Menjelang subuh di hari kedelapan, udara dingin menusuk begitu saya keluar dari tenda. Nafas tampak sebagai uap tipis yang segera hilang ditelan kabut. Di kejauhan terdengar suara Adul, memanggil kami satu per satu. Ia mengingatkan untuk segera bersiap. Hari ini adalah perjalanan kami untuk menuju dua puncak utama: Loser dan Leuser.
Telaga Leuser, sebuah danau kecil di dekat Puncak Leuser.Bergerak Saat Gelap
Pukul empat pagi, sabana Lapangan Bola masih terlelap dalam selimut kabut. Kami sudah bersiap: mengenakan jaket windbreaker penahan angin, memasang headlamp di kepala, dan membawa tas kecil berisi perlengkapan dan logistik tektok. Di depan api unggun yang mulai meredup, saya duduk sembari menunggu yang lain. Sambil menyesap bubur kacang hijau hangat, sarapan sederhana yang rasanya cukup berharga daripada hidangan-hidangan sebelumnya yang itu-itu saja.
“Kita harus sudah selesai summit di Loser, sebelum pukul sepuluh” kata Adul saat briefing. Nada suaranya mengingatkan, ada perhitungan di sana. Perjalanan ke Leuser yang jadi puncak selanjutnya masih jauh. Jalurnya terjal dan sulit. "Kita tak boleh lambat agar tidak kemalaman” tegasnya lagi
Kami mengangguk, lalu berdoa sejenak sebelum melangkah. Sebagian porter ditugaskan untuk tetap tinggal di kamp, menjaga tenda dan menyiapkan makanan untuk kepulangan kami.
Sorot headlamp bergerak pelan di sabana gelap yang berkabut, seperti barisan kunang-kunang. Antusiasme kami bercampur rasa tegang. Perjalanan sudah jauh, tubuh sudah beradaptasi walaupun ada rasa lelah, tapi semangat untuk mencapai ujung pendakian membuat langkah rasanya lebih pasti.
Fajar di Lembah
Di sebuah sadelan kecil, jalur menurun. Saya menoleh ke belakang: api unggun di kamp yang sudah jauh masih terlihat. Tampak bagai noktah oranye samar-samar, lalu lenyap ditelan kabut seiring kami menikung. Jalan setapak licin, dihiasi bebatuan basah yang berkilau oleh embun.
Sekitar pukul lima pagi kami kemudian sampai di lembah terbuka. Langit timur mulai menyala keemasan, fajar perlahan mengusir kelam. Saya membuka tumbler, meneguk teh hangat, sambil memandangi rekan-rekan yang berdiri acak bersama kabut.
Dalam kegiatan alam terbuka, ada prinsip bernama buddy system. Itu kami terapkan di Leuser. Intinya: jangan pernah berjalan sendiri. Seperti di laut, penyelam selalu berpasangan; di gunung, setiap kami sebagai pendaki wajib saling mengawasi. Jangan sampai ada yang sendiri. Apalagi tertinggal, cedera, atau terjebak sendirian.
“Ayo, jangan jauh-jauh!” seru Dulah kepada beberapa rekan saya yang hendak ke balik bebatuan. Mereka mau buang air. Di Leuser, waktu menjelang pagi adalah saat rawan. Para pemandu mengatakan, inilah waktu harimau memulai perburuan, sama seperti manusia yang memulai hari dengan sarapan.
Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae), satu-satunya subspesies harimau yang tersisa di negeri ini, diketahui sering terlihat dan melintas di wilayah sekitar puncak-puncak yang akan kami tuju. Di kabut yang tebal begini, siapa bisa menjamin tak ada sepasang mata kuning di kepala bertubuh loreng yang diam-diam mengawasi kami?
Saat fajar menjelang, kami tiba di sebuah lembah untuk beristirahat.Luas Membentang
Kabut tetap bergelayut, membatasi pandangan hanya belasan meter. Medan berubah: jalur terbuka berbatu, padang rumput tipis, dan lereng miring yang rawan. Di balik kabut, imajinasi saya bergumam: kalau ada harimau di kejauhan, ia pasti lebih dulu melihat kami sebelum kami menyadarinya.
Tapi justru di tempat terbuka seperti inilah salah satu momen favorit saya. Kabut yang perlahan tersibak, memperlihatkan sebidang biru langit. Cahaya matahari menembus sela awan yang menggumpal, membuat bebatuan besar dan aliran air kecil berkilau.
Kami berjalan sambil bernyanyi, "Naik naik ke puncak gunung, tinggi tinggi sekali. Kiri kanan kulihat saja banyak pohon cemara" padahal tak ada cemara. Sesekali berhenti mengambil gambar. Mungkin inilah hadiah pertama hari itu: bahkan sebelum puncak, jalur ini sudah menyajikan keindahan.
Seandainya ada yang mengawasi, pemilik mata yang mengawasi itu mungkin jauh lebih ragu dan takut. Sepertinya ia lebih cenderung menghindar daripada mendekati kami yang sedang berjalan beriringan dan bernyanyi-nyanyi ini. Semoga saja kami tak terlalu menggangu keberadaannya, dengan melintasi habitatnya di ketinggian Tanah Gayo ini.
Puncak Loser
Menjelang pukul sembilan, akhirnya kami menginjakkan kaki di Puncak Loser. Ia tampak seperti dua gundukan besar, dipisahkan cerukan kecil. Di salah satu gundukan berdiri papan nama puncak dan tugu triangulasi beton setinggi orang dewasa.
Ceruk di antaranya cukup luas untuk mendirikan beberapa tenda. Dulah bercerita, ia pernah bermalam di sini. Namun Puncak Loser tak memiliki sumber air. Di musim hujan sekalipun, genangan airnya sedikit, apalagi di musim kemarau. Tanpa pepohonan besar, puncak ini juga rawan angin kencang dan dinginnya jauh lebih menusuk dibanding bermalam di Lapangan Bola.
Rasa lega mengalir begitu kami tiba. Kami bergantian berfoto dengan tugu triangulasi. Anggi sempat merekam adegan pencapaiannya untuk dijadikan konten Youtubenya. Sementara drone Nadya berputar di atas kepala mendokumentasikan suasana sekitar. Saya melihat panorama punggungan panjang yang menghubungkan Loser dan Leuser. Jalur itu tampak terjal, kadang menghilang di balik awan yang datang tiba-tiba menutupinya.
Kami pun makan siang—atau sarapan yang terlambat. Menu standar: nasi putih, tempe oret, suwir tuna. Saya menambahkan kacang polong sebagai camilan. Nafsu makan yang sempat hilang beberapa hari terakhir saya paksa kembali. Hari ini tenaga harus cukup; perjalanan masih panjang.
Sambil mengunyah keripik pisang dan menyeruput teh hangat, kami briefing singkat. Beberapa dari kami tidak melanjutkan ke Leuser: Mazli, Naomi, Anggi, Hilmi, serta Gio dan beberapa pemandu. Mereka memutuskan cukup sampai di Loser saja dengan masing-masing alasannya. Sementara sisanya termasuk saya, bersiap menempuh jalur menuju Leuser sebagai puncak yang paling jauh.
Menuju Leuser
Pukul sepuluh pagi kami mulai meninggalkan Puncak Loser. Awan bergulung cepat, menelan pandangan yang semula jernih. Puncak Leuser, yang tadi terlihat jelas di ujung punggungan, kini lenyap dalam selimut awan dan kabut yang tebal.
Para pemandu sempat mewanti-wanti: “Jangan bicara keras di jalur. Gunung tak suka keributan, bisa-bisa cuaca makin buruk.” Tapi saat di Puncak Loser tadi, kami memang tertawa dan bicara keras-keras. Entah sugesti atau kebetulan, menjelang tengah hari awan-awan itu benar-benar menebal, menggumpal seperti dinding, pertanda akan menumpahkan isinya tak lama lagi.
Jalur langsung jatuh menukik. Kami harus berpegangan pada akar cantigi yang menjuntai di dinding-dinding tanah. Beberapa kali saya hampir tergelincir, tangan sampai terpaksa bergelantungan pada akar yang licin. Kabut cukup rapat hingga rekan di belakang tak terlihat. Rasanya seperti berjalan dalam lorong putih yang tak berujung.
Begitu turunan berakhir, jalur berubah: setapak sempit menempel di tepi jurang. Dasarnya tak terlihat, hanya kabut pekat yang menelan pandangan. Dari peta dan cerita pemandu, saya tahu jalur ini memang berbahaya. Kami harus sangat hati-hati. Tapi membayangkan dan melangkahi langsung adalah dua hal yang berbeda. Setiap pijakan terasa seperti taruhan.
Hingga akhirnya kami tiba di sebuah dataran terbuka. Kabut kian pekat, jarak pandang tak lebih dari sepuluh meter. Farid yang tak sabar nekat melanjutkan langkah sendirian ke arah puncak. Saya mencoba menahan, namun ia tetap berangkat. Adul, terlihat gusar ketika tiba di tempat kami dan mendengar Farid sudah tak ada. “Semoga ia tidak bertemu nenek,” batin saya, mengingat para penghuni asli yang hidup di gunung ini.
Menjelang sampai di titik persimpangan yang memisahkan jalur menuju Telaga Leuser dan Puncak Leuser.
Puncak yang Menipu
Perjalanan berlanjut. Kami mendaki sebuah tonjolan bukit yang sempat kami kira sebagai Puncak Leuser. Tapi begitu sampai di atasnya, terbukti itu hanya puncak tipuan. Dari sana, Leuser yang asli masih terlihat lebih jauh, tersembunyi di balik kabut.
Tubuh mulai enggan bergerak. Rasanya ingin beristirahat di puncak tipuan ini. Tapi waktu tak bisa ditawar. Kami harus melanjutkan. Rekan-rekan saya yang terus lanjut terlihat makin mengecil di depan, seperti bayangan yang memudar di lautan kabut putih. Saya mempercepat langkah, menyusul mereka.
Dan akhirnya, menjelang pukul satu siang, kami benar-benar menjejakkan kaki di Puncak Leuser, puncak yang menjadi titik tujuan paling sulit dan jauh di jalur pendakian kami. Dan untunglah, Farid terlihat di sana ketika saya tiba. Ia tertawa-tawa bersama yang lain.
Perayaan
Suasana di puncak berubah jadi perayaan kecil. Kami tos, saling berpelukan, berjabat tangan satu sama lain. Bagi sebagian besar dari kami, ini adalah kali pertama tiba di ujung paling jauh perjalanan di Leuser—gunung yang sering disebut sebagai salah satu gunung dengan jalur pendakian tersulit di Indonesia.
Sapu menepati nazarnya: rambut gondrongnya dipotong di puncak ini dengan sebilah golok. Golok? Ya, karena tak ada gunting. Potongannya memang tak rapi, tapi justru itulah simbol perjalanan. Katanya akan dirapikan lagi nanti. Sementara Ibu Yani ulang tahun, menjadikannya mendapat kado paling unik: selamat ulang tahun di puncak gunung, disertai nyanyian riuh tanpa kue tart ataupun lilin.
Di tengah euforia, mata saya tertumbuk ke arah barat. Dari sela kabut, samar terlihat jalur punggungan lain yang menurun curam, ditelan hutan lebat. Jalur itu menuju Aceh Selatan yang jarang dilalui. Saya membayangkan: bagaimana jika kami harus turun lewat sana? Pepohonan rapat, tanah licin, dan jurang tersembunyi membuat sedikit kengerian bercampur penasaran. Betapa ringkihnya kami manusia di tengah belantara raksasa ini.
Namun perayaan di puncak tak bertahan lama. Awan kelabu tebal mulai menjatuhkan gerimis. Yang tak perlu waktu lama, langsung berubah deras. Memaksa kami semua bergegas mengenakan jas hujan. Lalu berkemas secepatnya untuk turun.
Hujan di Telaga Sunyi
Kami turun menuju Telaga Leuser, danau kecil yang terletak tak jauh dari puncak. Sayangnya kabut terlalu tebal, dari jauh kami tak melihat apa-apa. Baru ketika menapaki tepinya, genangan air gelap kehijauan itu tampak. Luasnya sekitar lima ratusan meter persegi. Suasananya tenang dengan rintik yang jatuh di permukaanya. Dulah berkata telaga ini tak pernah kering, bahkan di musim kemarau panjang sekali pun.
Hujan mengguyur deras. Jas hujan kami meneteskan air seperti dedaunan. Tanpa flysheet karena lupa dibawa, tak ada tempat berteduh, kecuali tubuh kami sendiri. Sambil menggigil, kami menyiapkan dan menunggu makan siang matang di bawah hujan dengan perlindungan seadanya.
Saya menatap permukaan telaga, teringat kisah dalm fabel Jungle Book. Tentang “kolam perdamaian”, satu-satunya sumber air yang menyatukan predator dan mangsa saat kemarau. Di hadapan telaga ini, imajinasi itu seperti hidup kembali. Seakan-akan hutan sedang berkata: semua makhluk, manusia ataupun harimau, sama-sama bergantung pada air yang sama.
Di tengah dingin yang menusuk, tubuh saya mulai gemetar. Lalu muncul pertanyaan yang menggema dalam hati: untuk apa manusia mendamparkan diri sejauh ini, ke jantung Leuser yang terpencil? Jawabannya, mungkin itu adalah keberuntungan. Karena bisa menghirup udara di ketinggian Tanah Gayo, merasakan hujannya, menyaksikan telaga sunyi yang jarang disapa manusia.
Dan tentu saja keberuntungan bagi kami ini, itu berarti keberuntungan pula bagi mereka yang tak pernah sampai ke sini. Mukjizat yang sama dengan cara lain, hanya wujudnya berbeda. Karena alam semesta bekerja begitu sempurna; hanya saja, kita manusia sering luput menyadarinya. []
I Komang Gde Subagia | Gayo Lues, Desember 2024
Comments
Post a Comment
Comment