Skip to main content

Puncak Mangu

Salah satu gunung yang ada di Bali adalah Gunung Catur. Merupakan gunung tertinggi keempat di Pulau Dewata. Tingginya 2.096 meter dari atas permukaan laut (mdpl). Namanya tidak begitu dikenal, bahkan oleh masyarakat Bali sendiri.

Tapi jika menyebut titik tertingginya yang bernama Puncak Mangu, maka akan lebih banyak orang yang tahu. Atau setidaknya pernah mendengar nama tersebut.

Puncak Mangu di Gunung Catur

Wilayah pegunungan Bali bagian tengah di mana Gunung Catur berada.

Peta Gunung Catur dengan Puncak Mangu dan titik-titik awal pendakiannya.


Nama Puncak Mangu lebih dikenal dari nama gunungnya karena berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Bali. Di mana sebuah pura berjenis kahyangan jagat ada di sana. Pura Puncak Mangu dengan beberapa pelinggih di puncak gunung, dan Pura Penataran Puncak Mangu yang lebih luas di lerengnya.

Kerajaan Mengwi

Alkisah pada abad ke-18, Bali terbagi menjadi kerajaan-kerajaan kecil tersebar di berbagai wilayah. Salah satunya adalah Kerajaan Mengwi, yang saat ini sebagian besar wilayahnya berada di Kabupaten Badung.

Kerajaan Mengwi saat itu bertikai dengan kerajaan-kerajaan lain. Salah satunya adalah dengan Kerajaan Tabanan. Karena kalah dalam pertikaian tersebut, Raja Mengwi yang bernama I Gusti Agung Putu mencari keheningan dengan cara bertapa ke Puncak Mangu.

Walaupun sang raja mendaki ke puncak gunung pada abad ke-18, tapi sebuah lingga yoni yang berusia lebih tua sudah ada di sana. Yang oleh para ahli purbakala, diperkirakan berasal dari zaman megalitikum. Sang raja pun bertapa di sana dan membangun pura. Konon setelah melewati masa bertapanya itu, sang raja kembali untuk membalaskan kekalahannya melawan Kerajaan Tabanan. Hingga akhirnya memperoleh kemenangan.

Begitulah sedikit kisah Pura Puncak Mangu di Gunung Catur berkaitan dengan sejarah di Bali, khususnya sejarah Kerajaan Mengwi. Yang sampai kini, Keluarga Puri Mengwi atau Keraton Mengwi, sebagai keturunan penguasa Kerajaan Mengwi di masa republik sekarang, tetap menjadi pengempon atau pengemong Pura Puncak Mangu.

Mendaki ke Puncak Mangu

Pada sebuah akhir pekan, saya bersama seorang teman, Alit Arimbhawa, berkesempatan mendaki ke Puncak Mangu. Dengan tujuan berolahraga ringan, meregangkan otot-otot yang kaku sambil menghirup udara segar pegunungan.

Jalur pendakian ke Puncak Mangu yang umum ada tiga : dari Pelaga di timur, dari Bedugul di barat daya, dan dari Wanagiri di barat laut. Ketiganya adalah nama-nama desa yang ada di sekitar gunung. Yang paling umum digunakan oleh para pendaki adalah dari Pelaga.

Mendaki dari Pelaga adalah menyusuri jalur yang digunakan oleh masyarakat setempat saat ada upacara di Pura Puncak Mangu. Jalurnya sudah tertata apik. Dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Badung yang didukung oleh Puri Mengwi. 

Jalurnya berupa tangga-tangga dari bebatuan yang tersusun rapi di antara pepohonan. Di beberapa titik ada banyak jalur yang rusak. Kerusakannya karena longsor, tertutup pohon besar yang tumbang, rusak dimakan waktu, maupun bergeser karena kondisi tanah yang miring.

Jalur pendakian ke Puncak Mangu dari Pelaga.

Jalur pendakian ke Puncak Mangu dari Pelaga.

Jalur pendakian ke Puncak Mangu dari Pelaga.

Jalur pendakian ke Puncak Mangu dari Pelaga.

Di Titik Awal Pendakian

Hari masih pagi. Belum jam delapan. Saya dan Alit telah tiba di ujung jalan, yang berupa lapangan sebagai tempat parkir. Inilah titik awal pendakian ke Puncak Mangu dari Pelaga.

Ujung jalan aspal, titik awal pendakian ke Puncak Mangu dari Pelaga.

Sampah-sampah non organik teronggok di pojokan. Tepat di samping tangga di awal jalur pendakian. Saya membatin, tentu sampah-sampah itu dibawa oleh para pendaki gunung. Oleh mereka yang mengaku pecinta alam. Sebuah kesadaran lingkungan yang kurang tertanam pada orang-orang yang suka berkegiatan di alam. Mana mungkin sampah itu dibawa oleh hewan-hewan di hutan?

Di tempat sepi di kaki gunung seperti ini, tentu tak ada petugas kebersihan yang rajin mengangkut sampah. Lagi pula, mendaki gunung dari Pelaga tak dikenai biaya sama sekali. Siapa yang bertanggung jawab pada sampah-sampah itu? Jika merasa tak yakin bahwa itu adalah tempat sampah, hendaknya kita tak menambah sampah di sana. Bagi saya, atau mungkin sebagian besar dari kita sepakat, bahwa hal itu tak sedap dipandang di lingkungan hutan yang hijau dan asri.

Onggokan sampah di awal jalur pendakian.

Di pojokan yang lain, saya melihat ada beberapa sepeda motor terparkir. Rasanya, itu adalah motor-motor beberapa pendaki yang telah lebih dulu naik ke atas. Berikutnya, tiga orang pendaki dari Gianyar juga datang. Memarkir motornya. Ngobrol basa-basi sebentar dengan kami. Lalu langsung "tancap gas", segera memulai pendakiannya.

Kami memilih untuk sarapan nasi kuning, yang sebelumnya dibeli oleh Alit di pinggir jalan di Denpasar. Kami sarapan di sebuah pondok petani. Yang di sampingnya ada sebuah embung penampung air. Juga kandang yang berisi beberapa ekor sapi.

Rumput-rumput pakan ternak yang ada di sekitar titik awal pendakian.


Kandang sapi milik petani di Pelaga.

Embung penampung air.

Seekor anjing putih kurus menemani sarapan kami. Alit yang dermawan menyisihkan sedikit nasi kuningnya untuk mahluk kecil itu. Pagi-pagi sudah diawali dengan berbagi. Mengisi perut, melakukan sedikit perbuatan baik, ditambah niat baik dan pikiran yang baik, rasanya lebih dari cukup menambah energi untuk memulai perjalanan.

Nun jauh di timur, langit yang tak begitu bersih masih berpendar kekuningan. Pertanda matahari belum begitu tinggi. Puncak Gunung Agung yang berselimut awan  terlihat cukup jelas dari tempat kami. Angin berhembus pelan. Dan awan keabuan yang tebal bergelayut di atas sana. Ramalan cuaca menyebutkan bahwa hari ini akan ada hujan di Pelaga.

Pemandangan ke arah timur, tampak Gunung Agung berselimut awan di kejauhan.

Memulai Pendakian

Kami mulai melangkahkan kaki di jalur pendakian yang cukup jelas. Tersusun dari bebatuan yang disemen dengan beton. Di kanan kirinya, semak-semak tumbuh lebat dinaungi pepohonan besar khas hutan hujan tropis.

Saya mencoba untuk lari-lari kecil. Karena teringat beberapa teman, yang sering saya lihat berkegiatan trail running ke gunung. Ternyata berlari di gunung itu tak mudah. Membawa daypack di punggung serta melalui jalur yang menanjak, nafas dan tenaga cukup banyak terkuras, walau hanya beberapa puluh meter saja. Lebih baik jalan kaki biasa saja, karena niat saya memang untuk mendaki dengan berjalan kaki.

Di jalur pendakian, ada beberapa tanda pos peristirahatan yang dipasang oleh Mapala Stiki.


Di jalur pendakian, ada beberapa tanda pos peristirahatan yang dipasang oleh Mapala Stiki.

Udara begitu segar. Pepohonan besar di mana-mana. Dedaunan menghijau sejauh mata memandang di sekeliling. Pagi sampai sore, adalah waktunya pepohonan ini berfotosintesis. Oksigen melimpah. Saya hirup dalam-dalam sepuasnya. Merasakan bersihnya tarikan dan hembusan nafas, membuat saya tersenyum sendiri membayangkan kepulan asap nikotin. Entah apa yang membuat saya bisa menikmati hisapan-hisapan rokok di waktu yang dulu.

Kicau burung bersahutan. Tonggeret-tonggeret bernyanyi memainkan paduan orkestra alam. Sesekali terdengar pekikan-pekikan primata di kejauhan. Hembusan angin begitu kencang, menimbulkan suara seperti gemuruh air sungai. Gesekan-gesekan dahan berderit di sana-sini, membuat nyali ciut, was-was seandainya jika ada pohon yang tiba-tiba tumbang.


Pohon besar yang ditemui di sepanjang jalur pendakian.

Pohon besar yang ditemui di sepanjang jalur pendakian.

Pohon besar yang ditemui di sepanjang jalur pendakian.

Pohon besar yang ditemui di sepanjang jalur pendakian


Sesajen di Mana-mana

Mendaki gunung di Bali, maka kita akan dengan mudah menemukan canang dan bekas dupa. Yang oleh masyarakat umum, canang ini lebih sering disebut sebagai sesajen. Bisa ditemui di dekat pohon besar, di atas batu, atau di pos-pos peristirahatan. Kadangkala, di beberapa titik jalur pendakian juga ada pelinggih, bangunan kecil untuk meletakkan sesajen itu.

Canang atau sesajen di bawah pohon.

Saya jadi teringat dengan sebuah peristiwa viral melibatkan sesajen yang terjadi baru-baru ini di sekitar Gunung Semeru di Jawa Timur. Walaupun penggunaan sesajen tidak sebanyak di Bali, masyarakat di Indonesia, khususnya di Jawa, cukup banyak yang menggunakan sesajen dalam menjalankan kegiatan spiritual dan kepercayaannya.

Memahami penggunaan sesajen menurut saya tergantung dari perspektif pelakunya. Tentu setiap pelakunya bisa menafsirkan dengan cara berbeda. Ada yang percaya karena ada hal-hal mistis yang perlu diberikan sesajen. Ada juga yang menggunakannya sebagai sebuah simbol penghormatan pada alam : pada pohon, pada batu, atau pada air.

Bagi saya pribadi, sesajen itu lebih kepada sebuah simbol penghormatan pada alam tadi. Jika dianalogikan, ia tak jauh berbeda dengan bendera merah putih, yang dihormati dan disakralkan sebagai wujud kecintaan pada bangsa negara. Atau bisa juga dianalogikan seperti bendera dan lambang organisasi, yang diperlakukan sebagai benda atau media kehormatan.

Apalah arti sesajen itu? Toh ia hanya sebuah sarana dengan ritualnya sebagai simbol penghormatan. Percuma jika mereka menaruh sesajen pada pohon, tapi kemudian suka menggunduli hutan. Percuma menaruh sesajen pada air, tapi kemudian kencing dan berak di air tersebut. Percuma juga jika sesajennya berisi kemasan plastik. Dan seterusnya.

Apalah arti upacara bendera dan penghormatan pada lambang-lambang negara? Toh bendera itu hanya kain, hanya sebuah simbol. Percuma bagi mereka yang rajin ikut upacara bendera, tapi kemudian suka korupsi di kantor. Percuma menaikkan bendera saat hari besar kenegaraan, tapi kemudian suka menyebarkan berita bohong memecah belah persatuan. Dan seterusnya.

Tapi ada juga yang menggunakan sesajen karena percaya hal-hal gaib. Kalau ini, bagi saya sama saja dengan kepercayaan-kepercayaan lain di bumi yang dijadikan pegangan oleh manusia. Ada yang percaya ini, ada yang percaya itu. Ada yang yakin ini, ada yang yakin itu. Namanya saja kepercayaan dan keyakinan. Masuk akal atau tak masuk akal, selama tak merugikan orang lain dan melanggar undang-undang, biarkan saja.

Pura Beji Puncak Mangu

Setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam, akhirnya kami tiba di sebuah cerukan lembah. Terdengar suara gemericik air. Lalu saya melihat aliran air di sela semak-semak. Juga dua bangunan pelinggih beratapkan ijuk di dataran yang tak begitu luas.

Inilah Pura Beji Puncak Mangu. Beji adalah sumber mata air yang disucikan. Tak jauh dari pelinggih-pelinggih ini, ada cerukan penampung air. Airnya bening dan bersih. Di sekitarnya ada beberapa canang. Sepertinya diletakkan oleh para pendaki yang lewat dan beristirahat di beji ini.

Pura Beji Puncak Mangu

Cerukan penampung air di belakang pura beji.

Alit mengeluarkan sebungkus canang. Lalu menghaturkannya dengan dupa yang kepulan asapnya semerbak wangi di kedua pelinggih di beji.

Ketika memperhatikan lingkungan sekitar, sesaat saya cukup kaget. Karena tiba-tiba melihat sesosok mahluk abu-abu kehitaman. Berukuran cukup besar bertengger di atap pelinggih

Sial! Jantung rasanya mau copot. Ternyata itu adalah seekor monyet yang dari tadi sudah mengawasi gerak-gerik kami. Sebelumnya, saya tak mengira akan ada monyet sedekat ini dengan kami di gunung yang cukup sepi

Lalu dua orang pendaki tiba di tempat kami. Katanya dari Tabanan. Mereka juga sama. Berhenti dan beristirahat di pura beji ini. Menghaturkan canang juga. Berbeda dengan Alit, canang dua pendaki dari Tabanan ini berisi rarapan atau makanan kecil.

Tak perlu menunggu lama, canang-canang yang sudah diletakkan di pelinggih-pelinggih itu sudah diobrak-abrik oleh monyet. Monyet itu mencari rarapan yang langsung dimakannya. 

"Tak apa", kata Alit. Canang dengan rarapan memang ditujukan untuk mereka. Penghormatan pada alam. Mahluk-mahluk berbulu dan berekor panjang itu adalah bagian dari alam ini. Sudah sepantasnya kita berbagi pada mereka lewat canang atau sesajen ini.

Tiba di Puncak

Dari pura beji, jarak ke puncak sudah semakin dekat. Pada peta, jaraknya sekitar 500 meter mendatar dan 100 meter beda ketinggian. Kami pun melanjutkan perjalanan lagi.

Hujan mulai turun rintik-rintik. Saya mendengar suara angin makin kencang dan bergemuruh di atas. Kabut makin tebal dan suhu makin dingin. Suasana di puncak rasanya "ngeri-ngeri sedap".

Kami berpapasan dengan beberapa orang pendaki yang sedang dalam perjalanan turun. "Di puncak hujan. Badai", katanya. Hmm... Saya hanya mengernyitkan dahi.

Akhirnya, dengan kondisi berselimutkan jas hujan dan dengan kondisi yang sedikit basah, kami tiba di puncak. Hanya ada dua orang pendaki yang sedang beristirahat di sebuah bale bengong. Mereka adalah pendaki yang kami temui tadi di Pura Beji. 

Dataran di puncak cukup luas. Ada pura. Bangunan-bangunannya cukup megah. Dulu, pastilah tukang-tukang dan buruh-buruh bangunan yang mengerjakan pengerjaan pura ini banyak. Atau setidaknya, pasti ada banyak orang yang membantu untuk membawa bahan bangunan dari bawah sampai ke puncak. 

Paling utara, sebagai tempat yang paling disucikan dalam arsitektur Bali, ada meru tumpang lima dan tumpang telu. Meru adalah pagoda khas Bali dengan atapnya yang bertingkat-tingkat. Ada juga beberapa pelinggih lain. Serta bale pesandekan dan bale bengong sebagai tempat beristirahat di sisi paling selatan.

Kami beristirahat di bale bengong. Berlindung dari hujan yang cukup deras. Bergabung dengan dua pendaki tadi. Mengeluarkan perbekalan untuk makan siang. Sambil ngobrol basa-basi seputar pendakian di gunung ini.

Pura di Puncak Mangu.

Kondisi hujan, angin, dan kabut saat kami tiba di Puncak Mangu.

Pemandangan Tertutup Kabut

Jika cuaca cerah, pemandangan harusnya terlihat indah. 

Ke arah barat,  mestinya ada jajaran gunung-gunung kawasan Cagar Alam Batukaru. Juga Danau Beratan yang lokasinya tepat di bawah gigiran Gunung Catur. Begitu juga Danau Buyan dan kawasan wisata Bedugul.

Sementara ke arah timur, Gunung Agung dan Gunung Abang mestinya juga terlihat. Termasuk juga dataran tinggi Kintamani di Bangli. 

Tapi kabut benar-benar menyelimuti sekitar kami dan tak pergi-pergi. 

Pemandangan dari Puncak Mangu ke arah barat. Sekilas terlihat pegunungan di Cagar Alam Batukaru, Danau Beratan, dan kawasan wisata Bedugul.

Diganggu "Preman Gunung"

Ada banyak monyet di Puncak Mangu. Berjenis kera ekor panjang atau Macaca fascicularis. Monyet jenis ini merupakan primata asli dari kawasan Asia Tenggara. Tersebar di berbagai wilayah.

Di bidang pertanian, monyet jenis ini kerap dianggap sebagai hama. Sementara di sisi kepercayaan lokal setempat, monyet-monyet yang ada di kawasan pura biasanya dianggap hewan keramat yang sebaiknya jangan diganggu.

Salah satu monyet paling besar, yang rasanya itu adalah pemimpin di kelompoknya, sangat berani. Layaknya preman, ia tak segan-segan berusaha mendekati kami. Mengincar perbekalan. Mendengar bunyi "krasak-kresek", matanya sudah awas. Seperti sudah terbiasa melihat para pendaki yang sedang membuka bungkus makanan.

Sesekali, kami harus menakutinya dengan kayu supaya ia menjauh. "Hush... Hush...", begitu kami berteriak menghalaunya yang coba-coba mendekat dan mengganggu makan siang. Ketika diusir, ia merespon dengan menyeringai memperlihatkan taring-taringnya yang tajam. 

"Preman" Puncak Mangu.

Alit yang diganggu oleh monyet saat akan berdoa di Pura Puncak Mangu.

Di pohon-pohon yang rimbun di sekitar puncak, saya melihat ada banyak monyet lain bertengger kehujanan. Kawanan ini tak seberani "preman" tadi. Mereka hanya melihat dari kejauhan. Basah kuyup disiram air dari langit di alam terbuka. Sejenak, saya sedih melihat tatapan-tatapan mata mereka. Apalagi saat saya sedang berteduh dan makan.

Begitulah alam liar. Monyet-monyet itu tentu telah memiliki cara hidup mereka sendiri. Secara alami, manusia sebenarnya lebih rentan daripada hewan. Manusia bisa bertahan dan menjadi lebih superior karena kapasitas otak manusia lebih besar. Bisa membuat pakaian dan peralatan untuk beradaptasi dengan kondisi alam. Sementara hewan bisa beradaptasi secara alami. Monyet-monyet tadi mungkin kedinginan, tapi mereka sanggup bertahan selama mungkin. Sedangkan manusia harus didukung dengan jaket dan perapian.

Monyet-monyet yang basah kehujanan.

Kedinginan

Usai berdoa di pura, kami bersiap untuk turun. Suasana masih hujan dan berkabut. Sesekali hujan deras, dan lebih banyak gerimis. Angin tetap bertiup kencang. Membentuk badai kecil. Sekelompok pendaki datang lalu berteduh di dekat kami.

Alit saat di Puncak Mangu.

Saya menggigil. Jari tangan saya rasanya sudah hampir membeku. Basah dan dingin sekali. Mungkin pertanda froshbite ringan, yaitu radang dingin pada kulit dengan sensasi kesemutan. Jika dibiarkan lama, maka levelnya akan meningkat dan bisa berbahaya.

Sangat penting bagi kita untuk tahu resiko-resiko yang mungkin dihadapi di gunung. Seperti ancaman terkena froshbite ini. Persiapan yang matang tentu sangat diperlukan. Mengenakan jaket dan sarung tangan, misalnya. Membuat perapian. Atau memegang cangkir minuman hangat.

Bahaya lain yang juga bisa mengintai adalah hipotermia. Yaitu kondisi di mana suhu tubuh jauh menurun dari kondisi normal. Dingin dan basah pada tubuh adalah penyebab utamanya. Ditambah tidak adanya asupan energi berupa makanan, kondisi akan makin berbahaya. Dan tentu saja persiapan mendaki gunung yang matang sangat diperlukan untuk bisa mencegah terjadinya kondisi yang tak diinginkan.

Ada banyak hal yang perlu kita tahu dan kita siapkan dalam mendaki gunung. Semudah apa pun gunung yang kita daki, kita wajib siap. Membaca peta dan kompas, bernavigasi, mempersiapkan fisik, mempersipakan peralatan dan perbekalan, meminimalisasi resiko yang mungkin terjadi, dan lain sebagainya. Belajar dari berbagai informasi serta berlatih dan melihat langsung dari pengalaman adalah kuncinya. 

Kembali Turun

Dan kami pun akhirnya turun. Menyusuri jalur yang  digunakan sebelumnya untuk mendaki. Menuju ke Pelaga lagi. Hanya satu setengah jam waktu yang kami habiskan diam di puncak. Cukup lama untuk membuat kami kedinginan.

Hanya beberapa meter turun, hujan dan dingin mulai berkurang. Tapi ketika melihat ke arah puncak, pepohonan masih terlihat bergoyang-goyang dan angin masih terdengar bergemuruh. Badai itu hanya ada di puncak.

Sepertinya cuaca buruk hanya terjadi di sisi sebelah barat gunung. Jalur kami yang berada di sisi timur baik-baik saja. Hanya mendung dengan angin yang bertiup. Tangan saya yang kedinginan perlahan-lahan makin menghangat. Dan lama-lama, tubuh mulai berkeringat lagi seiring langkah kaki menuruni gunung.

Tak sampai dua jam, kami sudah sampai di parkiran, kembali ke ujung jalan aspal. Lega. Karena usai sudah perjalanan pendakian ini. Capek dan lelah. Juga lapar. Lumayan dan sepadan dengan pengalaman yang didapatkan. 

Saya selalu suka pada kondisi pikiran dan tubuh usai mendaki gunung. Walaupun badan pegal-pegal, tapi pikiran seperti disegarkan oleh pengalaman di alam. Fisik pun terasa seperti diasah. Semoga saja itu menyehatkan jiwa dan raga. Dan jika sampai di rumah, makan pun menjadi nikmat dan tidur bertambah nyenyak.

Yang penting, jangan hanya slogan!

Sebuah Proses dan "Because It's There"

Dalam perjalanan pulang kembali ke Denpasar, kami sempatkan mampir di sebuah warung makan. Kami ngobrol tentang kenapa kami harus capek-capek dan jauh-jauh pergi mendaki gunung? Jawabannya karena kami menikmati perjalanannya, menghayati prosesnya. Bisa memanfaatkannya sebagai media berolahraga dan mencapai puncak hanyalah sebuah bonus.

Gejor saat istirahat di warung makan di Sangeh.

Atau jika ditelaah lebih jauh, kenapa harus ke gunung? Kenapa harus ke Puncak Mangu? Jawabannya, ya karena Puncak Mangu itu "ada di sana". Seperti George Mallory, seorang pendaki legendaris dari Inggris yang ditanya kenapa ia mendaki gunung. Ya karena gunung itu ada di sana. "Because it's there", katanya. []

I Komang Gde Subagia | Petang, Januari 2022



Comments