Skip to main content

Mendaki Gunung Abang

Gunung Abang adalah gunung tertinggi ketiga di Bali, setelah Gunung Agung dan Gunung Batukaru. Tingginya 2.152 meter di atas permukaan laut (mdpl). Namanya kalah tenar dibandingkan dengan Gunung Batur, gunung tetangganya, yang berlokasi dalam satu kawasan di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.

Lereng Gunung Abang di Kintamani, Bali


Wilayah Kaldera Batur di Bali tempoat Gunung Abang berada.

Peta Gunung Abang dengan keterangan tempat-tempat di sekitarnya.


Awalnya Berniat Mendaki Sendiri

Saya sebenarnya ingin mendaki ke Gunung Abang sendiri. Karena beberapa hari sebelumnya, tak ada satu teman pun yang bersedia ikut serta. Sementara di atas kertas, saya memperkirakan jalur pendakiannya jelas. Yaitu menyusuri gigirannya saja, dengan kemungkinan tersesat yang kecil.

Sehari sebelum berangkat, dua orang rekan saya tertarik ikut serta. Mereka adalah Remon Arya dan Bagus Andika. Dua orang software engineer, rekan saya di kantor. Yang sebelumnya tak pernah mendaki gunung. Tapi mereka cukup rajin berolahraga lari maupun bersepeda. Lebih dari cukup, untuk diajak tektok ke Abang di akhir pekan. Jadi, ini adalah pendakian gunung perdana mereka.

Pukul lima pagi, Remon sudah tiba di rumah saya sesuai kesepakatan. Tapi Bagus belum tiba. Ia baru bangun tidur saat ditelepon. Alhasil, kami terlambat dari jadwal yang telah disusun. Pukul enam pagi, kami baru berangkat dari Denpasar. Menuju Desa Suter di Kintamani, di Kabupaten Bangli. Desa ini adalah titik awal jalur pendakian Gunung Abang di sisi barat. 

Pungutan Wisata Kintamani

Belakangan ini, Kintamani sering disorot oleh masyarakat di Bali. Terutama akan pemberitaan pungutannya pada wisatawan. Yang sudah disahkan dalam peraturan daerah setempat. Tapi tempat  pemungutannya dinilai tak layak dan tak efisien, yaitu di jalan raya. Menyebabkan sulit membedakan antara warga setempat, orang yang sekedar lewat, yang mengunjungi kerabat, atau memang bertujuan berwisata.

Selain itu, nilai pungutan yang diambil juga dinilai terlalu besar. Tak pantas diterapkan di masa pandemi yang belum pulih benar. Di mana pariwisata Bali dinyatakan baru mulai bangkit dari keterpurukan. Momen seperti ini seharusnya tidak dicoreng dengan pungutan-pungutan yang menuai kontroversi.

Dalam peraturan itu, mendaki gunung termasuk aktivitas yang digolongkan sebagai kegiatan wisata. Maka kami sudah menyiapkan dana. Dari informasi yang saya dapatkan, pungutan tersebut mencakup sumbangan untuk daerah tujuan wisata, karcis masuk kawasan hutan lindung, serta asuransi untuk wisatawan.

Tapi pagi itu, kami melalui jalanan Hutan Suter tanpa halangan. Tak ada petugas pemungut karcis yang berjaga. Tapi di sebuah pondok, seorang lelaki setengah baya yang kami tanyai malah meminta donasi. Katanya wajib dan seikhlasnya. Walaupun seikhlasnya, tapi saya bisa menyimpulkan bahwa donasi itu adalah sebuah bentuk pungutan liar.

Papan petunjuk pendakian Gunung Abang di Desa Suter.


Memulai Pendakian

Titik awal pendakian Gunung Abang di Desa Suter berlokasi di ketinggian 1.360 mdpl. Berada dalam satu garis punggungan. Di sebuah tikungan jalan berbatu yang masih bisa dilalui kendaraan roda empat. Pepohonan cukup rindang menaungi kawasan titik awal ini.

Saya melihat ada beberapa motor yang sedang parkir. Saya perkirakan, motor-motor itu adalah milik para pendaki yang sudah naik sebelumnya. Beberapa saat kemudian, datang pula dua rombongan pendaki. Rombongan itu adalah kelompok ibu-ibu komunitas yoga. Serta sekelompok remaja laki-laki. Lalu datang pula dua sejoli yang langsung 'tancap gas' memulai pendakian mereka.

Saya, Remon, dan Bagus santai saja. Memilih untuk sarapan pagi dulu di atas tanah datar. Di depan sebuah pelinggih. Udara sejuk. Pemandangan cukup indah. Gunung dan Danau Batur menghampar di utara kami. 

Tapi sayang, suasana yang asri dan indah ini terganggu dengan banyaknya sampah plastik. Yang beberapa berceceran. Dan sebagian besar tertumpuk di sebuah pojokan bawah pohon.

Hal yang hampir pasti saya temui di jalur-jalur pendakian gunung adalah sampah plastik. Entah apa yang ada di pikiran mereka yang mengunjungi gunung, lalu membiarkan sampah-sampah itu teronggok di sebuah pojokan. Mungkinkah pelakunya mengira ada petugas pemungut sampah? Yang akan datang membersihkan? Lalu akan mengangkut sampah-sampah itu? Menyedihkan sekali.

Sampah-sampah plastik yang berserakan di titik awal pendakian.

Kaldera Batur

Gunung Abang adalah sebuah lereng. Ia merupakan sisa reruntuhan Gunung Batur purba yang lebih besar. Dengan kata lain, Gunung Abang dan Gunung Batur di masa lalu adalah satu gunung. Memiliki tinggi empat ribuan meter di atas permukaan laut. Letusan yang terjadi ribuan tahun lalu membuatnya menjadi dua gunung terpisah. Anak gunung baru hasil letusan menjadi Gunung Batur, puncakan bukit dinding kaldera menjadi Gunung Abang.

Jika pernah mendaki Rinjani, proses pembentukan kalderanya mirip. Jika dibandingkan, maka Puncak Abang identik dengan Puncak Rinjani. Gunung Batur yang aktif identik dengan Gunung Baru Jari. Sementara Danau Batur identik dengan Danau Segara Anak. Kalau sudah membayangkan, cari kedua gambarnya di internet, lalu bandingkanbentukan alamnya.

Karena jalur pendakian adalah jalur di sepanjang gigiran kaldera, maka pemandangannya benar-benar memanjakan mata. Gunung Batur dan Danau Batur akan selalu terlihat di sepanjang jalur. Jalur pendakiannya pun cukup nyaman. Banyak bonus jalanan yang tak terjal. Pohon-pohon pinus di kanan dan kiri.

Di balik keindahan itu, Gunung Abang begitu labil. Layaknya gunung-gunung lain di seluruh nusantara. Hidup di negeri yang dijuluki cincin api memang harus bersahabat dengan aktivitas kegunungapian. Gunung-gunung yang anggun dan tanah-tanah sekitarnya yang subur menyimpan potensi bahaya. Selain gunung meletus, tentu saja salah satu bahayanya adalah potensi gempa bumi. Seperti kejadian setahun yang lalu.

Sebuah gempa berkekuatan 4,8 SR mengguncang Kintamani dan sekitarnya saat itu. Menyebabkan dinding-dinding utara Gunung Abang longsor. Dalam pendakian saya kali ini, bekas-bekas longsoran itu masih terlihat sangat jelas. Lereng-lereng bekas longsoran itu curam dan berbatu. Serta dilapisi tanah-tanah yang terlihat begitu rapuh. 



Pemandangan kaldera, di mana Gunung Batur dan Danau Batur terlihat jelas di sepanjang jalur pendakian.

Pos 1 : Pura Penyawat

Seperti pada umumnya gunung-gunung di Bali, beberapa titik tempat beristirahat atau pos pendakian adalah sebuah pura. Berwujud tanah datar dengan pelinggih atau bangunan yang disucikan. Maka pos pertama di jalur pendakian adalah Pura Penyawal. Berada di ketinggian sekitar 1.550 mdpl.

Pura Penyawat ini hanya berupa sebuah pelinggih yang sudah berlumut. Diapit dua patung. Yang salah satunya cukup ikonik, yaitu patung seorang pendeta tua. Terlihat beberapa canang yang masih segar, pertanda baru saja diletakkan oleh pendaki-pendaki yang lewat. Cericit suara tikus hutan terdengar di sela-sela bebatuan, sepertinya sedang mencari remah-remah makanan di sekitar pura.

Lokasi Pura Penyawat atau Pos 1 ini cukup berbahaya. Karena persis di tepi jurang yang dalam. Dengan lerengnya yang curam. Bahkan lokasi longsoran tak begitu jauh. Jaraknya dari pura hanya beberapa meter. Walaupun demikian, pemandangannya terbuka. Apalagi langit cukup bersih. Menyebabkannya menjadi lokasi swafoto favorit dengan latar gunung dan danau. 

Dan di Pos 1 ini, kami bertemu dengan rombongan pendaki lain. Ibu-ibu dari komunitas yoga itu. Yang waktu di titik awal pendakian tadi, sudah sempat kami temui. Layaknya zaman media sosial pada masa sekarang, saya melihat mereka membuat konten. Bergantian membuat foto dan video. Sambil mempraktikkan berbagai gaya yoga. Mantap! Tentu hasilnya sangat oke untuk diunggah ke laman media sosial masing-masing.

Sebuah bangku kayu yang ada di dekat Pos 1 atau di Pura Penyawat.


Pos 1 : Pura Penyawat.

Pos 2 : Pura Andong

Setelah cukup istirahat dan ngaturang canang di Pos 1, kami melanjutkan perjalanan. Jarak perjalanan kami dengan rombongan ibu-ibu tadi tak terlalu jauh. Suasana perjalanan jadi lebih ramai. Apalagi ibu-ibu itu beberapa kali meneriakkan yel-yel mereka. Suasananya terasa meriah seperti ikut lomba Pramuka.

Tempo perjalanan kami santai. Saya tak pernah memaksakan diri untuk ngebut. Tapi tetap memperhitungkan waktu untuk bisa sampai ke puncak. Untuk nantinya bisa turun lagi sebelum gelap. Karena tempo yang santai ini, jarak kami selalu berdekatan dengan rombongan ibu-ibu tadi. 

Ingin rasanya menyalip. Supaya jarak bisa diperlebar. Tapi berusaha menyalip malah membuat saya kehabisan nafas. Karena jalannya jadi ngebut. Ya sudah. Daripada ngebut dan ingin mendahului, saya nikmati saja lah. Bareng ibu-ibu yang obrolannya tak pernah sepi itu. 

Karena jalannya berbarengan, saya jadi tahu sedikit tentang mereka. Bahwa salah satu dari mereka memang penghobi kegiatan mendaki gunung. Mendaki ke Abang kali ini adalah dalam rangka latihan. Untuk persiapan ke Gunung Agung di pendakian mereka berikutnya. Mantap!

Tiba di ketinggian sekitar 1.800 mdpl, akhirnya kami sampai di Pos 2. Alias di Pura Andong. Saya melihat beberapa orang pendaki lain yang sedang beristirahat. Beberapa remaja yang dalam perjalanan turun dari puncak. Katanya, mereka telah mendaki dari semalam.

Di sudut kaja kangin atau timur laut, saya melihat bangunan-bangunan pelinggih. Itu adalah bagian dari Pura Andong. Kondisi bangunan pura tidak utuh. Bagian-bagian atasnya terlihat roboh. Sepertinya akibat gempa yang terjadi beberapa bulan lalu. Belum diperbaiki sampai sekarang. 

Biasanya, jika ada pura di gunung, penyungsung atau penanggung jawabnya adalah masyarakat setempat di kaki gunung. Saya menebak, penyungsungnya adalah masyarakat dari Desa Suter atau Abang Songan. Dua desa ini secara administratif mencakup jalur pendakian dari sisi barat ini.

Kawasan Pura Andong berupa dataran yang cukup luas dan aman. Jika berniat bermalam, lokasi ini rasanya sangat cocok digunakan untuk tempat mendirikan tenda. Selain itu, pemandangan ke arah utara juga cukup bagus. Pagi hari kala bangun tidur, kita bisa menyaksikan Kaldera Batur. Dengan langit yang kuning kemerahan, saat matahari pelan-pelan terbit di timur. Tentu itu sangat menakjubkan. Apalagi sambil sarapan dan minum kopi, misalnya.

Pos 2 : Pura Andong.

Menuju Puncak, Pura Tulukbiyu

Setelah cukup lama beristirahat di Pura Andong, perjalanan pun dilajutkan lagi. Kami cukup bersemangat. Remon berjalan di belakang saya. Bagus yang walaupun seorang perokok berat, malah terlihat begitu kuat. Ia berlari-lari kecil lebih dulu di depan. Jadi trail runner, katanya.

Jalur pendakian dari Pura Andong menuju puncak cukup terjal. Lebih terjal dibandingkan jalur yang sudah kami lalui dari bawah. Beberapa jalur ada yang diselimuti semak-semak rapat. Di beberapa tempat juga ada akar-akar pohon melintang yang menjadikannya begitu unik.

Jalur pendakian cukup terjal.

Akar-akar pepohonan yang melintang di jalur-jalur pendakian.

Hingga akhirnya setelah lewat tengah hari, kami sampai di puncak. Dan yang sedikit lucu, dua sejoli yang kami lihat di titik awal, sewaktu memulai pendakian tadi, ternyata adalah teman sekolah Remon sewaktu SMA. Aneh saja rasanya. Waktu berangkat dari bawah, 'nggak ngeh' kalau mereka adalah orang yang dikenal. Dan baru sadar setelah tiba di puncak gunung.

Suasana di puncak cukup terang. Cuaca cerah dengan sedikit kabut dan awan berarak. Ada beberapa pelinggih yang berdiri megah di tanah datar yang luasnya sekitar sepuluh sampai lima belas meter persegi. Pelinggih-pelinggih di puncak ini disebut sebagai Pura Tulukbiyu.

Kami menghabiskan waktu di puncak cukup lama. Mungkin sekitar dua jam. Saya yang kali ini membawa kompor dan cangkir, akhirnya menyeduh kopi. Itu saya lakukan usai menyantap nasi kuning yang menjadi menu makan siang kami. Rasanya mantap sekali. Menyeruput aroma kafein sambil merasakan angin berdesir di Puncak Gunung Abang.

Plang petunjuk puncak gunung yang tergantung di ranting pohon.

Turun ke Barat atau Lanjut ke Timur

Ke arah timur, tampak punggungan gunung yang mengarah ke Trunyan. Desa yang masyarakatnya adalah keturunan orang-orang Bali aga atau kuno. Masyarakat Trunyan terkenal meletakkan jenasah warganya yang meninggal di bawah-bawah pohon menyan.

Ibu-ibu dari komunitas yoga berbarengan bersama kami di puncak. Mereka mengajak untuk turun ke arah timur. Ke arah Desa Trunyan. Katanya, supaya kami bisa melalui kedua jalur pendakian. Naik dari Desa Suter di barat, turun ke Desa Trunyan di timur. Selain itu, jika bareng, mereka bisa berbagi ongkos carteran pickup juga. Yang harus kami sewa untuk membawa kami kembali ke Suter, tempat kami memarkir kendaraan.

Tawaran yang menarik dan menggiurkan. Tapi setelah ditimbang-timbang, saya memutuskan turun ke barat saja. Kembali menyusuri jalur pendakian kami sebelumnya. Yang disetujui oleh Remon dan Bagus.

Matahari yang terik bersinar menembus sela-sela pepohonan.

Batang-batang pohon hutan yang ditumbuhi tanaman-tanaman parasit.

Saya menganalisa bahwa turun ke Desa Trunyan membutuhkan waktu yang lebih lama. Hal itu karena jalurnya lebih panjang. Ditambah dengan mencari tumpangan pickup lalu kembali lagi ke arah Suter. Rasanya itu akan memakan waktu sampai malam. Jadi, kami tetap sesuai rencana awal saja. Naik dan turun dari tempat yang sama.

Dari berbagai informasi di forum-forum pendaki gunung di Bali, jalur pendakian Gunung Abang dari sisi timur atau dari Desa Trunyan lebih menarik. Pemandangannya lebih menawan. Karena lebih banyak melalui sabana atau padang rumput. Selain bisa melihat Gunung dan Danau Batur di sisi utara, kita juga bisa melihat Gunung Agung di sisi selatan. Sebuah puncakan kecil yang dikenal dengan nama Bukit Trunyan juga akan dilalui jika kita mendaki dari sisi timur ini.

Kalau dipikir-pikir, memang menarik. Tapi tidak untuk kali ini. Lain kali, saya akan kembali. Akan mendaki ke Abang lagi. Pastinya dari sisi timur. Melalui jalur yang berbeda. Melihat pesona gunung dari sisi yang lain. Sambil mengunjungi Desa Trunyan yang eksotis. Yang rasanya penuh dengan misteri. []

I Komang Gde Subagia - Kintamani, April 2022

Comments