Dalam pendakian gunung, rentang waktu paling berbahaya adalah pasca pencapaian puncak. Apa pasal? Karena saat-saat seperti itulah tingkat kewaspadaan pendaki cenderung menurun. Tubuh sudah lelah. Pikiran juga telah tersita. Merasa tujuan telah didapatkan, maka ilusi menang muncul, merasa sudah menyelesaikan perjalanan. Padahal itu baru setengah. Masih ada perjalanan untuk kembali hingga selamat tiba di rumah.
Hujan Sepanjang Hari
Usai istirahat makan siang di tepian Telaga Leuser, kami pun bergegas lagi di bawah guyuran hujan yang tak kunjung henti. Kondisi basah kuyup. Jaket windbreaker anti air yang telah dilapisi jas hujan seperti tak sanggup membuat tubuh saya benar-benar kering. Air merembes masuk melalui celah-celah ujung lengan dan sekitar leher. Uap air bagai asap rokok mengepul tebal dari mulut setiap kami berbicara.
Perjalanan menjadi benar-benar menegangkan. Hujan deras menghajar tanpa ampun. Kami menyusuri punggungan antara Leuser dan Loser yang bersisian dengan jurang-jurang yang dalam. Jika tadi pagi hanya kabut, kini ditambah hujan. Bebatuan dan akar-akar pepohonan yang awalnya bisa membantu menjadi pegangan, kini menjadi licin dan berbahaya. Bahkan tanah-tanah yang becek membuat trekking pole tertancap begitu dalam ketika berbenturan dengan permukaannya.
Ketika tiba kembali tiba di Puncak Loser dengan susah payah, saya berbarengan dengan Jaenal, Asyraf, dan Pipi. Saya tak ingat siapa lagi yang sudah lebih dulu di depan. Yang pasti rekan-rekan kami lainnya masih banyak tersisa di belakang. "Tadi udah dibilangin jangan teriak-teriak, tapi nggak digubris. Sekarang jadinya hujan badai begini" keluh Jaenal. Ia mengingatkan mitos di gunung ini saat kami istirahat sejenak di dekat tugu triangulasi Loser.
Kami tak bisa berlama-lama berdiam begini. Makin lama berhenti, tubuh makin menggigil. Kedinginan lama bisa memicu hipotermia, salah satu musuh utama dalam berkegiatan di alam terbuka. Itu sebuah kondisi di mana suhu tubuh menurun drastis. Yang jika dibiarkan terus-menerus, bisa mengancam nyawa. Maka dari itulah, kami harus terus menggerakkan badan. Supaya panas alami tubuh tercipta. Berhenti dan diam, bukan pilihan yang tepat.
Tak lebih dari dua menit berhenti, kami pun harus lanjut. "Yuk. Gas!" begitu Asyraf mengajak saya dan Pipi untuk melanjutkan perjalanan. Bagai kerasukan The Flash dan Quick Silver, superhero yang terkenal akan kecepatannya itu, kami pun melangkah. Menerobos hujan dan kabut. Setiap injakan sepatu ke tanah menimbulkan suara kecipak-kecipuk, seperti dayung yang dibenturkan ke permukaan air.
Di dataran terbuka yang pemandangan langitnya begitu indah pagi tadi, kini ketika hari telah menjelang sore, ia hanya putih bagaikan tembok raksasa. Jalur yang kami lintasi juga berubah menjadi sungai-sungai kecil. Aliran-aliran air hujan di dinding-dinding bebatuan membentuk air-air terjun mini. Itu semua menciptakan kesan keindahan tersendiri. Tapi sayang, kondisi seperti ini tak memungkinkan kami untuk menikmatinya barang sejenak.
Saya berjalan dan terus berjalan, menyusul Asyraf dan Pipi yang beriringan. Jaenal sudah tak kelihatan. Sepertinya ia sudah lebih jauh di depan. Perjalanan ke Kamp Lapangan Bola kali ini benar-benar sedikit mengesalkan. Saya yang tak melihat peta, hanya menyusuri saja jalan setapak yang hanya satu-satunya. Setiap melihat satu puncakan kecil di ujung jalan, saya selalu mengira akan ada kamp kami di baliknya. Tetapi tidak. Kamp masih jauh. Itu berkali-kali terjadi, membuat saya kecele.
Sampai akhirnya hati saya bersorak gembira. Saya melihat kepulan asap di kejauhan. Tentunya itu adalah api unggun di kamp kami. Saya mempercepat langkah. Tak sabar rasanya segera tiba di sana. Untuk berganti pakaian kering, terbayang nikmatnya susu cokelat atau teh panas, serta hangatnya duduk-duduk di depan perapian. "Ayo, Bli!" Asyraf dan Pipi juga terlihat sumringah ketika kamp sudah terlihat di depan mata.
Jam di tangan menunjukkan pukul lima sore, lewat seperempat. Langit yang kelabu semenjak siang tadi, perlahan berubah makin gelap. Satu demi satu, dalam beberapa kelompok kecil, rekan-rekan saya di belakang tiba juga. Tercatat yang paling terakhir tiba kembali di kamp adalah Ibu Dian, yang ditemani Dulah. Berjalan beriringan dengan penerangan headlamp. Itu pukul tujuh malam, ketika hari telah benar-benar gelap. Syukurlah, kami semua telah kembali tiba di kamp dengan selamat dan dalam kondisi aman.
Sate Belalang di Lapangan Bola
Malam pun kemudian makin larut di Kamp Lapangan Bola. Langit yang hitam kelam berselimut kabut. Bintang-bintang enggan muncul, mereka tak nampak satu pun. Hujan, walaupun tak deras lagi, masih turun dalam bentuk gerimis. Sebagian dari kami nongkrong di depan api unggun kecil. Mengitari nyalanya dengan tubuh-tubuh lelah yang telah segar diberi asupan makan malam.
Suara malam yang hening terdengar seperti biasanya. Desir angin yang menyisir rumput tinggi, dengungan serangga yang bersahut-sahutan, dan sesekali suara burung malam yang entah dari mana datangnya. Di antara keheningan itu, saya merasa seolah waktu menjadi lebih lambat, dan setiap detik punya ruang untuk direnungi.
"Kalau tak hujan begini, kita sudah makan sate belalang, Bli" kata Dulah. Hah? Sate belalang? Ya, benar. Di Kamp Lapangan Bola, yang berupa sabana luas ini memang banyak dihuni serangga yang dikenal memiliki antena di kepalanya itu. Jika tak hujan, para pemandu lokal akan suka berburu belalang mengisi waktu. Ditusuk seperti sate dan dibakar. Itu saja sudah enak, kata Dulah sambil diiyakan oleh pemandu lokal lainnya.
Saya jadi ingat masa lalu. Dulu waktu kecil, saya dan teman-teman sepermainan sering berburu capung. Kadang menangkapnya dengan memakai getah buah nangka yang dililitkan di ujung kayu, kadang menangkapnya dengan cara memancing menggunakan capung lebih kecil sebagai umpan. Walaupun rasa capung bakar itu tak karuan, tapi seru saja rasanya waktu itu.
Sementara, ketika kami sedang membicarakan sate capung dan belalang, sebagian besar rekan-rekan saya sudah masuk tenda. Sepertinya masing-masing sudah membungkus tubuh dengan kantong tidur. Mereka, seperti juga saya, pasti lelah usai seharian melakukan perjalanan pergi pulang ke Loser dan Leuser. Hanya saja, saya dan sebagian kecil dari kami, lebih memilih untuk duduk lebih lama di luar. Menatap nyala api, ngobrol berbagai hal sambil mengeringkan pakaian yang basah.
Dalam tegukan teh manis yang hangat, di tempat seperti ini, hal-hal yang biasanya terasa penting di bawah sana—di kota, di kantor, di kehidupan sehari-hari—mendadak terasa begitu kecil dan jauh. Yang tersisa hanya rasa syukur telah sampai sejauh ini, di tanah yang asing tapi terasa akrab. Di bawah langit yang sama, tapi dengan pandangan yang baru.
Dan tentu saja perjalanan belum selesai. Malam ini, di Kamp Lapangan Bola, saya merasa ada bagian dalam diri yang kembali pulang. Bukan pulang ke tempat, melainkan ke keadaan: ketika tubuh lelah tapi hati penuh. Ketika waktu melambat agar kita bisa mendengarkan hidup dengan lebih jernih. Ketika gunung, hutan, dan sabana, serta binatang-binatangnya tak lagi hanya jadi latar kisah, tetapi menjadi guru yang diam-diam memberi pelajaran: tentang kerendahan hati, tentang keberanian, dan tentang hati yang khusuk mendengar sunyi.
Strategi Turun Gunung
Malam berganti pagi. Kabut masih tipis menggantung ketika kami berkemas di kamp. Ada rasa lega karena kami telah menuntaskan pencapaian puncak-puncak utama di Pegunungan Leuser ini. Hari ini kami akan turun gunung. Kembali menuju Keudah, kampung terakhir yang beberapa hari sebelumnya menjadi titik awal pendakian. Sesuai rencana, dalam waktu empat hari ke depan, kami akan tiba di peradaban.
Turun gunung selalu punya logikanya sendiri. Jika saat mendaki ke puncak kami harus menyesuaikan ritme tubuh dengan ketinggian, beban, serta medan yang menanjak; maka perjalanan turun memberikan keuntungan berupa jalur yang lebih bersahabat. Jika sebelumnya apa yang ditempuh selama dua hari penuh, kini akan diringkas menjadi satu hari perjalanan turun. Lebih singkat, tapi lebih jauh.
Contohnya, ketika mendaki dari Bivak Kaleng menuju Kamp Lapangan Bola, kami membutuhkan waktu dua hari dengan menginap semalam di Kamp Simpang Tanpa Nama. Namun, saat turun kali ini, jalur yang sama akan kami tempuh sekali jalan tanpa harus bermalam lagi.
Hal serupa terjadi di bagian jalur lain. Sebelumnya dari Sungai Alas menuju Bivak Kaleng, perjalanan mendaki menuntut satu malam peristirahatan di Kamp Tronton. Tetapi, ketika turun kali ini, dari Bivak Kaleng kami bisa langsung menuruni jalur hingga Sungai Alas tanpa perlu lagi bermalam.
Hanya jalur Sungai Alas ke Puncak Angkasan yang kami tempuh dalam waktu yang setara seperti sebelumnya, yaitu sama-sama satu hari. Hal itu dikarenakan kami harus mendaki, walaupun dalam rangka turun gunung. Medan yang terjal, elevasi yang tinggi, tentu tak bisa mempercepat pergerakan. Nanti dari Puncak Angkasan, barulah kami akan bablas lagi, bergerak terus sampai ke Keudah.
Menuju Bivak Kaleng
Ransel tak terasa lebih ringan. Beratnya terasa tak berubah, sepertinya tetap sama semenjak hari pertama. Logistik yang saya bawa sudah berkurang, tapi memang tak seberapa. Yang tak akan berkurang tentu berbagai peralatan seperti matras, kantong tidur, pakaian ganti, dan peralatan lain yang bukan untuk dikonsumsi sekali habis. Ditambah kondisinya yang basah, bukannya bertambah ringan, yang ada malah menambah beban.
Hal berbeda terjadi pada para porter. Mereka bisa tertawa senang dalam perjalanan turun kali ini. Merekalah yang menjadi pembawa beban paling berat. Logistik utama seperti beras dan makanan kaleng tentu tidak sebanyak hari-hari pertama untuk diangkut. Membuat bawaan mereka jauh lebih ringan. Yang masih sama dan tak berkurang hanya tenda. Jadi bisa dibilang setengah beban mereka sudah tak ada. Wah!
Kami pun meninggalkan Kamp Lapangan Bola. Menapaki jalur yang sama saat mendaki, hanya kali ini dengan arah berlawanan. Sabana basah pun dilalui. Juga bukit-bukit dengan pepohonan cantigi. Dengan bau tanah dan lumut, jalanan yang dominan menurun sesekali membuat lutut bergetar. Di satu titik kami melewati lagi Kamp Simpang Tanpa Nama. Hanya ada kayu-kayu terpancang tempat kami membuka flysheet dua hari lalu, serta bekas api unggun yang sudah mati. Ada rasa aneh: seolah-olah diri kami yang kemarin masih duduk di situ, tertawa dan bercakap-cakap.
Entah kenapa, kini dalam perjalanan turun ini, saya merasa begitu lelah. Capek sekali. Mata terasa berat. Mengantuk. Sepertinya karena akibat kurang tidur semalam. Tubuh ingin sekali rasanya direbahkan barang beberapa lama, tapi itu tak mungkin. Saya harus terus berjalan. Hari terasa panjang. Naik turun bukit di tengah hutan berlumut seperti tak ada ujungnya. Hingga kemudian kami menyeberangi dua Krueng Kluet, sungai eksotik berair dingin yang mengalir deras di bawah rimbun pepohonan. Di satu tempat terbuka setelah penyeberangan kedua, kami akhirnya istirahat makan siang.
Saya merebahkan badan. Menyandarkan kepala pada ransel yang saya jadikan sebagai bantal. Saya tak ikut bercengkerama dengan yang lain kala menunggu tim logistik memasak lauk makan siang. Saya memilih tidur saja. Kesempatan take a nap barang dua puluh hingga tiga puluh menit sangat berharga. Dan hasilnya benar-benar di luar dugaan. Setelah bangun, makan siang, minum teh hangat; langsung segar bugar. Saya kembali bersemangat melanjutkan perjalanan. Mental dan semangat saya jadi jauh berbeda dengan tadi.
Maka setelah istirahat usai, dan kami semua mulai melangkahkan kaki, saya pun riang berdendang, walau dalam hati. Menyanyikan Rehat Sejenak, menghayati lirik-liriknya, sebuah lagu dari Dialog Dini Hari, grup musik indie dari Bali: "Rehat sekejap jika kau lelah. Rebahkan diri sebentar. Basuh tanganmu bersihkan debu. Hilangkan dahaga di jeda waktu. Lantunkan lagu, yakinlah merdu. Dengungkan syair pujangga dulu. Renungkan bait pelipur lara. Bijaksana hati, hilangkan murka. Rehat sekejap, kita perlu istirahat. Rehat sekejap, syukuri nikmati anugrah".
Langkah-langkah Kecil ke Tujuan
Perjalanan menuju Bivak Kaleng dari Krueng Kluet ternyata masih sangat panjang. Kami tahu karena sudah melaluinya. Tapi tetap saja, itu membuat sedikit penderitaan. Naik turun bukit di tengah hutan seperti tak ada ujungnya. Setiap kali satu tanjakan selesai, sebuah turunan menunggu. Dan setelahnya, tanjakan lagi. Seolah hutan punya selera humor sendiri, mempermainkan ketabahan kami.
Namun langkah-langkah kecil, yang kami ulang terus, akhirnya membawa juga ke tujuan. Senja jatuh saat kami tiba di Bivak Kaleng, tempat yang sudah terbayang bagaimana rupanya. Rekan-rekan saya yang beraktivitas sore, suara derit tenda yang diterbangkan angin, serta asap api unggun yang mengepul di tenda dapur. Semua itu menimbulkan rasa lega, seperti sudah sampai di rumah saja usai pulang dari kantor.
Perjalanan masih jauh untuk menuju Bivak Kaleng.Pesta Daging Kijang
Di tenda dapur, pemandu lokal kami menyambut dengan kejutan: seekor kijang. Ternyata salah seorang dari mereka memasang jerat saat kami mendaki beberapa hari lalu. Dan hasilnya kini ada di hadapan kami. Seekor kijang yang ternyata sedang hamil. Saya tercekat ketika janinnya ikut tergeletak di tanah. Malam itu, sebagian daging kijang dijadikan sate di api unggun, sebagian lagi dimasak menjadi gulai.
Kami makan ramai-ramai. Rasanya cukup mengganjal perut, walau tak bisa menandingi gulai di warung sate kambing langganan saya di kota. Tapi rasa makanan malam itu bukan hanya soal lidah. Ada getir yang menyelip di hati saya. Binatang ini dilindungi. Apa yang kami lakukan? Seandainya dilihat orang luar, mungkin bisa jadi bumerang. Tak ada satu pun dari kami yang berani memotret, takut jika itu menyebar. Tapi saya tulis saja kisahnya di catatan ini.
Ada diam-diam yang mengalir di antara sendok dan piring. Saya sendiri antara terenyuh dan penasaran ingin mencicipinya juga. Ada perasaan bersalah yang tiba-tiba menjalar di dada. Salah seorang rekan saya, Akbar, bahkan dari awal menolak menyentuh daging itu. “Sedih,” katanya pelan, “bayangkan, janin itu pun ikut jadi santapan.” Kata-kata itu menggantung lama di udara, lebih lama dari sisa aroma gulai yang memenuhi udara di sekitar api unggun.
Kijang, atau yang bernama latin Muntiacus muntjak, adalah salah satu satwa liar yang masih bisa ditemui di hutan-hutan Aceh. Tubuhnya relatif kecil dan berbobot ringan: sekitar empat puluh hingga enam puluh kilogram. Secara hukum, ia termasuk satwa dilindungi di Indonesia. Namun di lapangan, cerita jadi lebih kompleks. Di banyak daerah pedalaman, praktik berburu masih berlangsung. Kadang untuk kebutuhan makan, kadang sebagai tradisi, kadang pula untuk dijual.
Di Tanah Gayo, dendeng kijang, rusa, atau olahan daging satwa hutan lain bukan pemandangan asing di pasar. Bahkan hingga ke toko-toko daring. Sebagian masyarakat memandangnya sebagai bagian dari budaya kuliner lama, warisan sebelum istilah “satwa dilindungi” masuk dalam hukum negara. Namun, di sisi lain, tekanan perburuan liar ikut mempersempit populasi hewan-hewan ini, bersaing dengan deforestasi dan perluasan perkebunan.
Saya merasa berada di antara dua dunia: dunia hukum konservasi yang saya kenal dari buku dan berita, dan dunia nyata masyarakat lokal yang hidup berdampingan dengan hutan. Di sana, menjerat kijang bisa berarti rezeki tambahan atau sekadar memastikan ada lauk protein. Saya kembali dihadapkan pada renungan di depan api unggun. Di manakah batas antara kebutuhan dan keserakahan? Apakah saya berhak menghakimi pemandu yang memasang jerat, sementara saya sendiri turut menyuapkan gulai ke mulut, meski dengan hati yang ragu? []
I Komang Gde Subagia | Gayo Lues, Desember 2024
Comments
Post a Comment
Comment