"Gas Agung minggu depan?" begitu kisah pendakian saya kali ini bermula. Pesan pendek itu berkali-kali masuk di Whatsapp. Datang dari Ufo. Menyiratkan keinginannya yang menggebu untuk menyambangi gunung, yang dalam tradisi lisan serta prasasti-prasasti tua, selalu disebut sebagai: Giri Tohlangkir.
Ufo, yang dimaksud di sini bukan piring terbang atau objek misterius di angkasa, melainkan nama teman saya. Itu panggilannya, dari nama aslinya: I Gusti Ngurah Bagus Dwiana Putra. Saya kurang tahu bagaimana ia mendapatkan julukan itu. Sejak awal mengenalnya di masa kuliah hingga sekarang, saya dan hampir semua orang yang mengenalnya, memanggilnya demikian.
Berminggu-minggu sebelumnya, Ufo telah meminta saya menemaninya mendaki gunung tertinggi di Bali ini. Saya yang biasanya sibuk setiap akhir pekan akhirnya menyanggupinya tempo hari. Padahal sejak dulu saya sudah menyarankan agar ia menggunakan jasa pemandu dan porter lokal saja. Atau setidaknya ikut open trip, yang pilihannya beragam. Saya jamin, ia pasti bisa sampai puncak dan pulang dengan selamat.
Tapi ia kekeuh harus ke Gunung Agung dengan saya. Apa sebab? Katanya, bayar pemandu dan porter itu mahal. Begitu juga jika ikut open trip—apalagi private trip—lebih mahal lagi. Kalau dengan saya: gratis. Sialan! Tapi ya sudahlah, sebagai teman yang baik hati dan suka menabung, apa sih yang tidak untuk dia, yang sehari-hari sibuk jadi bankir di kantor dan ngempu di rumah?
***
Awalnya saya mengajaknya tektok, alias naik-turun gunung dalam sehari. Alasannya sederhana: biar hemat waktu. Jadi mendakinya cukup di hari Sabtu atau Minggu saja. Tapi Ufo tidak mau. Ia ingin ngecamp, menginap semalam di tenda sebelum lanjut ke puncak.
Artinya, kami butuh waktu dua hari. Tektok memang lebih melelahkan karena perjalanannya harus cepat, bahkan kadang diisi dengan berlari. Ia khawatir tak sanggup melakukannya. Itu pula yang membuatnya ragu ikut open trip: takut tertinggal rombongan.
Ngomong-ngomong soal mendaki tektok atau ngecamp, keduanya punya kelebihan dan kekurangan. Kalau tektok, ya itu tadi: cepat dan hemat waktu. Tak butuh banyak peralatan dan logistik; perlengkapannya sederhana. Tapi stamina harus kuat. Karena ritmenya cepat, kita jadi tak sempat menikmati perjalanan.
Sementara kalau ngecamp, kebalikannya: lebih santai. Waktu yang diperlukan lebih lama. Kita bisa menikmati malam di tenda, misalnya sambil ngopi memandangi bintang-bintang atau lampu-lampu kota di bawah sana.
***
Kami mendaki hanya berdua: saya dan Ufo. Dua orang teman satu geng batal ikut dengan berbagai alasan. Daripada harus mengatur ulang jadwal, atau nanti malah terhalang musim penghujan, atau mungkin gunungnya ditutup karena ada upacara; kami gas saja.
Toh nantinya kami tak benar-benar sendirian di gunung. Ada banyak pendaki, baik lokal maupun mancanegara, yang kami temui dalam perjalanan. Saya juga bertemu teman SMA yang mendaki bersama keluarganya, serta beberapa rekan dari Bali Trail Running yang melakukan trail run dari berbagai titik awal pendakian.
Kami mendaki dari Taman Edelweis Banjar Temukus di sisi barat daya gunung, basecamp yang dikelola oleh Pokdarwis setempat. Selain Taman Edelweis, ada banyak titik awal pendakian lain: Pura Pengubengan (yang hanya berbeda satu lembahan), Pasar Agung di selatan (jalur terpendek), Puregai dan Pucang di barat (jalur lomba BTR Ultra), serta Nangka dan Kedampal di sisi timur (tapi tak mencapai puncak tertinggi).
***
Karena di Gunung Agung minim air, kami membawa bekal cukup banyak: enam botol air mineral besar, dua botol tanggung, serta water bladder tiga liter yang penuh. Ditambah tenda, perlengkapan tidur, alat masak, dan logistik, bawaan kami lumayan menjadi berat sekali.
Sanggupkah kami membawanya? Sanggup, dong. Tapi kami memilih menggunakan jasa porter yang akan membawa perlengkapan sekaligus memasang tenda di Pos 5—titik camp yang biasa digunakan pendaki untuk beristirahat.
Bapak porter, yang bernama Mangku Karta ini, hanya kami minta membantu satu hari saja. Setelah barang-barang kami tiba di Pos 5, ia akan turun kembali. Saat turun nanti, kami akan membawanya sendiri. Air dan logistik pasti jauh berkurang, otomatis akan jadi lebih ringan.
***
Pagi itu, setelah sarapan nasi bungkus dan segelas teh manis, kami mulai melangkahkan kaki. Melewati Embung Besakih atau kolam penampung air bagi para petani setempat, lalu menyusuri persawahan dan beberapa rumah warga di Temukus sebelum benar-benar memasuki hutan pegunungan.
Langit berawan serta angin dingin khas pegunungan terus berhembus, sehingga hari tak menjadi begitu panas.
Oh ya, ada satu hal lucu dalam pendakian ini. Entah kenapa, saya sering disangka pemandu gunung dari luar desa.
“Berapa bawa tamu, Bli?” begitu beberapa porter lokal menyapa saya.
Hadeuh! Mungkin tampang saya memang bukan tampang wisatawan. Atau mungkin Ufo terlalu 'elit' di mata mereka? Dan ini bukan pertama kalinya, sering juga saat makan di suatu restoran bersama istri, saya dikira sopir Grab pengantar pengunjung, oleh satpam yang berjaga.
***
Dari Taman Edelweis, sebenarnya ada ojek yang bisa mengantarkan kami. Tapi kami lebih memilih jalan kaki. Setahu saya dari pendakian sebelumnya, jarak yang ditempuh ojek hanya sekitar satu kilometer, sampai tepi hutan.
Tapi ternyata saya salah. Kini ojek sudah bisa mencapai Pos 1, pos di tengah hutan yang jaraknya sekitar tiga kilometer dari basecamp.
Jujur saja, saya sedih melihat ojek-ojek merangsek jauh ke dalam hutan seperti ini. Lalu-lalang mereka merusak jalur pendakian. Setapak yang dulu kecil dan alami kini makin lebar dan terbuka. Jejak ban membentuk selokan licin, dan ketika sudah sulit dilewati, para tukang ojek itu membuat jalur baru di sampingnya. Jalur yang rusak pun makin rusak lagi.
Lagi pula, kalau kita mendaki gunung untuk melebur dengan alam, kenapa harus naik ojek? Kalau takut capek, ya tiduran di rumah saja.
Ojek ada karena ada permintaan. Kalau bukan para pendaki yang menggunakan jasa mereka dan menjadikannya kebiasaan, tentu ojek tak akan masuk jauh ke hutan.
Memang, ojek memberikan manfaat ekonomi. Tapi kita harus ingat, kebutuhan ekonomi harus seimbang dengan kepentingan lingkungan. Kelompok sadar wisata Taman Edelweis sebenarnya sudah cukup memberdayakan warga sebagai pemandu dan porter, pemilik warung, penyedia jasa kamar mandi serta tempat istirahat di basecamp. Juga adanya donasi dan pungutan legal untuk keperluan desa dan kawasan setempat.
Ojek sampai batas hutan masih bisa dikompromikan. Tapi masuk jauh ke kawasan yang seharusnya dilindungi? Itu sudah berlebihan.
***
Perjalanan saya dengan Ufo berlangsung santai. Malah bisa dibilang lambat. Setelah melewati Pos 1, beberapa tim pendaki yang berangkat belakangan sudah mendahului kami. Salah satunya teman SMA saya, Agustiari, yang mendaki bersama suami dan anak-anaknya.
Saat berpapasan, ia tak langsung mengenali saya. Haha! Setelah saya ingatkan, barulah ia sadar. Jadilah reuni kecil di jalur pendakian, dengan sedikit basa-basi menanyakan kabar masing-masing.
Di jalur Edelweis ini, ada beberapa pondok bertiang kayu dan beratap seng yang disebut pos. Dari Pos 1 sampai Pos 4 semuanya memiliki pondok seperti ini, yang bisa digunakan untuk berteduh. Hanya Pos 5 yang tidak, tapi areanya luas sehingga biasa dijadikan tempat mendirikan tenda. Dari Pos 5 inilah pendaki biasanya melanjutkan perjalanan ke puncak setelah istirahat semalam. Seperti yang kami lakukan.
***
Saat tiba di Pos 5, tenda kami sudah terpasang dan siap ditempati. Mangku Karta bahkan sudah turun lebih awal. Kami berpapasan di jalur.
Ufo sedikit kesal karena menurutnya si Bapak porter seharusnya menunggu kami seperti perjanjian. Tapi tak apa, yang penting tugasnya sudah beres: membantu membawa beban dan menyiapkan tempat bermalam.
Cuaca masih panas sehingga istirahat di dalam tenda terasa pengap. Saat saya leyeh-leyeh di bawah rindang pohon sambil menikmati camilan, seekor monyet mendekat, mengintip, mencari celah jika saya lengah. Saya pun buru-buru kembali ke tenda dan mengamankan barang-barang.
Kalau sang primata berekor panjang itu hanya mengambil sedikit makanan sih, tak apa. Tapi kalau yang diambil kacamata, dompet, ponsel, atau kamera? Repot.
Beberapa jam kemudian, saat kabut turun menutupi panas matahari sore, saya mulai memasak air. Oh ya, walaupun membawa sedikit beras, kami tidak memasaknya. Entahlah, makan roti saja sudah cukup mengenyangkan.
Kami menyeruput teh hangat dan makan kacang kulit sambil ngobrol soal cita-cita Ufo: mendaki Rinjani suatu hari nanti.
Dan ketika malam turun, dingin makin menusuk. Tapi itu tak jadi masalah, jaket dan tenda memberikan cukup kehangatan. Lampu-lampu desa dan kota di sisi selatan Pulau Bali tampak berkerlap-kerlip.
Suasana di sekitar kami cukup ramai karena banyak pendaki lain. Satu dua dari mereka menyalakan speaker yang mengalunkan musik, entah mengganggu, entah tidak. Lagunya ternyata enak terdengar di telinga.
Ya, walaupun di hutan, kami tidak kesepian.
***
Pukul tiga pagi pun tiba. Kami bersiap. Sarapan roti dan biskuit, membawa minuman hangat, mengenakan jaket windbreaker, bandana, sarung tangan, dan senter kepala. Saya juga membawa daypack berisi perlengkapan tektok lengkap: flysheet, jas hujan, survival blanket, lilin, korek api, kotak obat, kompas, peluit, webbing, dan lain-lain.
Patut diingat, bahwa mendaki dengan perlengkapan minimal tetap harus memperhatikan peralatan wajib. Sekenal-kenalnya kita dengan gunung dan medannya, kita tak boleh meremehkannya.
Peralatan itu mungkin saja tak terpakai. Bisa jadi hanya menambah beban. Tapi lebih baik membawanya daripada menyesal saat kondisi darurat dan kita terdesak membutuhkannya.
***
Dalam pekat malam, saya dan Ufo mulai mendaki perlahan. Walau gelap, terjalnya jalur tak bisa disembunyikan. Belum satu kilometer, Ufo sudah pesimis dengan cita-citanya yang dibicarakan kemarin.
“Letter E di Rinjani lebih berat dari ini ya, Jor?” tanyanya ragu.
“Semangat, Fo!” saya menyemangatinya sambil tertawa.
Satu per satu beberapa pendaki dari rombongan lain, yang tadi jauh di belakang, mulai mendahului kami.
Kami melewati titik pertemuan Jalur Taman Edelweis dengan Pengubengan, lalu Simpang Jodoh yang mempertemukan dengan Jalur Puregai. Pepohonan mulai tak ada lagi. Hanya bebatuan, kerikil, dan pasir.
Puncak pertama Gunung Agung mulai terlihat. Ufuk timur perlahan memerah dan menguning, langit pun beranjak terang. Walau niat menunggu sunrise di puncak tak kesampaian, pemandangan jalur menuju titik tertinggi itu tetap menawan.
Awan-awan berarak di bawah, bayangan segitiga gunung di barat seperti piramida raksasa yang perlahan berubah ukuran. Kami sampai di Puncak Pertama, sisi barat Gunung Agung. Dari sini, pesisir utara Pulau Bali mulai tampak jelas.
Jika mendaki dari Pucang, jalurnya akan bertemu di sini. Setelahnya ada punggungan panjang dengan kemiringan kiri dan kanannya yang terjal. Dulu disebut "bangkiang jaran" alias punggung kuda. Entah sejak kapan, kini lebih dikenal sebagai “punggung naga”.
***
Ketika langit benar-benar terang, keramaian mulai terlihat menjelang Puncak Gunung Agung. Pendaki dari berbagai jalur bertemu di sini. Setelah berjalan ratusan meter menyusuri punggungan yang ikonik dan berbahaya jika badai datang, kami tiba di puncak tertinggi: tepian kawah gunung dengan bebatuan, pasir, dan asap tipis mengepul.
Rasanya ngeri-ngeri sedap berdiri di dekatnya. Akhirnya, kami berhasil. Ufo pun gembira: ia telah mencapai atap Pulau Bali.
Seteguk dua teguk teh manis hangat rasanya berharga sekali, ketika diminum saat duduk dihembus angin yang dingin di sela bebatuan. Setelah mengabadikan momen di puncak, tugas berikutnya menanti: turun ke tenda dan kembali pulang.
Ya, begitulah pendakian gunung. Puncak memang menjadi target, tetapi pulang dengan selamat tetaplah tujuan yang paling utama. Bravo! Selamat dan sukses, Fo! []
I Komang Gde Subagia | Denpasar, Oktober 2025
Comments
Post a Comment
Comment