Aroma Kopi di Tepi Laut Tawar

Sebuah mushaf dan sajadah menyambut saya ketika memasuki kamar—pengingat halus bahwa ini Aceh, satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat Islam. Seolah para tamu diingatkan agar tak melupakan kewajiban sembahyang meski sedang bepergian. Irpan hanya tersenyum ketika saya tanya apakah ia akan salat dulu. “Ntar malam aja, sekalian dijamak,” jawabnya santai. Kami pun rebahan sebentar sebelum akhirnya keluar melihat suasana kota.

Aroma kopi di tepi Laut Tawar.


Aroma Kopi dan Minyak Tanah

Ada aroma aneh yang saya hirup setiap kali naik turun lift di penginapan bernama Grand Bayu Hill. Baunya seperti perpaduan antara bensin dan minyak tanah. Anehnya, aroma itu bukan hanya tercium di dalam penginapan, melainkan juga di jalan-jalan yang kami lalui dengan berjalan kaki.

Apakah ada kilang minyak yang bocor? Atau apa? Beberapa orang yang saya tanyai hanya memberikan jawaban yang tak meyakinkan: mungkin itu solar yang dipakai sebagai bahan bakar kendaraan, atau uap hasil pembakaran dari pabrik-pabrik penggilingan kopi. Saya sendiri tidak tahu pasti dari mana asalnya. Hingga kini, saat menuliskannya, bau itu masih menjadi tanda tanya.

Tapi di antara aroma yang membingungkan itu, ada satu bau yang tidak mungkin salah saya kenali: kopi. Harumnya seolah mengikuti ke mana pun saya melangkah di Takengon.  Harumnya seolah mengikuti ke mana pun saya melangkah di Takengon. Dalam balutan udara dingin pegunungan, ibu kota Kabupaten Aceh Tengah ini benar-benar memamerkan hasil buminya.

Seperti kebun-kebun kopi yang saya lihat sepanjang perjalanan dari Blangkejeren, di tengah kota pun pohon kopi tumbuh di mana-mana. Ada yang berdiri di pinggir jalan, ada pula yang menghiasi halaman rumah, seolah menjadi tanaman hias khas Takengon. Belum lagi deretan tempat penggilingan kopi yang tampak di setiap sudut kota. Papan-papan bertuliskan “terima beli biji kopi,” “jual bubuk kopi,” “sedia jasa roasting” atau “penggilingan” mudah ditemui.

Dan tentu saja, pilihan tempat ngopi bertebaran, dari warung sederhana gaya kaki lima di pinggir jalan hingga kafe kekinian tempat anak muda berkumpul. Lengkap sudah. Kalau Jogja disebut Kota Pelajar karena menjadi pusat pendidikan, rasanya tak banyak yang akan protes jika Takengon saya tasbihkan sebagai Kota Kopi.


Becak Motor Pak Ali

Sambil berjalan, Irpan sejak tadi mencoba memesan taksi daring. Namun, tak satu pun yang menerima pesanan kami. Baru kemudian kami sadar: di jalanan justru banyak becak motor lalu-lalang, sebagian membawa penumpang, sebagian lagi kosong dan bahkan sempat menawari kami untuk naik.

“Enggak ada Grab atau Gojek sama sekali. Kayaknya orang-orang di sini ke mana-mana naik becak motor, deh,” kata saya pada Irpan. “Coba, yuk?” ajak saya kemudian.

Sejak di Blangkejeren saya sudah sering melihat moda transportasi ini, jadi keberadaannya di Takengon tak lagi terasa asing. Walau disebut becak, tempat duduk penumpang bukan di depan pengemudi, melainkan di samping dalam bentuk gandengan. Pemandangan seperti ini sering saya lihat di film dokumenter atau fiksi tentang Perang Dunia I maupun II. Tak heran, sebab motor dengan gandengan samping memang awalnya diciptakan untuk kebutuhan militer—membawa tentara sekaligus senjata dan logistik di medan berat.

Tak lama, sebuah becak motor menghampiri kami. Kendaraannya cukup tua, didominasi warna hitam dengan kursi gandeng di sisi kiri. Pengemudinya bahkan tampak lebih tua daripada becak yang dikemudikannya. Namanya Pak Ali, asal Banda Aceh, dan sudah lama tinggal di Takengon. Entah bagaimana, ia berjodoh dengan kami sore itu untuk mengantar berkeliling kota.

Saya memintanya membawa kami ke tempat ngopi di tepi Danau Laut Tawar, mana saja yang ia anggap bagus. “Oh… ada. Di Mendale. Bagus tempatnya,” katanya meyakinkan. Baiklah, saya percaya saja pada rekomendasinya.

Becak pun melaju membelah jalanan Takengon yang sebagian besar tampak kusam. Pertokoan dan rumah-rumah di pinggir jalan yang kami lalui tak ada yang terlihat eksotik. Suasananya cukup ramai menjelang sore. “Rasanya seperti di India. Takengon rasa India,” celetuk Irpan sambil merekam perjalanan kami dengan kamera ponselnya.

Saya hanya tersenyum, sesekali mengobrol dengan Pak Ali di tengah bising jalanan. “Saya pernah antar tamu dari Bali dulu,” katanya basa-basi setelah tahu saya berasal dari sana.

Di balik wajah cerianya, saya antara takjub dan waswas diantar olehnya. Usianya sudah senja, sedikit membuat ragu, apalagi ketika becaknya terasa ngos-ngosan saat menanjak. “Aman, Pak?” tanya saya. “Hehe! Tak apa. Sudah biasa,” jawabnya terkekeh.

Percakapan ringan itu mengiringi perjalanan hingga akhirnya ia menurunkan kami di depan sebuah lapak kopi di pinggir jalan. Penjualnya berjualan dengan mobil pickup yang dimodifikasi, lengkap dengan meja dan kursi tersusun menghadap Danau Laut Tawar. Angin sepoi-sepoi sejuk menerpa, udara dingin pegunungan meresap, seolah menyempurnakan suasana untuk dinikmati dengan menyeruput segelas kopi panas.

Begitulah akhirnya kami duduk di sana, melihat menu, dan kemudian memesan minuman. Di sekeliling kami, beberapa rombongan muda-mudi juga duduk sambil bercengkerama. Suasana terasa sederhana, khas anak muda dan kopi jalanan. Tak ada kemewahan menonjol, hanya meja kayu sederhana dan kursi plastik, tapi ini kelebihannya: pemandangan, angin danau, aroma kopi,  dan senja yang temaram.


Tepi Danau Laut Tawar

Kopi susu khas Gayo yang disebut sanger disajikan dalam gelas kertas. Saya menikmatinya sambil menatap danau yang membentang luas di depan mata. Dari posisi kami yang agak tinggi, keramba-keramba terapung tampak jelas, satu dua sampan nelayan bergerak perlahan, sementara sebuah kapal motor melaju kencang membawa penumpangnya. Bukit dan pegunungan berdiri gagah di kejauhan, berpayung langit senja yang mulai mendung.

Bagi masyarakat Suku Gayo, danau ini dikenal sebagai Lut Tawar. Dalam penamaan resmi geografi Indonesia, ia disebut Laut Tawar. Maknanya jelas: danau luas menyerupai laut, namun berair tawar. Luasnya mencapai sekitar lima ribu hektar, menjadikannya danau terluas di Aceh sekaligus terbesar kelima di Pulau Sumatra. Pada tahun 2024, danau ini bahkan dipakai sebagai lokasi cabang olahraga triathlon dalam Pekan Olahraga Nasional XXI.

Namun, di balik keindahan yang kian temaram dan dihiasi kerlip lampu di tepian, Laut Tawar juga menyimpan kisah legenda. Salah satunya adalah tentang Putri Pukes. Sang putri menikah dengan seorang pangeran dari kerajaan lain. Sebelum pergi meninggalkan wilayahnya, orang tua sang putri berpesan agar ia tidak menoleh ke belakang. Tetapi karena rasa haru yang tak tertahankan, ia melanggar pesan itu. Saat menoleh, kutukan menimpanya: tubuhnya berubah menjadi batu. Putri Pukes menangis tanpa henti, air matanya bercampur dengan hujan lebat yang turun berkepanjangan, hingga akhirnya mengalir dan membentuk Danau Laut Tawar.

Selain keindahan dan legenda, ada pula satu hal khas yang membuat danau ini istimewa: ikan depik (Rasbora tawarensis). Bentuknya kecil seperti ikan teri, dan sifatnya endemik—hanya hidup di Laut Tawar, tidak ditemukan di tempat lain. Ikan ini biasanya banyak dijumpai saat musim hujan ketika suhu udara semakin dingin, bertepatan dengan waktu kunjungan saya ke Takengon. Jika tangkapan nelayan melimpah, depik mudah ditemui di pasar maupun warung makan. Ada yang dijual sebagai ikan asin, ada pula yang diolah menjadi hidangan khas seperti pepes.

Saya pun penasaran ingin mencobanya. Setelah mencari informasi di internet, muncul beberapa rekomendasi tempat makan yang menyajikan ikan depik sebagai menu andalan.


Depik yang Terancam

Maka, ketika malam telah turun, saya dan Irpan meninggalkan tepian Danau Laut Tawar. Kami kembali ke pusat kota, menuju salah satu rumah makan yang sudah saya tandai sebelumnya. Yang mengantar? Pak Ali lagi. Sebelumnya, ia memang sudah berjanji akan menjemput kami bila dikabari.

Parahnya, lampu becak motornya tak menyala. Jadilah kami gelap-gelapan menyusuri jalanan. Sesekali saya menyalakan lampu dari telepon genggam sebagai penanda bagi kendaraan lain di jalan yang minim cahaya. Sungguh berbahaya. Untung saja, kami tak menemui masalah berarti dan selamat tiba di tempat tujuan.

Namun, harapan mencicipi ikan depik di rumah makan tujuan pertama pupus sudah: menunya tak tersedia. Kami pun berpindah, menyusuri deretan warung yang ramai. Saya dan Irpan pun masuk ke salah satu warung setelah memastikan ada ikan depik di sana.

Ibu Ida, sang pemilik warung, menyambut kami dengan ramah. Ia bahkan memberi tahu harga sepiring kecil ikan depik sebelum kami benar-benar memesannya. Harganya cukup di atas rata-rata jika dibandingkan dengan lauk lainnya. "Untuk kalian, dua piring, satunya gratis," katanya ketika tahu niat kami hanyalah ingin mencicipi rasa ikan khas Takengon itu.

Harga sepiring kecil ikan depik, yang tak bisa dibilang murah itu, ternyata ada alasannya. Tersimpan cerita mengenai isu lingkungan yang terjadi di danau kebanggaan orang-orang Gayo. "Makin lama, makin susah bisa dapat depik di pasar," jelas Ibu Ida. "Kalau ada, pasti harganya mahal," lanjutnya.

Usut punya usut, kelangkaan ikan depik disebabkan oleh orang-orang Takengon sendiri yang menjadi nelayan. Keramba ikan yang saya lihat saat ngopi sebelumnya ternyata tidak ramah lingkungan. Warga lokal menyebutnya cangkul padang. Cara kerjanya mirip pukat harimau: ketika dioperasikan, ia menyeret sekaligus menghancurkan habitat ikan-ikan di dasar danau. Yang tertangkap pun bukan hanya ikan besar, melainkan juga anakan-anakan kecil.

Masalahnya, pelaku bukan hanya satu atau dua nelayan, melainkan banyak. Bayangkan jika setiap nelayan membawa pulang tangkapan besar tanpa pernah memberi kesempatan bagi depik untuk berkembang biak. Sedikit demi sedikit, stoknya di danau terkuras. Jumlah ikan depik makin menyusut, dan kehilangan depik, itu sama saja dengan kehilangan kekayaan yang jadi salah satu jati diri orang Gayo.

Selain itu, berkembangnya pertanian dan pariwisata di sekitar danau ikut mendorong perubahan ekosistem secara signifikan. Dua sektor itu berperan pada penyusutan debit air karena hutan dan daerah resapan berkurang, pendangkalan akibat erosi, serta menurunnya kualitas keanekaragaman hayati karena bertambahnya limbah dan pencemaran. Bahkan, beberapa kali pernah diberitakan soal matinya ikan secara mendadak di danau, yang setelah diteliti disebabkan oleh kekurangan oksigen.

Apakah saya bersalah mengonsumsi ikan depik ini? Rasanya tidak. Sebab walaupun populasinya dikatakan makin berkurang, belum ada status hukum resmi yang menyatakan bahwa depik termasuk hewan terancam punah, seperti badak atau harimau, misalnya.

Namun, jika pertanyaannya diubah: apakah memakannya berpengaruh? Tentu saja. Kalau saat ini banyak orang tak doyan, pastilah tak banyak nelayan yang mau menangkapnya, karena tak akan laku.

Semoga saja tumbuh kesadaran dari berbagai pihak di Aceh Tengah tentang pentingnya menjaga kelestarian ikan depik. Bukan hanya karena ia menjadi ikon kuliner dan kebanggaan masyarakat Gayo, tetapi juga karena depik berperan dalam keseimbangan ekosistem Danau Laut Tawar. Jika spesies kecil ini hilang, rantai makanan di danau bisa terganggu, dan pada akhirnya kehidupan masyarakat yang bergantung padanya pun ikut terancam. 


Istirahat di Hari Jumat

Hari berikutnya, saya memilih bermalas-malasan di kamar sejak pagi. Rasa lelah setelah turun gunung dan perjalanan panjang dari Blangkejeren sebelumnya masih terasa. Tubuh seperti hanya ingin rebahan. Memang terasa sayang membuang waktu di tempat tidur ketika sedang berada di tempat baru, tetapi meluangkan waktu untuk istirahat tetap penting agar ritme perjalanan tetap sehat.

Kebetulan hari kedua saya di Takengon jatuh pada hari Jumat. Hari itu istimewa di Aceh, negeri yang memberlakukan hukum Islam. Jumat adalah hari suci: banyak toko dan perkantoran tutup saat ibadah shalat Jumat, sebagian baru buka setelahnya, bahkan ada yang menjadikannya hari libur penuh.

Salah satunya adalah Seladang Coffee, kedai sekaligus kebun kopi berkonsep agrowisata yang sejak awal ingin saya kunjungi. Ternyata, mereka selalu tutup setiap Jumat. Sedikit kecewa, tentu saja. Akhirnya saya mencari opsi lain: Galeri Kopi Indonesia. Berbeda dengan Seladang Coffee, galeri ini tetap buka di hari Jumat, hanya saja baru beroperasi mulai pukul setengah dua siang. Jadi, saya melanjutkan rebahan di kamar, menunggu Irpan selesai menunaikan ibadah Jumat di masjid terdekat.

Setelah itu, kami makan siang di sebuah warung yang kembali menyajikan hidangan nikmat, sebelum akhirnya memacu sepeda motor pinjaman dari satpam penginapan. Tujuan kami adalah Galeri Kopi, yang terletak sedikit ke luar kota arah barat daya.

Kami menyusuri Jalan Yos Sudarso, jalan utama menuju Galeri Kopi. Dalam perjalanan, kami menyeberangi Sungai Peusangan, yang hulunya berasal dari Danau Laut Tawar. Tak jauh dari salah satu jembatannya, berdiri Masjid Al-Munawarrah Uning, yang viral karena anak tangganya langsung bersisian dengan sungai. Sayang sekali, kami tidak sempat mampir.


Ngopi di Kebun Kopi

Setibanya di Galeri Kopi, sempat timbul keraguan. Dari jalan utama, lokasinya harus masuk lagi lewat jalan kecil, membuat saya mengira alamatnya salah. Namun keraguan hilang saat melihat banyak kendaraan terparkir dan titiknya sesuai dengan peta di Google Maps.

Saya dan Irpan masuk melewati pintu gerbang dari susunan batu, lalu menapaki lorong sempit. Di dalam, barista sibuk meracik minuman, sementara pengunjung duduk di berbagai sudut. Suasana terasa sejuk: kedai terbuka dikelilingi pohon kopi dan pepohonan peneduh. Teduh, rindang, dan nyaman meski hari sebenarnya panas.

Saya memesan kopi gula aren dengan pisang goreng cokelat, sementara Irpan memilih kopi sanger. Begitu pesanan datang, ia bergumam, "Gue bukan maniak kopi, tapi semenjak di Aceh jadi ngopi terus." Saya tertawa. "Iya lah. Masa ke Aceh, apalagi sampai ke jantung penghasil kopinya, tidak minum kopi? Orang Aceh memang terkenal suka minum kopi," saya menimpali.

Sejak Belanda membawa kopi ke Nusantara pada abad ke-17, Dataran Tinggi Gayo justru termasuk yang paling akhir mengenalnya. Penanaman skala besar baru dimulai pada 1924, lalu berkembang pesat setelah Indonesia merdeka. Dengan dukungan tanah pegunungan yang subur, kopi Gayo pun tumbuh menjadi salah satu yang terbaik di dunia.

Kini, kopi di Aceh bukan lagi sekadar komoditas pertanian. Ia telah menjadi budaya yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Dari Gayo Lues hingga Banda Aceh, hampir setiap orang yang saya temui selalu menawari kopi. Menurut seorang teman yang saya jumpai kelak di Banda Aceh, nongkrong di kedai kopi sudah seperti tradisi.

Kedai kopi menjadi pusat kegiatan sosial dan silaturahmi. Tua-muda, laki-laki-perempuan, hampir semua suka ngopi. Tiada hari tanpa kopi. Identitas orang Aceh seperti melekat di cangkir kopi mereka, seakan bukan orang Aceh rasanya kalau tidak suka ngopi.


Kehujanan di Pantan Terong

Dari Galeri Kopi, tujuan kami berikutnya adalah Pantan Terong, sebuah bukit di Aceh Tengah yang berada di ketinggian sekitar 1.800 meter di atas permukaan laut. Dari puncaknya, kita bisa melihat pemandangan Kota Takengon dan Danau Laut Tawar dengan lebih luas.

Motor bebek pinjaman dari satpam penginapan tampak ringkih—maklum, motor tua. Tapi saya meyakinkan diri bisa mengemudikannya menanjak terjal dan berliku menuju Pantan Terong. "Gas! Hati-hati, Bli!" seru Irpan yang duduk di belakang sambil memeluk pinggang saya erat-erat. Kami jadi seperti pasangan kekasih saja. Hadeuh.

Jalan yang kami tempuh benar-benar menanjak curam. Bahkan beberapa kali Irpan harus turun karena motor tak kuat membawa dua orang sekaligus. Menjelang sampai tujuan, kekhawatiran saya justru beralih pada perjalanan pulang nanti. Tanjakan curam yang tadi kami lalui tentu akan berubah menjadi turunan terjal. Semoga saja rem motor tua ini masih kuat menahan, doa saya dalam hati.

Sayang, sesampainya di puncak Pantan Terong, awan mendung datang bergulung-gulung. Kota Takengon dan Danau Laut Tawar yang sempat terlihat sekilas kini benar-benar hilang tertutup kabut. Saya dan Irpan hanya sempat berfoto seadanya.

Tak lama, hujan deras turun dari langit. Kami berteduh sebentar di warung kopi sederhana yang hanya beratapkan terpal. Namun akhirnya memutuskan pulang saja, menerobos hujan. Walaupun sudah mengenakan jas hujan, hasilnya jelas: kami tetap basah kuyup.

Oh ya, di Aceh ada aturan tak boleh memakai celana pendek di tempat umum. Masalahnya, celana panjang pendakian saya—termasuk celana tidur—sudah basah dan kotor di dalam tas. Dengan satu-satunya celana panjang yang saya pakai ikut basah, Irpan akhirnya meminjamkan sarungnya. Lumayan juga, adem di selangkangan.

Sarung itu tetap saya kenakan hingga malam tiba, saat mobil travel menjemput. Badan masih sedikit kedinginan, tapi perjalanan harus lanjut ke Banda Aceh. Irpan cuma nyengir melihat saya masih bersarung di kursi penumpang. []


I Komang Gde Subagia | Aceh Tengah, Januari 2025


Terkait:
Leuser (Bagian 18: Serambi Mekah)

Comments