga akhirnya truk berhenti di depan sebuah bangunan.
"Ayo turun! Kita izin dan foto-foto dulu sama petugas balai" seru Adul dari luar. Truk ternyata berhenti di depan Kantor Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser Resor Kedah. Kami semua pun turun. Perizinan mendaki sudah beres beberapa hari sebelumnya. Jadi kami hanya ramah tamah dengan petugas sedang standby. Bapak petugas malah berkomentar pada pakaian dan sepatu yang kami kenakan. Katanya pakaian dan sepatu kami diperkirakan akan 'pensiun' sepulangnya dari Leuser. Wah!
Hanya sekitar lima sampai sepuluh menit kami di kantor balai. Truk pun melanjutkan perjalanan setelah kami semua naik kembali. Lalu berhenti di sebuah pertigaan jalan. Itulah pertigaan tempat jalan setapak jalur pendakian Leuser di Kedah berawal. Jalannya tak beraspal, berupa tanah yang bergelombang. Bagian dari jalan perkebunan warga. Karena di sekitarnya memang terdapat kebun-kebun milik warga setempat. Dari sini, kami mulai melangkahkan kaki beriringan.
Perjalanan ke titik awal pendakian.
Menuju Pos Pantau
Target kami siang ini adalah Pos Pantau. Lokasinya di tepi hutan. Maka dari itu, kadang disebut juga sebagai pintu rimba. Jam di tangan saya menunjukkan pukul sepuluh pagi kurang. Dengan jarak tak lebih dari tiga kilometer, sekitar tengah hari kami semua akan tiba di pos tersebut untuk beristirahat dan makan siang. Itu perkiraan saya.
Langit berawan. Matahari bersinar cukup terik. Udara juga sedikit terasa panas. Kami yang awalnya berjalan berdekatan satu sama lain, mulai tersebar menjadi kelompok-kelompok kecil. Perbedaan beban tas yang dibawa, kecepatan berjalan beragam, serta minat menikmati pemandangan yang tak sama; menjadi penyebabnya. Tapi tak mengapa. Yang penting tidak berjalan sendiri. Serta kami juga belum memasuki hutan.
Di beberapa tempat, ada motor-motor milik petani yang parkir di pinggir jalan. Juga beberapa gubuk tempat berteduh yang dijaga oleh anjing. Satu dua petani yang melihat saya, meyapa ramah. Mereka menyiangi kebun yang ditumbuhi tanaman tembakau. Gayo Lues dan kawasan pegunungan di Aceh bagian tengah, memang terkenal sebagai penghasil tembakau. Konon, tembakau-tembakau dari daerah ini dikabarkan memiliki aroma mirip dengan ganja.
Seekor anjing kecil mengikuti kami. Ada juga sekumpulan kerbau yang merumput di beberapa tempat. Melihat hewan-hewan peliharaan ini berkeliaran bebas di dekat hutan, membuat saya bertanya-tanya. Tidakkah itu mengundang 'nenek', sang harimau sumatera, datang untuk memburunya? Anwar yang berjalan tak jauh dari saya menjawabnya. "Di sini, nenek tak pernah memangsa hewan ternak, tak pernah berkonflik dengan manusia. Karena habitatnya di Leuser masih terjaga. Makanan mereka di hutan masih banyak."
Jalan setapak yang saya lalui makin mengecil. Jalur mulai mendaki perbukitan yang ditumbuhi ilalang. Hutan di depan terlihat makin mendekat. Awan dan kabut menutupnya sebagian. Pepohonannya lebat. Warnanya yang hijau gelap seperti menyimpan misteri. Beberapa ekor elang terbang berputar, melayang-layang di atas sana. Setelah mendaki perbukitan, tampak di kejauhan sebuah bangunan kayu bertingkat. Itulah Pos Pantau yang kami tuju. Nasi bungkus yang dibawa dari basecamp akan segera kami nikmati di sana.
Usai makan siang, kami mulai memasuki hutan. Bagi saya, rasanya cukup deg-degan. Memikirkan akan berada di dalam sana selama dua belas hari ke depan. Apalagi ini adalah pertama kalinya saya mendaki gunung di Sumatera. Suasananya seakan berbeda dengan gunung-gunung yang pernah saya daki sebelumnya, seperti di Jawa atau Bali. Salah satu yang paling saya khawatirkan adalah keberadaan harimau. Apalagi di setapak memasuki rimba ini terpasang sebuah pengumuman, tentang larangan berburu satwa. Itu seolah memberikan warning untuk hati-hati, bahwa ada si kucing besar di sekitarnya.
Suasana kala istirahat makan siang.
Peringatan mejelang masuk hutan.
Orang Utan
Berjalan mendaki di tengah hutan memberikan satu keuntungan. Tadi sewaktu menyusuri perkebunan dan perbukitan ilalang, panas terasa menyengat. Tapi kini di hutan yang pepohonannya rindang, terasa meneduhkan. Angin berhembus sepoi-sepoi menambah kesejukan. Untung saja tak turun hujan. Suara burung bersahutan di atas kami. Juga suara-suara primata di kejauhan. Mahluk-mahluk itu seperti bernyanyi mengisi hari, menemani pendakian kami.
Hari menjelang sore. Sinar matahari yang tadi terlihat memancar di celah-celah dedaunan mulai hilang. Langit mulai mendung. Dan kabut juga turun. Satu sampai dua jam ke depan, rasanya target tempat kami bermalam akan dicapai. Saya berjalan santai. Tetap beriringan bersama beberapa rekan sependakian. Sesekali istirahat, mengatur nafas dan membasahi tenggorokan. Jalur yang kami lalui tak henti-hentinya menanjak.
Istirahat sejenak. Mengambil nafas dan membasahai tenggorokan.
Burung-burung masih terdengar berkicau merdu. Sesekali terdengar juga sayup-sayup percakapan rekan-rekan saya yang berada di rombonan depan. Pertanda mereka tak terlalu jauh. Sedang asyik-asyiknya mendengarkan kicau burung, tiba-tiba burung-burung itu terbang berhamburan. Bubar. Suasana jadi hening sekejap. Lalu berlanjut dengan keributan suara dahan-dahan pepohonan bergoyang. Apa itu gerangan?
"Ada orang utan!" begitu teriak salah seorang di antara kami. Saya otomatis berusaha melihat dengan seksama. Mengarahkan pandangan ke balik rimbun dedaunan. Itu dia! Terlihat jelas. Mahluk berbulu coklat kemerahan itu melintas di atas jalur pendakian saya. Cukup dekat. Jaraknya mungkin belasan meter. Dan ukuran mahluk itu luar biasa: lebih dari dua kali tubuh orang dewasa. Saya tebak, ia adalah orang utan dewasa. Atau mungkin juga orang utan yang sudah tua.
Seru dan sedikit menegangkan. Saya tak percaya bisa melihatnya langsung di alam liar. Saya mengeluarkan kamera dan mengarahkan lensa padanya. Tak disangka, raut mukanya berubah. Ia jadi terlihat marah ketika saya memotretnya. Mungkin kamera dan hape kami dikiranya sebagai senjata. Atau apa ada anaknya sehingga ia begitu? Entahlah. Yang pasti, ia menyeringai seperti monyet. Melotot ke arah saya. Ia menggoyangkan dahan-dahan yang digelantunginya dengan keras. Sambil menunjukkan gestur seakan mendekat, seolah menakuti dan tak suka akan kehadiran kami.
Saya yang tak terlalu paham tabiat mamalia penghuni Leuser tersebut, buru-buru menjauh. Lebih baik tak usah bertindak yang makin berpotensi memprovokasinya. Saya kemudian buru-buru bergabung dengan rekan-rekan lain. Rekan-rekan saya itu sedang duduk istirahat dan menunggu beberapa puluh meter di depan saya. Mereka juga melihat. Perlahan, saya memperhatikan mahluk itu lagi. Orang utan tersebut bergerak menjauh. Sayup-sayup, dahan-dahan yang bergoyang dan suaranya yang membahana mulai tak terdengar.
Orang utan.
Simpang Air
Jarak tempat saya melihat orang utan dan tempat bermalam hari ini tak jauh. Setelah berjalan dan mendaki lagi, saya akhirnya tiba. Tempatnya bernama Kamp Simpang Air, karena di dekatnya ada mata air. Saya tak melihat mata air itu di mana. Adanya kubangan air kecil yang membentuk kolam. Air kubangan itulah yang menjadi sumber air minum kami. Untuk dimasak atau diminum. Saya sudah membawa saringan air supaya air tersebut bisa lebih bersih sebelum diminum.
Saat saya tiba di kamp ini, jam menunjukkan pukul empat sore. Para pemandu dan porter yang telah tiba lebih dulu tampak sibuk membangun tenda. Kemudian menyusul rekan-rekan saya yang lain. Jam lima sore, kami semua sudah tiba dengan aman. Tenda pun sudah berdiri dan siap ditempati.
Tiba di Kamp Simpang Air.Aktivitas saat sore di depan perapian.
Saya kemudian bergabung ke dekat tenda dapur. Api unggun telah menyala dan perlahan membesar. Dengan segelas teh yang baru diseduh, lalu diseruput, hangat makin terasa. Saya ngobrol bersama beberapa rekan di depan api unggun, menemani Zulfadli yang bertugas menanak nasi. Perlahan, malam pun turun di lebatnya hutan Gunung Leuser. []
I Komang Gde Subagia | Gayo Lues, Desember 2024
Comments
Post a Comment