Api unggun menyala terang benderang, menghangatkan tubuh kami setelah berbasah-basahan menyeberangi Sungai Alas. Usai menyantap makan malam, duduk melingkar di depan api adalah kenikmatan sederhana yang sulit digantikan. Berteman secangkir kopi, teh, susu cokelat, sebatang kretek, selinting tembakau, serta camilan ringan, malam pun menjadi syahdu.
Renungan Api Unggun.Waini Agusen
Tepian Sungai Alas, tempat kami bermalam pada hari ketiga pendakian, barangkali adalah kamp paling nyaman di antara semua titik perhentian. Lebih hangat dibandingkan kamp sebelumnya di Puncak Angkasan yang selalu digerus angin kencang. Di sini, air melimpah, tenang, dan bersih.
Gaia GPS—peta digital yang saya andalkan dalam perjalanan ini—menyebut aliran sungai ini sebagai Waini Agusen. Tak ada satu pun penanda bernama Sungai Alas. Saya pun bertanya kepada Dulah, pemandu lokal paling senior di tim kami, yang tentu paham akan seluk-beluk tanah kelahirannya.
"Agusen itu nama kampung di Gayo Lues, sekitar dua puluh kilometer di tenggara Kota Blangkejeren," ujar Dulah. "Sungai ini pertama kali melewati kampung itu. Sementara 'wai' berarti 'air', dan 'ni' berarti 'ini'. Jadi kurang lebih artinya: ini air dari Agusen."
Rasa penasaran membawa saya menyelami sejarah kampung tersebut. Nama Agusen ternyata berasal dari kata Agustus, karena didirikan di bulan itu pada masa penjajahan Belanda. Konon, kampung tersebut menjadi tempat karantina penderita kusta pada masa silam.
Namun, masyarakat lebih akrab menyebut alirannya sebagai Sungai Alas. Itu karena daerah Agusen dan wilayah sekitarnya, hingga Aceh Tenggara yang dialiri olehnya, dihuni oleh masyarakat Suku Alas—salah satu sub-suku Batak di bagian utara Sumatra, dikenal sebagai Batak Alas atau Batak Utara.
Bekas Ladang Ganja
Saat mencari informasi lebih lanjut tentang Kampung Agusen, saya justru menemukan berbagai pemberitaan tentang ganja yang pernah begitu terkenal dari sana. Sebelum ilegal secara hukum, ganja telah dibudidayakan turun-temurun di Agusen dan berbagai penjuru Tanah Gayo.
Dulu, saat belum dilarang, ganja kerap dijadikan tanaman selingan bersama tembakau. Ia mampu mengusir hama, menjaga kualitas panen tembakau tetap tinggi. Tanah subur di lembah Pegunungan Leuser menyuburkan daun ganja yang konon tiada tanding dalam kualitas.
Tapi tak perlu jauh-jauh ke Agusen untuk bicara tentang ganja. Di seberang sungai tempat kami berkemah, ada sebidang lahan luas yang kini ditumbuhi ilalang. "Itu bekas ladang ganja," kata Dulah. Ladang-ladang seperti itu dulu diburu dan ditutup aparat.
Saya tercenung. Jauh benar ganja pernah ditanam—hingga ke jantung hutan.
Wilayah dataran tinggi Gayo memang dikenal sebagai 'segitiga emas' ganja Aceh. Jika muncul berita penangkapan, nama-nama seperti Gayo Lues, Aceh Tenggara, atau Aceh Tengah hampir pasti disebut. Sejarah dan alam bersatu dalam cerita yang tak sederhana.
Kisah Para Pemburu
Namun, sisi lain hutan ini tak hanya menyimpan jejak kriminal tanaman terlarang. Ia juga menyimpan cerita tentang hubungan manusia dan alam yang lebih purba: perburuan.
Di depan api unggun, sambil mengeringkan pakaian, saya berbincang lama dengan Jaenal—seorang petani dari Kedah yang bergabung sebagai pemandu dan porter Leuser Mentalu untuk mengisi waktu di luar musim tanam atau panen.
"Dulu, saya juga sering berburu ke hutan," ceritanya. "Kijang atau rusa. Sudah biasa."
Jaenal pandai membaca jejak. Ia tahu di mana satwa minum, ke mana mereka biasa berjalan, dan di mana mereka bisa dijerat. Ia pun lihai membuat perangkap sederhana namun mematikan.
Salah satu kisahnya cukup membekas. Beberapa tahun lalu, ia dan teman-temannya mengejar rusa di hulu sungai—tak jauh dari tempat kami bermalam. Rusa itu dihalau hingga kelelahan dan diarahkan ke jebakan yang sudah disiapkan.
Tapi tak disangka, mereka bukan satu-satunya pemburu. Seekor harimau—sang nenek penghuni Leuser—ternyata juga mengincar rusa yang sama. Jaenal memilih mundur. Ia membiarkan sang raja rimba mengambil haknya.
Di hutan, manusia bukan satu-satunya penguasa. Ada hierarki yang tak tertulis, tapi nyata.
Hal yang Lumrah
Sewaktu memasuki hutan, saya sempat melihat papan peringatan tentang larangan berburu. Namun mengapa perburuan tetap terjadi?
Jawabannya bukan sekadar soal hukum, tapi juga soal hidup. Banyak warga yang berburu karena kebutuhan, bukan sekadar kesenangan. "Kalau cuma buat makan, kadang masih ditoleransi," ujar Jaenal.
Daging rusa mirip daging sapi, katanya. Mendapat satu ekor saja bisa berarti rejeki berlimpah. Tak heran jika tradisi berburu tetap hidup. Hasil buruan biasanya langsung disembelih dan didendeng di lokasi, lalu dibawa pulang. Tak jarang, ada pondok-pondok pemburu yang dijadikan kamp sementara.
Di beberapa pasar di Aceh, daging rusa atau kijang masih diperjualbelikan secara terbuka. Bahkan tersedia dalam bentuk olahan seperti dendeng, yang kini bisa ditemukan di berbagai toko oleh-oleh hingga platform jual beli daring. Susuri saja di mesin pencarian internet—hasilnya tak sedikit.
Apakah itu melanggar hukum? Tentu saja. Rusa dan kijang merupakan satwa dilindungi. Tapi bagi sebagian masyarakat, berburu dan mengonsumsi dagingnya adalah tradisi turun-temurun yang sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Ada nilai budaya dan sejarah yang tidak bisa serta-merta diputus oleh undang-undang.
Tentang Manusia dan Satwa
Bagaimana dengan satwa besar lainnya seperti harimau, badak, atau gajah? Untuk jenis-jenis ini, warga hampir tak pernah berburu. Tak bisa dimakan, dan menjualnya sangat berisiko. Jika ada yang tetap melakukannya, itu sudah masuk wilayah kriminal berat.
Di jalur pendakian yang lama, ada kamp bernama Pemandian Badak. Tempat itu dulunya memiliki banyak kolam kubangan badak. Tapi, menurut Zulfadli—salah satu porter—sudah bertahun-tahun tak ada kabar tentang keberadaan badak di sana. Hasil kamera trap yang dipasang berkali-kali oleh pihak berwajib: nihil, tak pernah ada badak terpotret.
“Jangan-jangan badaknya sudah punah,” gumam saya.
Zulfadli menjawab, "Kalau punah juga nggak apa-apa. Nggak ganggu manusia lagi."
Saya tercekat. Ada jurang besar antara cara pandang saya dan dirinya. Inilah realita: kesadaran akan pentingnya kelestarian belum sepenuhnya meresap di kalangan warga lokal, bahkan pada mereka yang aktif dalam kegiatan wisata alam.
Padahal, jika mereka sadar bahwa keanekaragaman hayati adalah harta karun tak ternilai—mereka tentu akan lebih menjaga. Sebab jika hutan lestari, kehidupan mereka pun akan lebih terjamin.
Renungan
Saya termenung di tepi Sungai Alas. Melihat nyala api unggun yang mulai mengecil, sambil merenungkan betapa luas dan kayanya Pegunungan Leuser. Betapa banyak pula tantangannya.
Perburuan liar hanyalah satu sisi cerita. Masih ada alih fungsi lahan, kebun-kebun di kaki gunung, hingga pertanian yang entah bagaimana legalitasnya. Semua itu menjadi bayang-bayang ancaman bagi rimba raya ini.
Sebagai pendaki yang mungkin hanya sekali melangkah di sini, saya tak bisa banyak berbuat. Tapi saya percaya: mengenal dan mencintai hutan adalah awal dari menjaga. Leuser bukan sekadar bentang alam, tapi rumah bagi air, udara, dan kehidupan yang beraneka ragam.
Apakah kita akan terus membiarkan berbagai ancaman itu tumbuh? Ataukah kita sanggup menumbuhkan harapan baru? Pertanyaan-pertanyaan ini tiba-tiba menyeruak di kepala, mengganggu kekaguman saya akan kelestarian hutan rimba belantara Sumatera.
Saya tak punya jawabnya. Hanya bisa diam, larut dalam percik-percik api unggun yang memantulkan cahaya pada wajah-wajah lelah yang mencari kehangatan. Kisah-kisah yang kami obrolkan pun seperti menguap bersama uap teh dan asap rokok kretek, menyatu dengan pekatnya malam Sungai Alas. []
I Komang Gde Subagia | Gayo Lues, Desember 2024
Comments
Post a Comment