Dari tepian Sungai Alas yang sepi, pagi hari keempat dimulai dengan langkah lambat. Rencana awal kami adalah mencapai Kamp Koba hari ini—sebuah titik kamp sebelum masuk zona punggungan dari puncak-puncak utama Gunung Leuser. Namun, penyeberangan malam sebelumnya memaksa kami memperlambat pergerakan. Adul, sang team leader, memutuskan: kita hanya akan sampai Kamp Tronton. Jarak yang lebih pendek, tapi tetap menantang. Esoknya akan lebih panjang untuk mengejar ketertinggalan, namun masih masuk akal selama langkah tetap terjaga.
Tanam Logistik Lagi
Malam telah berganti pagi di tepian Sungai Alas. Di luar tenda, pohon-pohon pinus berdiri anggun membisu di tepi aliran sungai. Sinar matahari menembus sela-sela ranting, membentuk garis-garis cahaya yang jatuh di antara kabut tipis dan asap unggun sisa semalam. Saya menyaksikan rekan-rekan mulai beraktivitas. Saya pun keluar tenda, ikut menapaki pagi yang perlahan bergeliat hidup.
Kamp Sungai Alas adalah tempat bermalam di hari ketiga. Dalam perjalanan pulang nanti, kami akan melintasinya kembali dan bermalam di sini lagi pada hari kesepuluh. Karena itu, sebagian logistik untuk hari kesepuluh dan kesebelas ditinggalkan di kamp ini—ditanam di sudut kamp agar tidak membebani perjalanan selanjutnya.
Saya melihat Adul dan Dulah membungkus makanan dan perlengkapan di dalam trash bag besar. Saya ikut menitipkan satu paket kecil, seperti halnya yang lain. Di antara kami sempat berkelakar, takut-takut lubang yang digali terlalu dekat atau bahkan tepat dengan 'toilet darurat' kami kemarin. Bahaya!
Selain logistik, beberapa kawan meninggalkan pakaian basah di papan pengumuman yang menampilkan larangan berburu harimau. Di sana tergantung jersey, kaus kaki, hingga beha dan celana dalam. Entah milik siapa—yang jelas, salah satu dari kami. Atau dua. Yang tentu akan diambil kembali saat melintas di hari kesepuluh nanti. Itu menjadi sebuah pameran fashion dadakan di tengah belantara Leuser.
Pukul sepuluh, kami berangkat. Jalur menuju Kamp Tronton hanya lima kilometer. Namun, lima kilometer kali ini bukan soal jarak, tapi soal elevasi. Hari ini akan penuh tanjakan di lebatnya hutan. Dari dasar lembah, kami harus mendaki hampir seribu meter ke punggungan. Di atas sana, sabana-sabana menanti.
Makan Siang di Sungai Kecil
Kami melangkah bersama. Tidak terburu-buru, namun tetap konsisten. Jalur pendakian dengan hujan semalam, membuatnya jadi licin. Hutan kian lebat dan gelap. Dedaunan rimbun menangkis cahaya, membuat matahari hanya muncul sebagai cahaya lembut yang tak pernah menyentuh tanah. Suara Sungai Alas yang semula mengiringi langkah, perlahan menghilang, ditelan jarak.
Sekitar tengah hari, kami berhenti di sebuah sungai kecil. Airnya jernih, mengalir melewati batu-batu lumut dan dedaunan cokelat yang tenggelam diam. “Ini sumber air terakhir,” kata Dulah, yang seolah jadi ensiklopedia berjalan tentang jalur ini. Di Kamp Tronton nanti, mungkin ada genangan, tapi airnya tak sebersih ini. Kami pun mengisi botol. Juga menyempatkan diri mencuci tangan dan wajah.
Tempat kami duduk sebenarnya kurang nyaman: miring, penuh semak, dan dihuni serangga serta tawon, yang terbang berseliweran mengganggu ketika saya duduk di atas serasah dedaunan lembab. Tapi beginilah hutan: tak memberi kemewahan, hanya cukup untuk menyandarkan lelah seperti ini.
Kami makan siang sambil berbincang. Anggi, “Si Kaki Seribu”, semakin aktif melontarkan lelucon-lelucon. Yang diladeni teman-teman saya, sahut-sahutan satu sama lain. Suara kami menembus sunyi hutan. Kami tertawa di antara dengung serangga dan sayup suara burung-burung di kejauhan.
Di sisi lain, saya melihat Mazli mengeluarkan tendanya. Ia mengikatnya di bawah pohon, berniat meninggalkannya. Tendanya semalam bocor dan sudah tak layak pakai. Daripada jadi beban, lebih baik ditinggalkan di sini. “Nanti saya ambil lagi saat turun,” katanya. Malam ini, ia akan bergabung tidur bersama para porter yang, tampaknya, makin akrab dengannya.
Sakit Pundak
Perjalanan dilanjutkan. Namun rasa tak nyaman mulai muncul di pundak saya. Makin lama, makin sakit. Saya membawa dua tas: carrier besar di belakang dan daypack sedang di depan. Biasanya, saya mengenakan tas depan terlebih dahulu, lalu tas belakang, agar tali pundak bisa lebih seimbang. Tapi kali ini terbalik. Tali tas depan malah menggantung tidak stabil, menarik lengan bagian atas. Saya baru menyadari kesalahan ini setelah menganalisa saat tiba di kamp.
Saya berjalan sambil menahan nyeri. Hutan berubah. Pepohonan cantigi mulai mendominasi, diikuti semak belukar sabana yang muncul ketika vegetasi mulai jarang. Tanda kami naik ke zona transisi ekosistem, dari hutan hujan tropis dataran rendah menuju hutan montana. Pemandangan terbuka berubah jadi dinding kabut. Lalu hujan turun menciptakan suasana magis—atau tragis, tergantung siapa yang memandang.
Saya mulai menggigil. Tidak mengenakan jaket windproof atau jas hujan. Terlanjur basah, saya memilih melanjutkan perjalanan. Kesalahan kecil yang menjadi penderitaan panjang. Setiap berhenti lebih dari semenit, tubuh kedinginan. Hutan, dengan segala kerendahhatian dan kekejamannya, mengajari satu hal: jangan meremehkan hal-hal kecil. Lain kali, lebih baik memakai jas hujan sebelum benar-benar basah.
Tiba di Kamp Tronton
Sore menjelang ketika kami tiba di Kamp Tronton. Namanya berasal dari kisah para porter yang dahulu membuka jalur ini. Karena beban yang mereka angkut begitu berat, timbul gurauan: “Ini porter atau tronton?” Maka nama itu pun melekat.
Hujan dan kabut menjadikan hari terasa muram. Saya ikut membantu mendirikan tenda dan membentangkan flysheet. Tapi rasa sakit di pundak kanan membuat gerakan saya terbatas. Tanpa tas pun, saya kesulitan menggerakkan tangan. Nyeri seperti ditusuk-tusuk. Ditambah lapar, kombinasi yang sempurna untuk lemas.
Akhirnya saya menyerah. Tak seperti biasanya, saya tak menghangatkan diri di api unggun. Saya masuk ke dalam tenda, berganti pakaian kering, menyesap teh hangat, dan makan beberapa biskuit. Lalu meringkuk di dalam sleeping bag.
Saat makan malam tiba, pundak saya masih nyeri. Dion, rekan setenda saya, menawarkan obat nyeri. “Dosis tinggi, Bli. Ampuh, bisa manjur sampai dua hari,” katanya. Saya menelannya dalam diam, mengucapkan terima kasih, lalu melanjutkan berbaring. Berharap malam ini memberi jeda bagi rasa sakit.
Permainan Kartu
Sekitar pukul sepuluh malam, saya terbangun. Dua rekan setenda sudah terlelap. Saya keluar, melangkah pelan menuju tenda dapur yang masih terang. Di sana, Adul dan tim pendukung terlihat belum tidur, duduk melingkar sambil bermain kartu di bawah cahaya redup lampu tenda dan api unggun yang menyala sedang.
Nadya, satu-satunya perempuan di dalam lingkaran, tampak ikut dalam permainan, menyusun kartu-kartunya dengan ekspresi yang tak terbaca. Di sisi lain, Mazli dan Pak Sugi duduk dekat api, mengeringkan pakaian yang masih basah akibat hujan seharian tadi. Jaenal dan Zulfadli tampak sibuk menanak nasi, uap dari panci membumbung tipis ke udara malam yang lembab.
Saya bergabung, membawa beberapa pakaian basah untuk dikeringkan, sambil mengamati permainan kartu yang berlangsung. Suasana begitu hidup, penuh canda dan ejekan ringan. Permainan itu rupanya punya konsekuensi: siapa yang kalah, wajahnya diolesi arang dari sisa pembakaran kayu. Sebagian besar pemain sudah ‘terhias’ dengan coretan hitam, membuat mereka tampak seperti tentara perang yang berkamuflase. Hanya wajah Nadya yang tetap bersih—bukan karena pengecualian, tapi karena ia memang belum pernah kalah.
Hebat juga, pikir saya. Di tengah kerasnya ritme pendakian beberapa hari terakhir, Nadya ternyata cerdik dalam permainan. Saya bertanya, kartu siapa yang digunakan? Ternyata milik Nadya sendiri. Seketika, ingatan saya melayang pada tokoh Sakuni dalam Wiracarita Mahabharata, si ahli tipu daya dengan dadu keramatnya sehingga ia selalu menang. Tapi di sini, di tengah belantara Leuser, tidak ada jampi-jampi, tak ada kutukan wangsa kuru. Yang ada hanyalah probabilitas, keberuntungan, dan mungkin sedikit keahlian menyimpan kartu as di saat genting.
Permainan teman-teman saya itu, meski sederhana, menyampaikan pesan tak tersirat, bahwa di tengah kerasnya alam liar, manusia tetap membawa sisi bermainnya—kebersamaan yang ditandai dengan tawa, sedikit persaingan, dan keterampilan untuk bertahan. Di sela bau asap, uap nasi, dan pakaian lembab, mereka adalah sekelompok orang asing yang dipertemukan oleh gunung, disatukan oleh tujuan, dan dijaga oleh tawa yang menghangatkan lebih dari sekadar api unggun.
Malam yang Berbisik
Tak berapa lama kemudian, satu demi satu mereka kembali ke tenda untuk beristirahat. Saya masih di depan api unggun. Sunyi mulai mengambil alih. Adul dan tim pendukung tertidur di tenda dapur. Sesekali mereka cekikikan dalam kantuk. Alwi bahkan sengaja mendengkur dengan nada aneh, yang mengundang tawa lebih keras. Lalu perlahan, semuanya hening. Semua tertidur pulas.
Kini hanya tersisa suara api, desir angin, dan gerimis yang rintik di atas flysheet. Malam yang udaranya basah rasanya sedikit mencekam, tapi dalam kadar yang masih menenangkan. Saya duduk sendiri. Menyerap kesunyian. Merenung. Ada rasa tenteram yang aneh—sekaligus sedikit ganjil.
Di tengah jantung Leuser, rasanya ketakutan akan binatang buas atau malam yang pekat, mungkin tak seberapa dibanding ketakutan manusia atas hidupnya sendiri. Takut akan masa lalu, masa depan, kesepian, kehilangan, bahkan akan kehidupan itu sendiri dengan semua misterinya.
Namun, yang seringkali menakutkan bukanlah apa yang kita takuti itu, tapi rasa takut itu sendiri. Ia hidup di kepala, menciptakan bayang-bayang dan skenario. Keheningan rimba seolah mengingatkan kembali untuk berani menghadapi pikiran kita sendiri. Sebab di sanalah sumbernya. Di sana lah —di dalam pikiran— medan tempur manusia yang sesungguhnya, sekaligus tempat untuk mendapatkan kunci kemenangan.
Saya menatap jam. Waktu telah lewat tengah malam. Tak heran lamunan saya jadi berkelana jauh, ke mana-mana. Di sekitar, semua sudah lelap. Saya saja yang masih terjaga. Obat Dion tampaknya bekerja. Rasa sakit di pundak berkurang. Di kesendirian malam ini, saya kembali berpikir. Jika terlalu sering menyendiri di tengah hutan, apakah saya akan jadi seorang filsuf? Atau orang gila? Tapi bukankah keduanya kadang hanya dibedakan oleh cara kita memandangnya? []
I Komang Gde Subagia | Gayo Lues, Desember 2024
Comments
Post a Comment