Angin berhembus cukup kencang. Langit di ufuk timur yang tadinya gelap perlahan memerah. Lampu-lampu senter para pendaki tampak berpendaran. Saya telah berdiri di punggungan utama puncak tertinggi di Pulau Bali: Gunung Agung, atau yang di masa lalu dikenal sebagai Giri Tohlangkir.
Ia yang Disucikan
Gunung berjenis stratovolcano berketinggian 3.142 meter di atas permukaan laut ini berlokasi di Kabupaten Karangasem. Tercatat pernah mengalami letusan dahsyat dengan banyak korban jiwa pada tahun 1963, serta erupsi besar yang mengalirkan pasir dan lahar dingin hingga ke pesisir selatan pada tahun 2018 lalu. Kini, saya menyambanginya.
Berbicara tentang gunung ini, dalam berbagai lontar penting di Bali selalu disebutkan nama masa lalunya. Juga tentang semua raja di Bali dari masa ke masa—mulai dari periode Bali Kuno, Gelgel, hingga Klungkung—menjunjung penuh rasa bakti dan hormat tertinggi kepada Batara Tohlangkir, dewata tertinggi yang bertahta di gunung tertinggi pulau ini.
Lalu, kenapa disebut Tohlangkir? Karena itu adalah nama suci, sebutan penuh hormat yang tidak sembarangan, hanya dipakai untuk menyebut tempat bersemayam dewata tertinggi: Mahadewa. Bagi para raja atau orang suci, menyebut langsung nama dewa dianggap jabag alias tidak sopan. Masyarakat Bali diajari untuk tidak sembarangan menyebut nama batara atau dewa secara langsung dalam percakapan sehari-hari.
Sama seperti menyebut nama orang tua di masa lalu—baik ayah, ibu, maupun kakek-nenek—menyebut nama mereka dianggap sangat tidak hormat. Dipercaya bisa tulah atau kena kutuk. Apalagi menyebut nama dewata. Karena itulah gunung tertinggi di Bali, yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya dewata tertinggi, disebut demikian: Giri Tohlangkir.
Pada masa lalu, selalu disebut sebagai Giri Tohlangkir.
Bersama Teman-teman Baru
Saya mendaki gunung kali ini bersama empat orang teman baru: Abe dari Balikpapan, Deny dari Tabanan, serta Agus dan Dwi dari Badung. Kami ditemani seorang pemandu dari Klungkung: Kadek Yuda, serta seorang porter lokal dari Taman Edelweis Temukus—jalur pendakian yang kami gunakan—yang bernama Wayan Sudar.
Ini adalah perjalanan saya menggunakan jasa perjalanan terbuka alias open trip. Penyedia jasanya bernama Raja Rimba, di mana Kadek Yuda sebagai salah satu pemilik usaha. Saya mengetahui dan memilih layanannya dari unggahan di media sosial. Karenanya, semua nama yang saya sebutkan tadi adalah orang-orang yang baru saya kenal.
Kegiatan mendaki gunung, baik di Bali maupun di Indonesia pada umumnya, beberapa tahun belakangan memang makin populer. Inilah yang mendorong saya memanfaatkan jasa wisata seperti ini, yang jumlahnya ada banyak dan beragam. Apalagi jika keinginan mendaki datang dari diri sendiri, tanpa teman. Dengan ikut open trip, masalah itu pun terselesaikan. Sangat jauh berbeda dengan dulu, tak ada teman menjadikan kita sangat susah untuk bisa berangkat.
Dua Puluh Tahun Sebelumnya
Dua puluh tahun sebelumnya, saya pernah mendaki gunung ini bersama teman-teman kuliah. Saat itu adalah libur akhir pekan, ketika kami semua sedang menjalani magang di berbagai kantor Telkom di Bali. Mereka yang mendaki bersama saya waktu itu antara lain: Kake, Yoga, Gabe, Kiko, Irving, Febri, dan beberapa teman lain yang saya lupa namanya.
Bedanya, dulu kami mendaki dari Pura Besakih, melintasi kompleks pura, lalu melalui setapak kecil yang tembus ke Pura Pengubengan—titik awal pendakiannya yang sekarang. Jalur dari Pengubengan ini hanya terpisah satu lembahan dengan jalur dari Taman Edelweis. Waktu itu, jalur dari Taman Edelweis—yang kini paling populer—belum ada sama sekali.
Karena melalui kompleks pura, beberapa dari kami yang memang orang Bali menyempatkan diri ngaturang bakti di Pura Penataran Agung. Ini adalah pura utama. Biasanya jika sedang ada upacara, doa dilakukan di pura-pura yang sesuai soroh atau garis keturunan. Hanya saja, supaya tidak berlama-lama karena kami harus segera mendaki, kami berdoa cukup di pura utama saja untuk memohon keselamatan. Juga sebagai simbol penghormatan pada gunung yang akan kami daki.
Pendakian saya pada tahun 2003 lewat Jalur Besakih / Pengubengan.Misteri Pergantian Nama
Berbicara tentang penamaan gunung ini—yang dulu bernama Giri Tohlangkir dan sekarang dikenal dengan Gunung Agung—menyisakan teka-teki tersendiri bagi saya. Nama resmi geografis atau toponimi yang diakui nasional saat ini adalah Gunung Agung, bukan Tohlangkir. Tak ada catatan pasti yang menerangkan tentang perubahan itu.
Dulu, di Uni Soviet, yang sekarang adalah Rusia, memiliki sebuah kota bernama Saint Petersburg. Ketika kekuasaan politik berganti, kota itu diganti namanya menjadi Leningrad. Lalu karena pergantian kekuatan politik pula, di kemudian hari namanya kembali menjadi Saint Petersburg.
Di wilayah timur Indonesia terjadi hal serupa. Pada masa pemerintahan Soekarno dan Soeharto, wilayah itu disebut Irian, yang konon diartikan sebagai “Ikut Republik Indonesia Anti Netherlands”. Ketika reformasi terjadi dan Gus Dur menjadi presiden, namanya dikembalikan menjadi Papua.
Namun berbeda dengan Saint Petersburg dan Papua, Gunung Tohlangkir yang berubah menjadi Gunung Agung tetap demikian hingga kini. Tak ada informasi akurat tentang alasan perubahan itu. Mungkin memang ada kekuatan politik yang memengaruhinya, entah apa tepatnya.
Tohlangkir adalah kosa kata Bali Kuno, berasal dari bahasa Sanskerta, artinya Mahadewa, dewa tertinggi, seperti yang sudah saya tuliskan sebelumnya. Sedangkan Agung adalah kosa kata bahasa Indonesia yang berarti besar, luhur, atau mulia. Keduanya memiliki makna yang mirip, tetapi tidak sama.
Sayang sekali, pengetahuan tentang alasan perubahan itu tak tercatat dalam media apa pun. Pelaku sejarah yang lupa? Atau sengaja tak dicatat supaya tak dibahas? Atau penamaan itu dianggap tidak penting? Atau mungkin kita saja yang belum menemukannya? Yang pasti, sampai saat ini informasi itu seperti mata rantai yang hilang.
Tohlangkir mungkin berbeda nasib dengan Saint Petersburg atau Papua. Kini rasanya tak ada kepentingan politik apa pun yang membuat seseorang ingin mengubahnya kembali. Lagi pula, apa untungnya? Yang ada mungkin malah menimbulkan keributan baru. Apa pun nama yang disematkan, esensinya bagi masyarakat Bali tetap sama: ia adalah gunung yang menjadi hulu, yang disucikan dan dihormati hingga kini.

Teman-teman Sependakian
Dari seluruh peserta pendakian, hanya Abe yang bukan orang Bali. Ia satu-satunya perempuan di antara kami bertujuh, tetapi justru yang paling kuat. Asalnya dari Makassar, namun tinggal di Balikpapan. Ia istri seorang polisi dan ibu dari dua anak.
Abe gemar berlari. Ia mendaki Gunung Agung kali ini karena “kabur” dari acara Maybank Bali Marathon. Ia sudah mendaftar lomba, tetapi memilih tidak ikut demi mendaki Gunung Agung. “Yang penting dapat jerseynya saja, sudah cukup,” katanya sambil tertawa.
Sementara Deny adalah seorang pelaut, pekerja di kapal pesiar yang sedang masa liburan. Ia sudah banyak mendaki gunung di Bali. Ia tertarik dengan aplikasi Gaia GPS yang saya tunjukkan kepadanya. Ia yang belum mahir navigasi bercerita bahwa pernah tersesat ketika mendaki Gunung Sanghyang di Tabanan.
Lalu ada Agus dan Dwi. Saya tidak banyak berbincang dengan keduanya. Yang saya tahu, mereka sama-sama bekerja di bidang perhotelan di Canggu. Hari pertama pendakian ini mereka libur. Esok sore mereka sudah harus kembali ke hotel karena jadwal kerja menunggu.
Kadek Yuda, sang pemandu, sempat kaget ketika mengetahui perbedaan usianya dengan saya cukup jauh. “Waktu itu saya masih bayi, Bli,” katanya sambil tertawa, ketika tahu saya sudah mendaki Gunung Agung pertama kali pada tahun 2003.
Sementara Wayan Sudar, sang porter, tidak berangkat bersama kami. Ia sudah lebih dulu melesat menuju Pos 5—tempat para pendaki biasanya bermalam sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak. Saat kami tiba, tenda sudah terpasang dan siap ditempati berkat tangannya yang terampil.
Ojek di Gunung
Saya, Deny, dan Abe berjalan di barisan depan, disusul Kadek Yuda yang menemani Agus dan Dwi. Beberapa tukang ojek menawari tumpangan ketika kami baru melangkah. Namun karena jaraknya hanya sekitar dua kilometer sampai batas hutan, kami memilih berjalan kaki saja.
Baru tiga bulan sebelumnya saya menulis pendapat menentang fasilitas ojek di jalur pendakian Gunung Argopuro. Kini saya menemukannya lagi di Agung. Entah kenapa, seiring meningkatnya jumlah pendaki, hampir semua gunung di Jawa dan Bali kini menyediakan ojek di titik awal pendakian.
Tak jarang, jalur yang dilalui sepeda motor menjadi makin rusak, terbuka, dan bising oleh raungan mesin. Jika benar kita ingin mendaki, seharusnya kita siap berjalan kaki jauh. Menikmati setiap proses perjalanannya, bukan sekadar cepat sampai di puncak dengan naik ojek, lalu berfoto.
Suasana di Sepanjang Jalur
Pendakian kami dimulai cukup siang, sekitar pukul sepuluh pagi. Tiba di Pos 1 menjelang tengah hari. Di pos ini terdapat pondok sederhana bertiang batang pohon dengan atap seng, serta tempat duduk dari batang-batang kayu yang disusun rapi.
Kami makan siang di sana: nasi bungkus berisi ayam goreng, telur dadar, sayur buncis, sambal terasi, dan sebuah jeruk segar. Walaupun belum begitu lapar, saya menyantapnya dengan nikmat. Mengisi tenaga untuk melanjutkan perjalanan ke Pos 5.
Hutan di sepanjang jalur cukup meneduhkan perjalanan kami di bawah cuaca panas. Vegetasi di Gunung Agung didominasi perdu dengan pepohonan besar yang makin jarang seiring bertambahnya ketinggian. Sangat berbeda dengan hutan-hutan pegunungan Bali bagian tengah seperti di Batukaru dan sekitarnya.
Pukul empat sore kami tiba di Pos 5. Sore yang belum terlalu sore, tapi udara masih panas. Tempat untuk mendirikan tenda di pos ini cukup banyak, namun sempit-sempit karena berupa terasering buatan pokdarwis Taman Edelweis, bukan dataran alami.
Musim kemarau membuat debu berterbangan. Sedikit saja melangkah, debu berhamburan, sepatu dan celana bagian bawah langsung menjadi tebal kecokelatan. Namun pemandangan di depan tenda menawan: matahari terbenam di balik lautan awan.
Menuju Puncak
Pukul tiga pagi hari berikutnya, kami melanjutkan perjalanan setelah beristirahat semalaman di tenda. Menembus gelap dengan lampu senter di kepala. Juga dengan jaket, sarung tangan, serta penutup kepala penahan angin.
Di sebuah titik terbuka terdapat bebatuan besar yang membentuk cerukan luas. Setahu saya, tempat itu disebut Boyke. Saya tidak tahu asal-usul nama itu. Yang saya ingat, ketika mendaki dari Besakih dulu, saya dan teman-teman juga bermalam di sana.
Kini saya kembali berada di tempat itu. Kadek Yuda mengajak beristirahat sejenak di celah raksasa tersebut, berlindung dari angin yang menusuk dingin. Api kecil dibuat dari ban bekas dan ranting-ranting kering di sekitar kami.
Beberapa pendaki datang, beristirahat sebentar, lalu melanjutkan perjalanan. Sementara di atas sana, kerlip lampu senter tampak berpendaran, menandakan banyak pendaki sedang menuju puncak.
“Kita menunggu sunrise di Puncak Pertama saja, ya,” ajak Kadek Yuda. Puncak Pertama, meski bukan yang tertinggi, memang tempat terbaik menyaksikan matahari terbit. Setelah cukup beristirahat di Boyke, perjalanan kami lanjutkan.


Tiga Puncak
Gunung Agung atau Giri Tohlangkir memiliki beberapa puncak. Dari jalur Taman Edelweis maupun Pura Besakih atau Pengubengan, pendaki akan melewati Puncak Pertama lebih dulu. Dua jalur lain dari arah barat—yaitu dari Puregai dan Pucang—juga akan bertemu di jalur yang sama.
Dari Puncak Pertama, jalur menyusuri “bangkiang jaran” atau “punggung kuda”, yang kini lebih dikenal sebagai “punggung naga”, punggungan panjang dengan sisi kanan kiri yang curam. Jika cuaca buruk, jalur ini sangat berbahaya. Saya teringat, beberapa tahun lalu ada tiga pendaki asal Bandung hilang di Gunung Agung. Satu ditemukan di jurang di bawah punggungan ini, sementara dua lainnya tidak pernah ditemukan.
Setelah menyusuri punggung naga, jalur akan tiba di Puncak Kedua, berupa tonjolan kecil yang lebih tinggi dari sekitarnya. Puncak sejati atau puncak tertinggi sudah tak jauh lagi. Di antara keduanya, bergabung jalur pendakian dari Pura Pasar Agung. Saya melihat banyak pendaki mancanegara dari jalur ini. Jalurnya memang paling pendek, tapi juga paling curam dan berbahaya.
Puncak tertinggi cukup sempit dan bersisian langsung dengan kawah. Banyak pendaki menunggu matahari terbit di sana, sehingga ramai dan berisiko. Lebih baik ke puncak saat sudah terang. Karena itulah kami duduk di Puncak Pertama, menyaksikan sang surya perlahan bangkit dari balik cakrawala timur.
Ketika langit telah terang, kami berjalan hati-hati ke puncak tertinggi. Di sana yang semula ramai, perlahan sepi. Hanya tersisa kami bertujuh dan satu rombongan pemuda dari Singaraja yang ngaturang canang. Mereka tampak khusyuk ngaturang sembah bakti dengan latar lautan awan dan puncak Rinjani di seberang sana.
Pendaki dari Singaraja yang sedang berdoa di puncak gunung.Larangan Mendaki
Jika saya hitung secara acak, jumlah pendaki yang saya lihat sejak kemarin hingga pagi ini—baik yang sudah turun maupun yang baru naik—rasanya mencapai puluhan. Padahal, baru beberapa minggu sebelumnya Pemerintah Daerah Bali mengeluarkan larangan mendaki Gunung Agung.
Larangan ini muncul bukan tanpa alasan. Sebagian besar karena banyak wisatawan asing yang viral di media sosial menunjukkan perilaku tidak sopan di gunung yang disucikan: berfoto telanjang, berjoget di depan pura, perempuan yang sedang menstruasi ikut mendaki, bahkan melakukan hal-hal yang tidak pantas.
Lalu pemerintah memberlakukan larangan mendaki bagi semua orang tanpa pandang bulu. Tentu saja hal ini menimbulkan pro dan kontra. Jika alasannya demi menjaga “kesucian” dalam arti sempit, saya pribadi tidak setuju. Karena tidak hanya gunung—laut, desa, kota, atau tempat mana pun di Bali dan dunia ini—semuanya suci. Jadi kenapa hanya gunung? Dan kenapa kesannya mengeluarkan larangan dengan analisa yang buru-buru?
Namun jika “suci” dimaknai lebih luas, saya setuju. Misalnya, penutupan dilakukan untuk konservasi. Ditutup dalam periode tertentu, seperti beberapa gunung di Jawa yang memang ditutup berkala agar alam memulihkan diri. Pendekatan semacam itu lebih masuk akal.
Apalagi jika kebijakan dilakukan dengan serius, bekerja sama dengan pokdarwis atau komunitas lokal, misalnya melalui pembatasan pendaki, edukasi mengenai kelestarian alam, tradisi dan adat setempat, serta kewajiban umum seperti menjaga kebersihan.
Di Bali ada banyak upacara ritual untuk menyucikan alam. Tetapi kebanyakan berhenti pada perayaan, esensinya terlupakan. Sementara praktik yang benar-benar merusak kesucian justru dibiarkan. Lihatlah bukit-bukit di Bali bagian timur yang dikeruk untuk proyek pusat kesenian; kegiatan ngawen yang masih berlangsung di hutan-hutan Bali Barat; atau proyek reklamasi yang menguruk laut dan menimbulkan gunungan sampah. Dibandingkan mendaki, mana yang lebih merusak kesucian alam?
Wayan Sudar, dalam perjalanan turun, bercerita bahwa larangan mendaki memang sempat diteruskan gubernur melalui desa adat. Akibatnya, pendakian benar-benar dihentikan total selama beberapa bulan. Para pemandu dan porter lokal pun tidak berani melanggar, karena larangan yang diteruskan melalui keputusan desa adat memiliki kekuatan besar di tingkat masyarakat bawah.
Namun kini isu larangan itu sudah mereda. Tidak lagi ramai dibahas. Belum ada perda yang mengaturnya. Bahkan hingga saya menulis kisah ini, gubernur Wayan Koster sudah diganti oleh pejabat pelaksana tugas. Desa adat pun kini memperbolehkan wisatawan mendaki, dengan mematuhi beberapa syarat yang wajar.
Wayan Sudar, sang porter lokal dari Taman Edelweis.Perjalanan Turun
Dalam perjalanan, saya berpapasan dengan I Wayan Tegteg—seorang pendaki sekaligus pemandu gunung berusia enam puluh tahun. Saya takjub melihatnya masih kuat mendaki sambil membawa tamu di usia itu. “Saya bocah tua nakal, mendaki gunung demi sesuap nasi,” katanya sambil tertawa di sela istirahat menunggu tamunya berfoto.
Bli Gejor bertemu dengan I Wayan Tegteg.Ketika matahari makin meninggi, kami pun turun untuk kembali ke tenda. Meninggalkan puncak gunung yang makin panas dan berdebu. Di kejauhan arah barat tampak Gunung Abang dan Danau Batur. Lebih jauh lagi, gunung-gunung di Bali bagian tengah berdiri berderet. Awan putih terlihat berarak perlahan di sekitarnya. []
I Komang Gde Subagia | Denpasar, Agustus 2023








Comments
Post a Comment
Tulis nama Anda. URL bisa dikosongkan atau lengkapi dengan http/https.