Padang Sari Bulan

Mungkin Shakespeare benar ketika bertanya, “Apa arti sebuah nama?” Pertanyaan yang dipopulerkan pujangga asal Inggris itu tampaknya juga relevan untuk Leuser. Puncak tertingginya—yang akan kami daki hari ini, atau di hari ketujuh—menyimpan kontroversi tentang nama yang seharusnya disandang. Hingga kini, puncak itu belum memiliki nama resmi. Ia lebih sering disebut sebagai Puncak Tanpa Nama.

Bunga cantigi dalam perjalanan menuju Puncak Tanpa Nama.


Padang Sari Bulan

Sebelum mendaki ke puncak tertinggi, ada satu kisah tentang penamaan gunung ini di masa lalu yang rasanya menggoda jika dikaji ulang. Menurut saya, namanya cukup indah: Padang Sari Bulan. Begitulah sebutan lokal yang terpatri di benak penduduk Gayo Lues, mengacu pada satu puncak gunung sebelum nama "Leuser" dikenal dunia. Sebuah tempat tinggi di pegunungan Tanah Gayo, tersembunyi dalam selimut awan dan waktu.

Gayo Lues, hingga akhir abad ke-19, adalah wilayah yang nyaris terputus dari dunia luar. Ia terpencil, bukan hanya secara geografis, tapi juga secara sosial dan budaya. Dikelilingi rimba dan pegunungan, satu-satunya akses menuju lembah-lembahnya adalah jalan setapak: menyusuri padang rumput, menapaki punggung bukit, dan meniti pinggiran sungai yang tak pernah berhenti mengalir. Seolah waktu berjalan lebih lambat di sana, dan setiap langkah menyusuri jalur-jalur itu adalah upaya menembus keheningan di masa lampau.

Pada masa itu, belum ada manusia yang tercatat pernah mencapai puncak-puncak tertinggi Pegunungan Leuser. Belantara itu terlalu lebat, tak terjamah. Puncak Loser dan Leuser masih menjadi misteri yang menggantung di balik awan. Nama-nama itu bahkan belum dikenal. Yang lebih dulu dikenal justru nama yang indah ini: Padang Sari Bulan—sebuah puncak setinggi 2.755 meter di atas permukaan laut. Titik pencapaian terakhir dalam catatan para penjelajah awal, baik dari kalangan lokal maupun ekspedisi Belanda.

Posisi Padang Sari Bulan adalah sekitar tiga kilometer di selatan Puncak Tanpa Nama, atau di timur laut Kamp Koba. Namanya yang cantik itu bukan sekadar penanda geografis. Ia adalah potongan dari kearifan masa lalu. Dalam kisah turun-temurun masyarakat Gayo Lues, Padang Sari Bulan adalah tempat orang-orang pergi untuk melihat bulan dalam rangka rukyat, mencari hilal, menandai datangnya Ramadhan. 

Ketika komunikasi dengan dunia luar belum mungkin, dan teknologi belum terjangkau, masyarakat bergantung pada alam dan pandangan mata. Mereka mendaki puncak tertinggi yang bisa dicapai, lalu mengarahkan pandangan ke ufuk barat. Jika bulan sabit tampak, maka puasa dimulai. Dari situlah nama Padang Sari Bulan lahir.


Sejarah Berjalan

Namun, sejarah menuliskan jalannya sendiri. Perubahan terjadi seiring waktu. Seiring masuknya Pemerintah Hindia Belanda ke Tanah Gayo, pengukuran puncak-puncak tertinggi pun dilakukan. Nama lokal yang awalnya hidup di masyarakat perlahan bergeser. Leuser kemudian menjadi nama yang lebih dikenal, menggantikan Padang Sari Bulan. Ini dimungkinkan karena Belanda mencatat ada puncak-puncak lain yang lebih tinggi, meski selalu tertutup awan.

Meski begitu, asal-usul nama 'Leuser' dan begitu juga 'Loser' masih menjadi perdebatan hingga kini. Entah itu warisan Belanda yang diyakini mendakinya pertama kali, atau berasal dari bahasa lokal. Ada yang mengatakan bahwa itu berasal dari kata 'los', kosa kata Gayo, yang berarti 'mati', di mana istilah ini mengacu pada kisah seorang pemburu Belanda yang tak sengaja menembak rekannya hingga mati.

Yang lebih menarik lagi, pengukuran yang dilakukan Belanda ternyata menyisakan puncak paling tinggi yang luput dari hitungan: 'Puncak Tanpa Nama', yang baru mendapat perhatian pada masa setelah kemerdekaan Indonesia, khususnya ketika kawasan ini mulai diteliti secara sistematis untuk konservasi. Puncak tersebut kemudian diidentifikasi sebagai yang tertinggi di antara tiga puncak yang ada. Sebuah koreksi geografi, sekaligus pengakuan diam-diam bahwa gunung pun punya rahasia yang tak bisa dibaca dari peta.

Maka kemudian, nama Padang Sari Bulan terlupakan. Kini ia hanyalah sepotong ingatan di masyarakat yang terus berubah. Menjadi titik koordinat di peta sebagai puncak yang bukan tertinggi di pegunungan ini. Namun, seperti cahaya bulan di malam gelap, kisahnya masih menyinari lorong-lorong waktu, menghubungkan masa ketika gunung-gunung tidak hanya jadi objek wisata atau titik koordinat GPS, tetapi menjadi penjaga ritme hidup, penentu waktu suci, dan penghubung langit dengan bumi bagi umat Islam di Gayo Lues kala itu. Dan siapa tahu, seperti banyak hal dalam hidup, justru yang pernah terlupakan itu menyimpan cahaya yang paling lembut dan paling terasa indah.


Menuju Puncak

Matahari baru mengendap di balik kabut tipis ketika kami bersiap. Hari ketujuh pendakian, menuju Puncak Tanpa Nama. “Santai saja,” kata Adul, team leader kami. Jarak dari kamp ke puncak hanya tiga kilometer, dengan kenaikan elevasi sekitar 300 meter. Jalurnya juga tak terlalu berat. Tak perlu membawa carrier, cukup daypack atau vest ringan yang berisi air, camilan, dan beberapa peralatan penting.

Kami mulai melangkah menyusuri setapak yang berliku. Pepohonan cantigi menyambut kami dengan dominasi warna merah, bunganya seperti lonceng kecil yang mekar malu-malu. Di antara sabana dan kubangan air, sesekali tampak tulang belulang rusa—bekas jamuan sang harimau, mungkin. Tapi pagi ini terlalu cerah untuk merasa takut. Langit biru berselimutkan awan-awan tipis. Perjalanan tetap kami lakukan dengan waspada.

Di satu bukit batu yang terbuka, kami berhenti sejenak. Menyesap teh hangat, menatap cakrawala. Jauh di depan tampak batu-batu menjulang, menyerupai puncak. Tapi itu cuma bayangan. Puncak palsu. Puncak tertinggi yang sejati masih tersembunyi di balik bukit berikutnya. Seperti banyak hal dalam hidup, kita harus melewati tipu daya dulu untuk mencapai yang sebenarnya.

Akhirnya, setelah satu jam lebih berjalan, Puncak Tanpa Nama berdiri anggun di depan kami. Tidak setinggi Himalaya, juga tidak seterkenal Semeru, tapi puncak ini punya pesonanya sendiri. Tegak, nyaris tanpa suara. Seperti biksu tua yang memandangi dunia dari kejauhan.

Saya berjalan paling belakang menuju ke puncak sejati itu. Bersama Dulah yang menemani Anggi dan Hilmi. Sementara teman-teman lain sudah seperti kawanan domba berwarna-warni, berjalan beriringan jauh di depan, dengan tas dan jaket mereka yang mencolok. Satu persatu, kami semua menjejakkan kaki di puncak tertinggi Pegunungan Leuser ini.


Tak Usah Ada Nama

Di puncak, ada tugu triangulasi dari beton dan sebuah plakat putih yang memberi tahu ketinggian tempat kami berdiri. Langit bersih. Angin tenang. "Langka sekali dapat cuaca seperti ini, biasanya berkabut tebal" kata Dulah. Kami mengangguk penuh syukur.

Lalu, kenapa puncak ini tak punya nama? Bisa jadi karena dulu Belanda sibuk mencatat yang lain sehingga luput akan puncak ini. Atau mungkin, karena puncak ini memang keburu terus-menerus tak menyandang nama sehingga penamaan baru selalu dianggap tak layak. Tapi ada keindahan dalam ketidaktertamaan. Sebab tidak semua yang tak bernama itu tak berarti. Mungkin, Tanpa Nama justru adalah nama yang paling jujur.

Beberapa usulan penamaan sempat muncul. Ada yang sekedar iseng dengan maksud bercanda menyematkan namanya karena suka-suka saja. Ada juga yang sedikit serius, ingin menamainya Puncak Syamsuddin Mahmud, mengikuti nama seorang Gubernur Aceh yang dianggap berjasa. Tapi banyak yang menolak, terutama dari komunitas lokal dan pecinta alam. Gunung bukan tempat untuk keberpihakan politik. 


Tradisi Tak Tertulis

Berkaitan dengan penamaan ini, dalam dunia ekspedisi, ada tradisi tak tertulis: jika sebuah gunung belum memiliki nama, maka nama pendaki pertamalah yang kerap dijadikan penanda. Kadang, nama itu diambil dari tokoh yang pertama kali melakukan penelitian penting di kawasan tersebut. Tradisi ini berlaku bukan hanya untuk gunung, tapi juga untuk tebing curam, pintu gua yang tersembunyi, jeram sungai yang menderu, bahkan spesies-spesies baru yang ditemukan di alam liar.

Namun, penamaan seperti ini tak selalu terasa tepat. Tak jarang, sebuah tempat sudah memiliki nama lokal yang berakar dalam sejarah dan kehidupan masyarakat sekitar—nama yang tumbuh bersama mitos, cerita rakyat, dan identitas budaya. Lalu datanglah penjelajah, ilmuwan, atau pendaki dari luar, memberi nama baru dan—secara tak sadar—menyingkirkan jejak lokal yang telah lebih dulu ada. 

Ambil saja satu contoh: Puncak Cartenz, puncak tertinggi di Indonesia yang jadi bagian seven summits dunia itu. Namanya merujuk pada penjelajah Eropa yang pertama kali melihatnya. Padahal, jauh sebelum itu, masyarakat Papua telah menyebutnya Nemangkawi—nama yang sarat makna dan penghormatan.

Barangkali, memberi nama pada suatu tempat bisa menjadi bentuk prestise. Ada kebanggaan tersembunyi di baliknya: seolah-olah telah ‘menaklukkan’ sesuatu yang belum dijamah. Tapi, bagi saya, membiarkan sebuah tempat tetap tanpa nama juga bisa menjadi bentuk penghormatan. Pengakuan bahwa tidak semua hal perlu kita klaim. 

Maka seperti puncak tertinggi di Leuser ini, yang hingga kini ia belum memiliki nama resmi. Biarlah ia demikian. Mungkin, seperti hutan yang enggan menyebut dirinya pohon, atau sungai yang tak peduli siapa yang meminum airnya, Puncak Tanpa Nama justru telah menemukan namanya sendiri—dalam keheningan, dalam ketidakperluan untuk disebut. Pun 'Tanpa Nama' adalah sebuah nama juga.


Turun

Kami cukup lama di puncak. Sarapan, menyeruput teh, berfoto, bahkan sempat tidur-tiduran di bawah batu besar. Saya memicingkan mata ke arah lembah Alas, membayangkan dunia di bawah kanopi hutan. Terlihat lebat, nyaris tak tersentuh. Liar. Seperti tempat persembunyian para legenda. Tapi tak satu pun rusa atau harimau terlihat. Mungkin mereka tahu kami datang sehingga menyembunyikan diri.

Setelah satu jam berlalu, satu demi satu kami mulai turun. Di perjalanan, kacamata hitam saya jatuh, entah di mana. Saya cari-cari, tak ketemu. Sedih juga. Tapi mungkin, itu semacam ongkos kecil untuk menyimpan pengalaman besar. Sesampainya di kamp, saya hanya bisa menghela napas: di antara semua hal yang hilang di gunung, yang paling penting adalah kita tak kehilangan pengalaman. Tak seperti kacamata atau barang lain yang mudah rusak atau hilang, pengalaman akan selalu tertinggal di hati.


Kamp Paling Santai

Saya pun akhirnya tiba kembali di Kamp Simpang Tanpa Nama. Mari kita bahas sedikit tentang nama kamp ini,yang barangkali sudah bisa ditebak asal-usul penamaannya. Kamp ini memang berada tepat di titik persimpangan: satu jalur menuju Puncak Tanpa Nama di arah timur laut, dan satu lagi menuju Puncak Loser dan Leuser di barat daya. Tempat ini seperti pertigaan sunyi di tengah belantara Leuser—simpang jalan yang membelah hutan dan memisahkan arah tujuan.

Saat kami tiba, hari belum lewat tengah hari. Matahari masih menggantung rendah, membiaskan cahaya lembut di sela-sela cantigi dan kabut yang menipis. Target kami selanjutnya hari ini hanya berjarak sekitar satu kilometer, tanpa tanjakan berarti. Sebuah kemewahan dalam dunia pendakian. Maka, siang itu, kami punya waktu longgar untuk berleha-leha: memanen tenaga matahari lewat panel surya, mengecas gawai dan power bank, dan tentu saja—mengecas diri sendiri.

"Kurang lebih, tiga jam lagi kita bergerak, ya!" seru Adul, penuh semangat namun dengan nada santai yang menular. Waktu yang cukup longgar untuk siapa pun yang ingin menyalin ulang energinya. Dan benar saja, sebagian besar teman-teman saya memilih untuk kembali ke tenda. Entah untuk sekadar rebahan, tidur siang, atau hanya berbaring diam, mendengarkan nyanyian sunyi hutan.

Rasanya, inilah kamp paling santai sepanjang jalur pendakian kami di Leuser. Tak ada tergesa. Tak ada rasa diburu-buru. Kami hanya sekelompok manusia kecil yang menepi dari riuh dunia, sebentar saja, di persimpangan jalan rimba raya. Jarang-jarang saya mendaki gunung dan bisa tidur siang, bahkan lebih dari sejam. Zzzzzz...


Ke Kamp Lapangan Bola

Sekitar pukul dua siang, kami kembali bersiap melanjutkan perjalanan. Tenda-tenda telah dibongkar, perlengkapan masuk ke dalam ransel, dan jalur berikutnya menanti. Tujuan kami kali ini adalah Kamp Lapangan Bola—sebuah hamparan sabana luas yang konon menyerupai lapangan tempat bermain bola, tempat kami akan bermalam.

Meski ketinggiannya lebih rendah dari Kamp Simpang Tanpa Nama, jalurnya tidak bisa dibilang mudah. Kami tetap harus naik dan turun bukit beberapa kali, menembus perdu yang rapat dan hutan-hutan cantigi yang meliuk seperti gerbang hidup. Di beberapa bagian, sabana-sabana kecil tampak becek dan membentuk genangan-genangan air, seolah menjadi cermin langit dan awan di dataran tinggi.

Menjelang sore, kami tiba di hamparan sabana yang lebih luas. Angin berhembus ringan, dan langit berwarna putih keabuan. Kami memilih satu sudut datar yang dikelilingi cantigi lebat untuk mendirikan tenda. Di sekeliling, saya melihat banyak area serupa—semacam pulau-pulau pohon di lautan rumput. Tempat-tempat yang bisa memberi perlindungan dari angin malam, tapi juga menyimpan misteri yang tak terlihat mata.

Kata Anwar, kamp ini punya cerita. Di sinilah, katanya, sang abang—Mister Nasir—pernah bertemu langsung dengan seekor harimau. Sang raja rimba mendekat tanpa suara, seperti seekor kucing rumahan yang iseng ingin tahu aktivitas manusia. Refleks, Mister Nasir memanjat pohon untuk menghindari kemungkinan terburuk.

Cerita itu membuat saya memandangi sekeliling sabana dengan lebih khusyuk. Angin dengan gerimis kecil berhembus di Kamp Lapangan Bola ini. Hening, luas, dan terasa hidup. Leuser, sekali lagi, mengingatkan kami bahwa ia bukan hanya lanskap; ia juga rumah bagi makhluk-makhluk yang sudah lebih dulu tinggal di sini. []


I Komang Gde Subagia | Gayo Lues, Desember 2024

Terkait:
Leuser (Bagian 13: Loser dan Leuser)