Ini adalah pendakian saya pada hari kedua. Sehari sebelumnya, saya dan rekan-rekan pendakian telah mendaki pada hari pertama. Menempuh perjalanan dari Basecamp Leuser Mentalu di Dusun Kedah hingga ke Kamp Simpang Air. Tujuan hari kedua ini adalah ke sebuah puncak gunung. Namanya: Puncak Angkasan.
Matahari dan sore yang mendung di Puncak Angkasan.Terhubung ke Langit
Dalam pendakian ini, perlengkapan tim dilengkapi dengan seperangkat antena satelit portable. Mereknya Starlink. Berukuran kecil dan berbobot ringan dibandingkan antena satelit pada umumnya. Bisa memberikan akses internet berkecepatan tinggi.
Dalam pengoperasiannya, antena ini cukup dinyalakan di ruang terbuka untuk dapat terhubung ke satelit di angkasa. Lalu sinyal wifi bisa dipancarkan untuk bisa digunakan pada perangkat bergerak seperti laptop atau telepon genggam.
Kami patungan untuk membayar sewa perangkat komunikasi ini. Dalam perencanaan perjalanan, perangkat ini akan dioperasikan dua kali sehari. Yang pertama adalah selama satu jam saat istirahat makan siang. Yang kedua adalah selama dua sampai tiga jam saat bermalam di kamp.
Bagaimana dengan listrik atau sumber energinya? Jawabannya adalah dari 'power bank'. Perangkat penyimpan daya tersebut akan diisi ulang setiap hari supaya bisa terus digunakan. Pengisian daya dilakukan melalui seperangkat alat pengisi daya tenaga surya. Pagi sebelum memulai pendakian serta siang saat istirahat menjadi waktu yang paling dimaksimalkan untuk aktivitas ini.
Adanya perangkat komunikasi ini membuat saya memanfaatkannya untuk mengirimkan laporan harian. Dalam berbagai perjalanan, saya selalu meninggalkan 'itinerary'. Mengirimkan laporan harian pada beberapa orang yang saya anggap perlu. Untuk jaga-jaga saja.
Dalam perjalanan ke Leuser kali ini, ada tiga orang yang memantau pergerakan saya. Mereka adalah: Asa, istri saya, sebagai pihak keluarga; Remon Arya, rekan di kantor yang biasanya mendaki atau lari lintas alam bareng saya; serta Aditia Candra alias Sinchan, anggota Astacala yang ada di Bandung.
Semalam di Kamp Simpang Air, antena satelit yang dibawa tak mendapatkan sinyal. Posisi kamp ini adalah di sebuah punggungan yang tak begitu terbuka. Tutupan pohon di sekitarnya lebat, menyebabkan langit tak tampak seutuhnya. Selain itu, langit juga berawan tebal. Itu membuat sinyal satelit tak terkoneksi dengan kuat. Alhasil saya, yang berjanji pada orang-orang di rumah akan mengirim kabar setiap malam, harus gigit jari. Sambil membayangkan Asa, Remon, dan Sinchan yang mungkin menunggu.
Pro atau Kontra?
Terhubung ke internet selama di gunung bisa jadi menuai pro dan kontra. Ketenangan di gunung tanpa gangguan notifikasi telepon atau pembaruan media sosial merupakan hal yang mewah. Banyak orang sengaja naik gunung untuk menghindari komunikasi dengan dunia luar—untuk lepas dari rutinitas, untuk menyendiri, atau sekadar menyepi sejenak dari riuhnya hidup modern.
Apalagi pada masa sekarang, di mana hampir semua sudut planet bumi telah terkepung sinyal telekomunikasi. Kehadiran internet di pegunungan, bagi sebagian orang, justru dianggap mengganggu ketenangan yang dicari-cari itu. "Ngapain ke gunung kalau tetap bisa dapat sinyal dan harus ngecek email kerjaan?" begitu pendapat salah seorang yang kontra.
Namun mereka yang pro memandangnya dari sisi berbeda. Memiliki perangkat telekomunikasi di tempat terpencil bisa menjadi bagian dari upaya menciptakan pendakian yang lebih aman dan nyaman. Risiko dalam kegiatan alam terbuka memang selalu ada, dan komunikasi yang lancar bisa jadi kunci keselamatan.
Dulu, melakukan komunikasi kala mendaki bukan tidak mungkin, tapi jelas sulit dan rumit. Satu-satunya pilihan adalah menggunakan perangkat radio atau handy talkie, yang terbatas jangkauannya. Kini, dengan hadirnya teknologi satelit yang makin mudah, kita bisa segera mengirim kabar ke basecamp atau ke desa terdekat jika mengalami keadaan darurat dan memerlukan bantuan.
Bivak Panorama
Pukul sembilan pagi, kami bergerak meninggalkan Kamp Simpang Air. Cuaca berawan. Pepohonan hutan lebat. Di beberapa titik jalur, banyak tumbur jamur berwarna-warni. Ada yang merah. Ada yang kuning. Ketika saya berjalan sambil mendokumentasikannya, saya tersandung. Muka saya terantuk akar pohon. Sakit dan perih. Bahkan saya sempat mengalami pusing. Tapi untunglah, kemudian saya bisa segera pulih.
Menjelang siang, tajuk pepohonan mulai jarang. Vegetasi di jalur yang kami tempuh makin didominasi oleh pepohonan perdu. Berupa palem, cantigi, hingga rumput-rumput ilalang. Tutupan pepohonan berkurang dan makin terbuka. Ketinggian terus bertambah melebihi dua ribuan meter di atas permukaan laut. Beberapa teman yang menggunakan Telkomsel mendapat sinyal di titik ini. Saya, yang bukan pengguna Telkomsel, tetap tanpa sinyal sejak Kedah. Untungnya, mereka berbagi koneksi lewat tethering.
Hingga akhirnya kami tiba di sebuah tempat datar yang agak luas. Dikelilingi pepohonan cantigi. Beberapa patok kayu bekas tenda tertancap di tengahnya. Di bawah salah satu pohon, ada cerukan kecil berlumut yang menampung air. Kami tiba di Kamp Bivak Panorama. Kami istirahat di sini. Dan karena waktu sudah lewat tengah hari, Adul yang menjadi 'team leader' memutuskan istirahat makan siang dilakukan di Kamp Bivak Panorama ini.
Mendaki gunung dalam sebuah tim, memerlukan strategi. Termasuk strategi makan siang. Apalagi jumlah kami keseluruhan adalah tiga puluh empat orang. Kondisi ini bisa dibayangkan jelas, nasi dan lauk yang banyak harus disiapkan oleh tim logistik. Untuk mengurangi beban, setiap pendaki berbekal nasi setiap pagi sebelum memulai perjalanan setiap harinya. Sementara lauknya akan dibagi saat makan siang di titik jalur perjalanan yang telah ditentukan.
Rencana awal, makan siang dilakukan di Kamp Pemandian Burung, kamp berikutnya. Kami terbagi dalam beberapa kelompok kecil dalam perjalanan. Namun karena keterbatasan waktu dan tenaga, sebagian tim berhenti lebih awal di Bivak Panorama. Satu kelompok yang berjalan lebih cepat tetap menuju ke kamp semula di Pemandian Burung. Mereka tak tahu perubahan rencana, sehingga makan siang sepertinya hanya dengan apa yang mereka bawa.
Perjalanan dari Kamp Simpang Air menuju Bivak Panorama.Tiba di Bivak Panorama.
Pemandian Burung
Sambil istirahat usai makan siang, saya menatap layar ponsel. Memperhatikan penampakan jalur pendakian di aplikasi peta luring dengan seksama. Dari Bivak Panorama, jarak ke Pemandian Burung sekitar tiga kilometer. Elevasinya tak terlalu besar jika dibandingkan jalur pada hari pertama. Usai makan siang, kami bergegas melanjutkan perjalanan. Kami berharap bisa menyusul satu kelompok di depan, untuk memberi lauk makan siang.
Jalur yang dilalui berupa hutan lumut yang lebat. Sesekali harus menunduk dan merangkak. Gradasi hijau gelap di sekeliling. Itu menandakan kondisi hutan memiliki tingkat kelembaban udara yang tinggi. Konon, hutan-hutan lumut seperti ini disukai oleh satwa-satwa predator untuk bersembunyi. Hal itu karena lumut bisa membantu mereka menyamarkan diri. Saya bergidik membayangkan kehadiran nenek, sang penjaga rimba yang kerap diceritakan dalam kisah-kisah pendaki Leuser. Saya hanya berusaha untuk tak berjauhan dengan yang lain. Menjaga diri untuk tetap bersama dalam sebuah kelompok.
Hingga akhirnya saya yang berjalan bersama Irpan, tiba di Kamp Pemandian Burung. Tak ada siapa pun di tempat ini. Hanya ada bara sisa-sisa api unggun, yang sepertinya dibuat oleh kelompok di depan tadi. Beberapa porter yang menyusul membawakan lauk juga tak nampak. Seingat saya, yang paling depan ada Pak Sugi, Ibu Yani, Asyraf, dan Farid yang ditemani oleh Anwar, Zaenal, dan Zulfadli. Mungkin karena kelamaan menunggu lauk makan siang, mereka memutuskan makan siang seadanya dan melanjutkan perjalanan ke Puncak Angkasan.
Saya dan Irpan memutuskan untuk istirahat sejenak di kamp ini. Tempatnya berupa lahan datar yang dikelilingi pohon cantigi berlumut. Luasnya tak seberapa. Jika dikira-kira, kamp ini hanya sanggup menampung tiga hingga empat tenda kapasitas sedang. Di balik rimbun pepohonan, terdapat kolam kecil tersembunyi. Kata Dulah, di kolam itulah burung-burung sering bermain air. Menjadikannya sebuah alasan bagaimana kamp ini mendapatkan nama. Ada banyak burung kecil di sekitar kamp ini. Saya mendengar kicauan mereka di mana-mana.
Suasana di Kamp Pemandian Burung.Hujan dan Kabut
Selepas Pemandian Burung, jalur pendakian tak terlalu menanjak lagi. Dari peta, posisi saya berada di punggungan utama Gunung Angkasan. Tak ada lagi hutan lumut lebat seperti sebelumnya. Vegetasi perlahan berganti dengan dominasi cantigi dan rerumputan. Sesekali terlihat pula tumbuhan kantong semar dengan bentuk yang unik dan lucu, menyerupai alat kelamin laki-laki, mengundang tawa kami saat memperhatikannya.
Tak terasa, hari mulai menjelang sore. Awan yang sedari pagi sudah bergumpal-gumpal di langit kini berubah menjadi gelap dan menunggu menumpahkan hujan. Kabut mulai turun dan semakin pekat, menutupi pandangan di sekitar. Semuanya tampak putih dan abu-abu. Sesekali kabut tersingkap ketika angin bertiup kencang, memperlihatkan panorama pegunungan dengan kabutnya mengalir seperti sungai putih yang memenuhi ceruk-ceruk lembah. Namun kabut itu segera datang kembali menutupi pandangan.
Saya masih berjalan bersama Irpan, lalu bergabung dengan Mazlan dan Kak Duwi. Kami melangkah menyusuri punggungan terbuka yang menuju Puncak Angkasan. Jika saja cuaca cerah, kami pasti bisa melihat pemandangan kebun dan perkampungan di bawah sana. Berdasarkan perhitungan saya dari peta, jarak menuju Puncak Angkasan kurang dari satu kilometer, kira-kira bisa ditempuh dalam waktu kurang dari satu jam.
Tiba-tiba terdengar gemuruh petir di kejauhan, lalu hujan mulai turun. Gerimis yang tidak deras tapi cukup membuat kami basah dan kedinginan karena angin yang makin kencang. Saat kabut sempat terangkat, terlihat tenda-tenda yang mulai berdiri di kejauhan. Kelompok paling depan sudah tiba dan sedang memasang tenda. Saya pun mempercepat langkah.
Menjelang tiba di Puncak Angkasan.Tiba di Puncak Angkasan
Sebuah tugu beton pendek menjadi penanda resmi Puncak Angkasan. Saya akhirnya sampai di titik ini, yang terletak hampir tiga ribu meter di atas permukaan laut, tepatnya sekitar 2.900-an meter. Hujan yang terus turun menyebabkan cekungan di bagian atas tugu penuh air.
Di sekitar tugu, area terbuka dengan sedikit pohon. Seorang pemandu lokal pernah berkata bahwa berdiri di sini akan memberi sensasi seolah berada di atas awan, melayang di angkasa. Itulah alasan nama Angkasan tercipta, yang berasal dari bahasa Gayo, berarti angkasa atau langit.
Lokasi kamp Puncak Angkasan hanya beberapa puluh meter dari tugu. Area kamp lebih luas dan dikelilingi pohon-pohon, memberi perlindungan dari angin. Ada kubangan-kubangan alami maupun buatan yang pada musim hujan ini penuh air. Jadi pasokan air minum bagi kami tidak menjadi masalah walau di puncak.
Saya segera bergabung dengan rekan-rekan yang sudah tiba. Kami sama-sama membantu porter mendirikan tenda. Setelah semua tenda terpasang dan anggota tim lengkap, saya masuk ke tenda untuk mengganti pakaian basah, kemudian berbaring di kantong tidur. Kepala saya masih sedikit pusing, entah karena benturan siang tadi atau kelelahan. Saya memutuskan beristirahat sambil menunggu makan malam.
Itu tenda kami di kejauhan.Kerja Sama dan Komunikasi
Saya terbangun oleh suara Pak Sugi yang mengeluh karena tadi siang tidak kebagian makan. Suaranya cukup keras, dan terdengar Adul menanggapi protes tersebut. Saya melihat jam, ternyata saya hanya terlelap kurang dari satu jam, menjelang waktu makan malam.
Protes Pak Sugi memang beralasan, namun juga bisa dimaklumi. Mendaki dalam kelompok besar yang beranggotakan puluhan orang dengan latar belakang beragam memang tidak mudah. Tujuan, minat, dan cara mendaki tiap orang bisa berbeda-beda. Ada yang cepat, ada yang santai. Itu menyebabkan dinamika yang rumit.
Mendaki dalam kelompok besar seperti ini menuntut adaptasi dan kompromi. Setiap anggota harus menyesuaikan diri demi kelancaran bersama. Rencana dan tujuan yang sudah disepakati bersama harus dijalankan dengan niat baik. Jangan egois dan terburu seperti meninggalkan tim lain di belakang. Jangan pula menganggap diri lemah dan menjadi beban bagi yang lain. Terpenting adalah tetap bersinergi, menjaga niat tetap lurus dan mengupayakan hasil terbaik pada usaha bersama.
Saya keluar tenda, duduk di depan api unggun bersama beberapa rekan lain. Kami menunggu makan malam sambil senyum-senyum mendengarkan obrolan ringan tentang “tragedi tak kebagian makan siang” yang tadi terjadi. Sesekali dingin menerpa. Angin Puncak Angkasan berhembus kencang, makin mengobarkan unggun api yang membakar kayu-kayu kering. []
I Komang Gde Subagia | Gayo Lues, Desember 2024
Comments
Post a Comment