Di dalam sebuah warung, di tepi Jalan Raya Kuta Panjang, saya dan Irpan menikmati sarapan pagi. Sepiring lontong sayur terenak yang pernah saya rasakan. Saya bahkan nambah satu porsi lagi, lengkap dengan sebutir telur dan sayur nangka yang menggugah selera. Berhari-hari di hutan, lidah seperti menari-nari bertemu makanan rumahan lagi.
Jemputan Lebih Awal
Baru saja selesai menyesap teh hangat, di mana gelas teh itu masih terisi lebih dari setengah alias belum habis, telepon Irpan berbunyi. "Oh, iya. Siap! Segera!" jawabnya pada yang menelepon.
Kemudian saya ketahui bahwa si penelepon adalah Adul. Kabarnya, mobil travel yang kami pesan semalam sudah datang menjemput. Sudah menunggu saya dan Irpan di depan rumah singgah. Wah! Cepat benar. Padahal saya berharap jemputan itu datang agak siang, biar bisa santai dulu.
Kami pun menyudahi sarapan, lalu memacu motor—motor yang sebelumnya saya pinjam dari Zulfadli—menyusuri jalanan menuju Kedah. Sesekali jalan itu dilintasi kawanan domba dan kerbau. Saya jadi berpikir lagi tentang hal-hal perhewanan serta ketertiban umum seperti ini.
Kenapa warga membiarkan hewan-hewan peliharaan mereka berkeliaran, bahkan hingga ke jalan raya? Tak jauh berbeda seperti di Dompu, sewaktu saya ke Tambora dulu. Banyak sapi, kerbau, dan kuda di jalanan. Rasanya itu berbahaya sekali, apalagi di waktu malam. Jika tak awas, kita bisa celaka menabraknya. Entahlah.
Ke Takengon
Setibanya di rumah singgah, sebuah minibus tua tampak ngetem di depannya. Kendaraan itulah yang akan membawa saya dan Irpan. Sesuai rencana, kami berdua akan ke Takengon, sebuah kota di Kabupaten Aceh Tengah yang masih menjadi bagian dari Dataran Tinggi Gayo.
Ada apa di sana? Yang terkenal dari kota itu adalah kopi. Biji-biji kopi gayo terbaik yang mendunia, konon datangnya dari sana. Selain itu, ada pula Danau Laut Tawar, danau terluas di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.
Semalam, saat berbincang tentang rencana ke Takengon, saya diinformasikan bahwa untuk ke kota itu bisa menggunakan pesawat perintis. Berangkatnya dari lapangan terbang di Blangkejeren. Hanya saja, penerbangan ke Takengon hanya ada dua kali seminggu. Sebenarnya pas dengan hari keberangkatan saya.
Tapi saya memilih jalur darat saja, biar lebih meresapi suasana perjalanan. Lagi pula, selisih waktunya tak seberapa. Jika lewat darat, butuh 5–6 jam. Sedangkan lewat udara, butuh 2–3 jam. Itu pun belum dihitung tetek bengek check-in, proses masuk dan keluar bagasi, dan sebagainya. Tapi jika ingin ke Banda Aceh yang lebih jauh di ujung utara Sumatra, naik pesawat menjadi pilihan paling tepat kalau ingin cepat.
Perpisahan dan Perjalanan Dimulai
Saya dan Irpan pun memasukkan barang bawaan ke dalam bagasi minibus. Untung saja kami sudah selesai berkemas sejak semalam, sehingga tak perlu buru-buru ketika dijemput lebih awal.
Ketika sudah duduk di dalam kendaraan, ada rasa haru melihat kembali rumah singgah Leuser Mentalu yang akan saya tinggalkan. Padahal baru dua kali saja saya bermalam di sana. Mungkin karena rumah itu menjadi harapan dan titik kembali untuk pulang, saat saya berhari-hari berada di pedalaman hutan Pegunungan Leuser.
"Jangan ada yang ketinggalan, ya!" pesan Dulah saat kendaraan mulai bersiap untuk berangkat. "Nanti jauh soalnya, kalau mau balik ambil lagi," sambungnya sambil senyum ditemani Mister Natsir, Anwar, dan Zulfadli. Mereka pun melambaikan tangan, melepas kepergian saya bersama Irpan.
Sementara Adul dan tim pendukung Shelter Garut terlihat sibuk berkemas. Mereka juga akan meninggalkan Leuser Mentalu, hanya saja berbeda tujuan dan rencana dengan saya. "Hati-hati, Bli! Pan! Sampai ketemu di trip lain," kata Adul sambil melambaikan tangan. Lalu minibus pun melaju pelan.
Ternyata, kami dijemput lebih awal karena sang sopir masih perlu keliling seputaran Kuta Panjang dan Blangkejeren, menjemput penumpang. Pantas saja hanya saya dan Irpan yang jadi penumpangnya. Walaupun beberapa lama kemudian, satu demi satu penumpang lain naik.
Terakhir, minibus berhenti cukup lama di Terminal Blangkejeren. Sopir berganti. Yang akan mengemudikan kendaraan ke Takengon berbeda; yang tadi hanya bertugas menjemput penumpang saja. Baiklah. Cukup membosankan juga keliling-kelilingnya, hingga perjalanan sebenarnya ke Takengon akhirnya dimulai.
Di Kursi Samping Pak Sopir
Saya dan Irpan tetap melanjutkan duduk di kursi bagian depan, dengan tujuan supaya lebih leluasa melihat pemandangan.
Badrun, sang pengemudi—lelaki usia paruh tiga puluhan yang ramah—terlihat begitu lihai mengendalikan setir. Semua tanjakan, turunan, dan tikungan dilahapnya dengan sigap. Ia seolah hapal di mana harus ngegas atau ngerem supaya kendaraan yang dikendalikannya tetap stabil.
Mengalun kencang dari speaker mobil yang terhubung dengan telepon genggamnya, lagu-lagu berbahasa Gayo bernada gembira terdengar membahana, hingga terasa sedikit bising.
Sebuah gelang tridatu terpasang di pergelangan tangannya, membuat saya penasaran. Itu gelang dari benang berwarna merah, hitam, dan putih; yang biasanya dipakai orang Bali. Usut punya usut, ia pernah ke Bali dan terkesan dengan pengalamannya selama di Pulau Dewata.
"Saya suka aja dengan Bali, Bang. Ini kan gelang khas yang disucikan. Saya pakai buat kenang-kenangan," katanya ketika saya tanyai perihal tridatu tersebut. "Pengen lagi ke sana," sambungnya.
Berdasarkan ceritanya, selain di Bali, ia sempat bekerja di Medan sebelum kembali kampung halamannya di Blangkejeren, untuk berprofesi sebagai pengemudi travel yang pergi-pulang ke Takengon.
Makan Siang yang Nikmat
Saat tengah hari, kantuk saya buyar ketika Badrun menepi di depan sebuah warung. "Ayo, Bang! Kita istirahat makan dan ngopi dulu," serunya.
Maka saya, Irpan, dan para penumpang lain pun turun. Lalu menuju ke etalase menu makanan. Lagi dan lagi, ada yang terasa sedikit aneh. Makan siang dengan menu ayam gulai, telur balado, dan sayur nangka—yang harusnya mungkin biasa saja—terasa sangat nikmat.
"Mungkin ada bumbu ganjanya, Bli!" bisik Irpan iseng. "Hah! Masa sih?" jawab saya kaget. "Soalnya, gue juga ngerasa enak terus tiap kali makan," sambungnya lagi sambil tertawa, kemudian meraih secangkir kopi panas yang dihidangkan pramusaji.
Memang benar, Dataran Tinggi Gayo terkenal sebagai penghasil ganja terbaik, seperti yang sudah saya ceritakan di bagian lain kisah perjalanan ini: Renungan Api Unggun. Begitu juga berbagai kabar burung yang mengatakan bahwa ganja merupakan bumbu yang lumrah digunakan sebagai penyedap rasa pada masakan.
Tapi apa iya, sarapan dan makan siang saya, betulan bercampur daun surga tersebut? Atau kenikmatan makan kami ini disebabkan karena tubuh yang dalam proses pemulihan, akibat kelelahan mendaki gunung, sehingga nafsu makan jadi menggila dan makanan apa pun akan terasa sangat enak?
Kami tak mencari tahu jawabnya. Tentu saja karena tak etis menanyakan pada pemilik warung, jika ada ganja atau tidak dalam bumbu makanan.
Lagi pula, Badrun sudah memberi tanda pada kami supaya bersiap untuk berangkat. Setelah membayar makanan, ke kamar kecil, dan memastikan tak ada yang ketinggalan, kami pun masuk minibus yang kemudian bergerak meninggalkan parkiran rumah makan.
Hutan Pinus
Kendaraan meliuk-liuk melalui jalanan yang tepi kanan maupun kirinya bergantian jurang dalam serta tebing bebatuan curam, yang di beberapa titik tampak longsor. Hutan yang awalnya hijau ditumbuhi pepohonan beragam, kini berubah menjadi pohon-pohon pinus semata. Terlihat indah, seperti pemandangan di luar negeri, tapi membuat saya bertanya-tanya tentang keseragamannya itu.
Sebagian hutan di sepanjang jalan yang menghubungkan Blangkejeren dan Takengon adalah bagian dari Taman Nasional Gunung Leuser. Jika puluhan kilometer sepanjang jalan begini pohon pinus semua, maka sepertinya bukan bagian taman nasional lagi.
Kata Badrun, "Dulu hutan ini diambil kayunya, kemudian diganti dengan pinus. Milik Prabowo. Begitu yang saya dengar."
Nama yang disebut itu membuat saya mengernyitkan dahi. Maksudnya jelas, itu adalah nama Presiden Indonesia sekarang. Apakah benar demikian, saya menyimpannya saja dalam hati sebagai awal informasi, untuk kemudian mencari tahu kesahihannya nanti.
Ternyata benar. Dari berbagai artikel di internet, Prabowo Subianto dikatakan secara sah menguasai seratus dua puluh ribu hektar lahan di Aceh, melalui sebuah perusahaan bernama Tusam Hutani Lestari. Penguasaan terjadi sejak krisis moneter, sekitar 1997–1998, ditegaskan pula oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh di sebuah media daring.
Melihat pinus di sepanjang mata memandang, saya jadi ingat orang utan saat pendakian hari pertama ke Leuser. Juga ingat akan harimau, kijang, gajah, badak, siamang, dan lain-lain. Tak mungkin hewan-hewan itu bisa hidup di hutan-hutan pinus yang miskin keanekaragaman hayati. Mau makan apa? Tak mungkin mereka bisa makan getah pinus.
Tiba di Takengon
Hingga beberapa jam kemudian, sore pun menjelang. Danau yang saya pastikan adalah Laut Tawar mulai terlihat dari sudut jendela kendaraan yang sempit. Pemandangan perairan itu timbul tenggelam di balik semak-semak pinggir jalan yang memagari kebun-kebun kopi.
Rumah-rumah warga perlahan-lahan mulai makin banyak dilewati. Biji-biji kopi tampak dijemur di halaman dan depan pintu masuk pekarangan. Pemandangan itu menandakan bahwa Kota Takengon yang menjadi tujuan kami sudah makin dekat. "Sepuluh menit lagi sampai," kata Badrun. Tak lama sesudahnya, kami pun diantar ke sebuah penginapan.
Udara dingin datang menyergap begitu saya turun dari dalam minibus. Aroma kopi yang sedari tadi terhirup masih terasa, kadang jelas kadang samar. Sepertinya, Takengon telah menunggu untuk dijelajahi dan dipahami. Waktu yang saya miliki tak banyak, semoga saja kota di pegunungan ini bisa memberi tambahan rasa dan cerita, yang bisa saya simpan lama dalam ingatan. []
I Komang Gde Subagia | Gayo Lues - Aceh Tengah, Januari 2025
Comments
Post a Comment
Comment