Skip to main content

Lesung dan Misteri Nagaloka

Gunung Lesung adalah salah satu puncakan di Pegunungan Bali Tengah. Berdasarkan peta digital, tingginya 1.865 meter dari permukaan laut. Secara administratif, berlokasi di Kabupaten Buleleng. Termasuk bagian dari Cagar Alam Batukaru, cagar alam satu-satunya yang ada di Bali.

Gunung Lesung dilihat dari kawasan Danau Tamblingan


Dua Kali

Sampai saat saya menulis catatan ini, saya sudah mendaki Gunung Lesung sebanyak dua kali. Kedua pendakian saya itu bersama Remon Arya. Ia rekan saya di Bali yang saat ini sedang keranjingan dan selalu bersemangat jika diajak mendaki gunung.

Pendakian pertama saya adalah pada bulan Mei 2022. Dengan mengambil titik awal dari Danau Tamblingan, jalurnya di sisi barat laut Gunung Lesung. Sedangkan pendakian kedua saya adalah pada bulan Desember 2022. Mengambil titik awal dari Desa Gesing, melalui jalur sisi selatan.


Pendakian Pertama dari Tamblingan

Pada pendakian pertama, titik awalnya di Danau Tamblingan sudah saya kunjungi beberapa kali. Saya ke sana sebelumnya bersama keluarga. Bahkan saya juga pernah ke sana bersama beberapa rekan yang lain, 'trekking' melintasi hutan di sekitar danau. Menyusuri jalur setapak yang menghubungkan Tamblingan dan danau lain di sebelah utaranya yang bernama Danau Buyan.

Pada waktu menyusuri hutan di kawasan Tamblingan dan Buyan inilah, saya mencari-cari jalur yang mengarah ke puncak Gunung Lesung. Bisa dibilang semacam survey kecil-kecilan. Untuk persiapan lapangan jika nantinya saya mendaki ke sana. Nyatanya, walaupun sudah disurvey,  saya dan Remon sempat tersesat juga di awal perjalanan pada saat pendakian pertama dari Tamblingan.


Alas Mertajati

Hutan di sekitar Danau Tamblingan dikenal dengan sebutan Alas Mertajati. Adalah sebuah hutan adat yang dikelola secara tradisional oleh masyarakat empat desa di sekitarnya. Keempat desa tersebut adalah: Munduk, Gesing, Gobleg, dan Umajero. Keempatnya dikenal dengan sebutan Catur Desa Adat Dalem Tamblingan.

Tapi secara administratif, Alas Mertajati bukanlah tanah adat. Belum ada payung hukum yang mengakui. Hutan ini masuk kawasan Cagar Alam Batukaru. Kawasan yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BSKDA) sebagai Taman Wisata Alam (TWA) Danau Buyan dan Danau Tamblingan. 

Dari salah satu portal berita lingkungan, Hutan Adat Dalem Tamblingan malah mengalami degradasi setelah kawasan Alas Mertajati ditetapkan sebagai TWA. Banyak pohon besar dan langka ditebang, sedikit demi sedikit. Mengakibatkan kerapatan hutan berkurang dalam waktu singkat. Sementara, masyarakat adat kesulitan menjaga kawasan itu, karena secara hukum dianggap tidak memiliki kewenangan.

Persoalan makin kompleks ketika kawasan Alas Mertajati tumpang tindih dengan TWA, hutan lindung, dan kawasan cagar alam. Bahkan di dalamnya ada lahan yang berada dalam penguasaan pihak swasta. Kabar yang beredar, pihak swasta ini berencana untuk memanfaatkan beberapa bagian kawasan untuk pembangunan villa. Miris sekali.

Karena itulah, masyarakat adat pun aktif untuk mendorong pengembalian status kawasan menjadi hutan adat. Mereka ingin kesucian hutan dijaga. Mereka mendorong supaya hutan adat diakui dan dapat dikeluarkan dari nomenklatur kawasan hutan negara. Hutan adat menjadi salah satu dari tiga status hutan di samping hutan negara dan hutan hak. Dan mereka masih berjuang sampai saat ini.


Banyak Jalan Setapak

Sebagai gunung yang berlokasi di kawasan cagar alam, pendakian kami bisa dibilang berstatus 'abu-abu'. Karena syarat resmi memasuki cagar alam harus memiliki izin dari BKSDA. Tetapi dalam peraturannya, ada pengecualian terhadap masyarakat yang bertujuan untuk kegiatan agama atau ziarah. Karena itulah, dalam pendakian ini, saya dan Remon yang tak memiliki izin tertulis, memantapkan niat untuk 'berziarah' ke gunung.

Memulai pendakian dari Tamblingan, menghadapkan saya pada banyaknya jalan setapak. Hal itu menambah kesulitan menemukan punggungan gunung sebagai jalur utama ke arah puncak. Berbekal peta digital di telepon genggam, beberapa kali saya menemukan posisi kami yang melenceng. Bahkan, saya sempat mengeluarkan golok untuk 'potong kompas', menarik garis lurus menuju ke satu titik. Saya menebas semak-semak yang makin lebat menutup jalur perjalanan.

Karena pergerakan kami di peta makin lama terlihat makin salah, kami pun berbalik. Mengulang lagi dari bawah untuk menyusuri jalan setapak lain. Yang saya perkirakan benar dan akhirnya kami yakini benar. Jalur yang benar yang saya maksud ini adalah jalur yang memang biasa digunakan oleh warga setempat atau pendaki menuju puncak Gunung Lesung.


Passiflora Edulis

Saat masih di dekat danau, saya banyak melihat bunga berserakan di lantai hutan. Berwarna loreng ungu dan putih. Kelopak dan putiknya hijau kekuningan. Awalnya, saya kira itu adalah anggrek. Tapi setelah dicari tahu, itu adalah bunga markisa ungu. Saya cari tahu di internet, nama latinnya 'passiflora edulis'. Asal mulanya dari daerah tropis dan sub tropis di Amerika. Lalu menyebar ke mana-mana. Termasuk ke Indonesia. Salah satunya ke lereng Gunung Lesung ini.

Saya pun teringat akan pendakian saya ke Gunung Tapak, gunung lain di Pegunungan Bali Tengah, beberapa waktu sebelumnya. Saya bertemu beberapa pencari buah markisa di hutan. Mereka berburu buah-buah liar yang berlendir tapi rasanya manis itu. Katanya, buah-buah itu laku dijual di pasar. Maka karena itulah, banyak buah markisa hutan dijual di pasar dan pinggir jalan di kawasan Bedugul, kawasan wisata pegunungan yang menjadi jalur utama Denpasar dan Singaraja.

Bunga markisa ungu atau passiflora edulis.


Shinrin Yoku

Suasana pendakian kami ke Gunung Lesung cukup sunyi. Suara raung kendaran bermotor yang sebelumnya kami dengar dari arah Munduk dan Gesing perlahan-lahan mulai sayup dan menghilang. Berganti dengan suara-suara hutan: desau angin, gesekan dahan pepohonan, kicau burung, dan sesekali suara-suara primata di kejauhan. 

Saya selalu menyukai kesunyian di tengah hutan seperti ini. Suasana yang tak ramai oleh pendaki. Saya merasa bisa membaurkan diri di antara lebatnya pepohonan di alam terbuka. Menghirup udara dan aroma hutan hujan tropis. Sebuah kenikmatan tersendiri yang sukar dijelaskan. 

Belakangan saya ketahui ada sebuah istilah yang disebut sebagai 'forest bathing'. Di Jepang, lumrah disebut sebagai 'shinrin-yoku'. Yang dapat diterjemahkan sebagai 'minum obat' atau 'suasana hutan'. Sebuah praktik sadar dan kontemplatif untuk tenggelam dalam pemandangan, suara, dan aroma hutan. Konon bermanfaat untuk meningkatkan sistem imun dan meningkatkan mood.

Apa yang saya lakukan 'mungkin' termasuk bagian dari praktik itu tanpa disadari. Setiap kali memasuki hutan rimba yang belum dikenal, ada kekhawatiran dan waspada yang meningkat. Ada resiko. Sekaligus ada ketenangan diri serta rasa ikhlas dan penyerahan diri pada alam semesta. 

Dan ketika merasakan dalam-dalam suasana itu di kala istirahat, hutan rimba yang menyeramkan seolah berubah menjadi sahabat. Ia terlihat ramah dan memberikan perlindungan pada manusia. Ia membangun perenungan-perenungan spiritual yang mendalam.

Hutan di lereng Gunung Lesung.


Gunung yang Suci

Seperti pada umumnya gunung dan hutan di Bali, pasti ada tempat-tempat suci di beberapa titik. Berupa 'pelinggih' yang terbuat dari susunan batu atau dahan-dahan pohon yang diselimuti kain putih dan kuning. 

Sisa-sisa 'canang', sesajen, atau bekas dupa terlihat di sekitarnya. Bagi yang tak terbiasa, sekilas terlihat menyeramkan. Seperti tempat-tempat yang dikeramatkan. Jika kita menelaah lebih jauh, hal-hal seperti itu sebenarnya biasa saja. Ilmu pengetahuan menerangkan bahwa itu adalah sensasi dalam otak manusia.

Bagi masyarakat Bali, pemandangan demikian adalah wajar. Karena gunung dan hutan itu adalah suci. Sesajen dengan wewangian dupa adalah salah satu cara masyarakat setempat mengekspresikan penghormatan pada alam. Pada gunung, pada hutan. Juga pada pohon, pada batu, dan pada para binatang.

Remon yang sudah membawa bekal 'canang sari', tak lupa melakukan ritual penghormatan itu. Saya ikut serta. Berdoa juga. Yang isi doanya tak spesial-spesial amat: semoga alam semesta dan seluruh isi jagat raya, begitulah adanya.


Anglayang dan Cerita Masa Lalu

Suasana pendakian menuju puncak tak jauh berbeda dengan gunung-gunung di Bali yang sudah saya daki sebelumnya. Sekeliling saya didominasi oleh pemandangan hijau pepohonan yang dominan berlumut. Setapak yang saya lalui sesekali samar. Sepertinya memang jarang dilalui. Tapi tentu saja saya selalu memastikan posisi kami tetap pada jalur yang benar.

Sampai akhirnya kami tiba di titik tertinggi Gunung Lesung. Puncak Anglayang, namanya. Berupa tanah datar berumput berukuran kurang lebih sepuluh meter persegi. Beberapa pepohonan yang sepertinya bukan pepohonan hutan menjadi pagar alami mengelilingi area puncak ini. Di sisi timurnya, berdiri beberapa bangunan 'pelinggih'. 

Ada satu keluarga pendaki yang saya temui di Puncak Anglayang. Mereka mendaki dari Gesing, dari sisi selatan gunung. Total jumlah mereka berlima. Sepasang suami istri bersama tiga anak mereka yang masih remaja. 

Setelah berkenalan, saya mengetahui bahwa Si Bapak memang suka mendaki gunung sejak muda. Si Ibu juga sama. Sementara sang anak sulung yang masih kuliah, sempat berpapasan dengan Remon di Gunung Sanghyang. Si sulung ini suka mendaki gunung juga. Dua lainnya masih usia sekolahan, antara SD dan SMP. Saya tak ingat pasti karena tak mencatatnya.

Yang membuat pertemuan saya dengan mereka menjadi sedikit 'surprise' adalah kisah masa lalu yang beririsan. Si Bapak bernama Ida Bagus Adi Susena. Katanya, ia biasa dipanggil Gus Adi. Ia pernah menjadi lurah di Semarapura Kaja, di Klungkung. Menjabat pada tahun 1998-2000. Semarapura Kaja adalah kelurahan yang menaungi desa tempat tinggal saya semasa kecil: Besang Kawan Tohjiwa.

Saya mengalami peristiwa penting pada tahun 2000 di Besang Kawan Tohjiwa. Sebuah kasus adat yang mendapatkan atensi besar di level kabupaten. Melibatkan pihak-pihak berwajib terkait, termasuk lurah saat itu. Kasus adat itu membuat Ayah saya tak lagi menjadi warga adat di desa kelahirannya untuk seterusnya. 

Peristiwa pada tahun 2000 itu saya anggap penting, karena memberikan pengaruh besar pada perjalanan hidup saya. Cerita masa lalu yang bagi saya cukup kelam. Tapi menjadi batu loncatan paling berguna di kemudian hari. Menjadi titik balik bagi saya dalam melihat dan menempatkan tradisi, serta kepercayaan dalam kehidupan sosial di Bali. Ia menjadikan saya lebih bijak dari sebelumnya. Kisah masa lalu saya itu, saya tuliskan di catatan lain.

Saya dan Gus Adi pun bercerita banyak tentang masa itu. Mengenang dan mengingat lagi hal-hal yang telah lewat di Besang Kawan Tohjiwa. Juga bercerita tentang gunung-gunung lain di Bali yang ingin didakinya bersama keluarga di lain waktu. Ketika Gus Adi dan rombongannya hendak kembali turun gunung dan akan berpisah dengan saya dan Remon, ia pun menitipkan salam untuk ayah saya.

Usai istirahat makan siang, Remon pun 'ngaturang canang' di pelinggih-pelinggih yang ada di Puncak Anglayang. Lalu dilanjutkan dengan berdoa. Perlahan, hujan gerimis mulai turun. Kami tak melanjutkan istirahat di puncak. Tapi bergegas berkemas. Memakai 'raincoat' dan turun. Kembali ke arah barat, arah kami datang sebelumnya. Menyusuri jalur yang sama, menuju Danau Tamblingan.


Pendakian Kedua dari Gesing

Pendakian kedua ke Gunung Lesung, saya lakukan tujuh bulan kemudian dari pendakian yang pertama. Kali kedua ini, saya awali dari sisi selatan, dari Desa Gesing. Berdua lagi. Bersama Remon juga.

Titik awal pendakian Gunung Lesung dari Gesing ini lebih sulit dicapai. Juga lebih jauh. Dari Munduk atau titik awal pendakian sebelumnya, jalan menuju Gesing melalui medan yang cukup sulit. Jalannya kecil berkelok-kelok. Juga melalui lereng-lereng yang terjal.

Setelah itu, harus melalui jalan kecil panjang yang cukup dilalui satu kendaraan roda empat. Jalannya hanya jalan semen dengan dua lajur . Masing-masingnya untuk bagian kanan dan kiri roda kendaraan. Di tengahnya kosong dan ditumbuhi rumput. Jika berpapasan, harus mencari tempat yang agak luas. Untung saja, kami tak ada berpapasan dengan kendaraan roda empat. Hanya dengan satu dua sepeda motor petani setempat.

Di sepanjang jalan, saya melihat kebun kopi dan cengkih membentang di banyak tempat. Yang saya tahu, Munduk dan Gesing serta kawasan sekitarnya memang terkenal akan kopi dan cengkih. Kopi sudah ada sejak zaman Belanda. Sedangkan cengkih sejak 1970-an, menggantikan  kopi yang harganya jatuh saat itu. Lalu kopi dikembalikan lagi, hingga makin terkenal sampai saat ini.


Joglo Kedatuan

Titik awal pendakian Gunung Lesung dari Gesing adalah di sebuah tempat terbuka dataran tinggi. Berlokasi di sebuah 'sadelan' besar atau pertemuan dua punggungan gunung. Tepat di batas hutan alami Cagar Alam Batukaru yang bersisian dengan kebun-kebun penduduk.

Saya memarkirkan kendaraan di bawah sebuah pohon jambu. Tempat ini sepertinya baru dibuka. Sebuah rumah kayu joglo berdiri di tengah lahan. Di sekitarnya, bebatuan besar hasil galian terkumpul. Tebing bukit kecil di sebelahnya terlihat masih dalam proses penggalian. Gunung Sanghyang terlihat jelas dari tempat ini.

Sore saat saya turun gunung, sebuah truk datang mengangkut bebatuan dari tempat ini. Dari sopir truk itu, saya mengetahui bahwa lahan puluhan hektar di perbatasan hutan ini dimiliki oleh seorang brahmana dari Griya Belatungan di Tabanan. Brahmana tersebut yang berkawan baik dengan seorang politisi dari Jakarta.

Mereka membangun rumah joglo di tempat ini sebagai tempat peristirahatan yang hanya dikunjungi saat-saat tertentu saja. Joglo ini disebut sebagai Joglo Kedatuan. Sebuah proyek pembangunan pura di Puncak Gunung Sanghyang juga diinisiasi oleh sang brahmana tersebut.


Mendaki di Kala Mendung

Perjalanan mendaki menuju Puncak Anglayang pun kami mulai dari Joglo Kedatuan. Menyusuri hutan lebat yang masih alami. Sepi dan rasanya jarang ada pendaki yang mendaki ke gunung ini. Cuaca saat itu mendung. Membuat suasana di hutan sedikit lebih gelap dari biasanya.

Pada pendakian pertama, saya mengingat masa lalu karena bertemu dengan mantan lurah saya. Pada pendakian kedua ini, saya juga mengingat masa lalu. Tentang mimpi saya beberapa hari sebelumnya yang masih terus saya ingat. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba bermimpi. Yang kemudian saya ceritakan pada Remon, sambil mengingat masa-masa itu, masa-masa saya yang telah berlalu di waktu dulu. 

Lucu. Terharu. Dan ambigu. Mimpi itu mengajak saya bernostalgia. Yang enggan saya tuliskan secara tersurat begitu saja. Tapi beberapa kutipan mengalir menjadi bumbu dalam cerita saya pada Remon. Salah satunya adalah kutipan dari Goenawan Mohamad, yang mengatakan bahwa, "Nostalgia itu adalah ketika yang manis terasa pahit, dan yang pahit terasa manis. Karena hidup telah menjadi kenyataan." 


Kawah Nagaloka

Jika melihat penampakan kontur Gunung Lesung pada peta, ada sebuah puncakan dengan cekungan kecil di tengahnya. Itulah Kawah Nagaloka, sebuah kawah mati yang berupa lubang gua. Berada di antara lebatnya pepohonan yang penuh lumut. Konon, gua itu sangat dalam. Dari cerita-cerita yang ada, dikisahkan tembus sampai ke Laut Bali.

Beberapa waktu kemudian, ketika saya sudah kembali ke rumah, saya yang penasaran mencari tahu tentang Kawah Nagaloka di Gunung Lesung. Ternyata, seorang penelusur gua sekaligus aktivis penggiat lingkungan pernah menuruni lubang kawah tersebut. 

Dari penuturannya, Nagaloka terhitung sangat dalam. Satu tingkat paling atas berkedalaman 50 meter. Tingkat kedua yang melalui celah sempit berkedalaman sekitar 20 meteran. Tingkat ketiga semakin ke bawah semakin dalam dan tak terhitung.

Tak ada bekas kehidupan di dalam lubang kawah purba itu. Hal yang masuk akal, karena masih ditemukan kandungan gas karbon beracun dalam intensitas yang kecil. Di masa lalu, kemungkinan intensitasnya lebih besar dan pekat. Wajar, dulunya adalah kawah.

Tapi di sana ditemukan pula beberapa tulang belulang bangkai hewan. Yang diperkirakan berasal dari hewan-hewan yang dijadikan 'pekelem' atau korban ritual yang dilemparkan dari atas ke dalam gua oleh masyarakat setempat. Ngeri sekali. Tapi begitulah di Bali. Beberapa hal, walaupun mengerikan, menjadi bagian dari kepercayaan dan tradisi.

Saya dan Remon melihat mulut gua lubang Nagaloka itu dari jarak yang cukup jauh. Dari tanah datar, tempat beberapa 'pelinggih' berdiri. Waspada supaya tidak tergelincir jatuh. Selain Puncak Anglayang, tepi Nagaloka ini juga merupakan tempat yang disucikan di Gunung Lesung.



Melipir Tepian Kawah Lesung

Sesuai namanya, Gunung Lesung memang menyerupai lesung, tempat menumbuk padi atau bahan pangan yang terbuat dari batu. Lubang lesung tersebut terletak di puncak, berupa cekungan besar dengan diameter sekitar enam ratus meteran. Cekungan ini berbeda dengan cekungan lubang Nagaloka yang terletak agak di bawah, di pinggang gunung.

Bentukan lesung itu terlihat jelas ketika kami melanjutkan perjalanan dari Nagaloka ke Puncak Anglayang. Di mana jalur perjalanan adalah melipir tepian cekungan itu dari sisi barat. Di sela-sela pepohonan, rumput-rumput tinggi dan padang ilalang serta perdu terlihat tumbuh di dalamnya. Konon, jika musim penghujan, cekungan itu akan menjadi rawa-rawa.

Perjalanan ke Puncak Anglayang tidak begitu melelahkan. Hal itu karena elevasinya yang rendah. Pada dasarnya, melipir di tepian cekungan menunjukkan bahwa kita sudah mencapai puncak. Hanya saja, tidak pada titik tertingginya. Titik tertinggi atau puncak ada di sisi sebelah barat laut. Sekitar satu kilometer dari tepian cekungan pertama, yang kita temui semenjak dari Nagaloka.


Hujan di Puncak Anglayang

Tepat ketika sampai di puncak dan selesai berdoa, hujan turun dengan lebatnya. Buru-buru, saya membentangkan 'flysheet'. Untuk dijadikan tempat berteduh dan beristirahat makan siang. Usai menyantap bekal nasi bungkus yang kami beli di warung dekat rumah di Denpasar, saya pun mengeluarkan kompor 'trangia' untuk membuat air panas. Lalu menyeduh kopi.

Menikmati kopi di bawah bentangan 'flysheet' saat hujan di puncak gunung terasa nikmat sekali. Remon terlihat senang dan menyukainya. Ia mengatakan bahwa ini adalah pertama kalinya berteduh saat ke gunung, sambil tertawa-tawa. Kami seperti anak kecil yang sedang bermain di tengah hujan.

Dalam benak saya, terlintas pikiran bahwa begitu penting kita yang telah dewasa bisa merasakan perasaan seperti anak kecil lagi. Menikmati air deras yang turun dari langit. Yang sangat gembira, hidup dengan gemilang di masa kini. Bersenang-senang menbikmati apa pun yang ada. Begitu polos dan penuh rasa ingin tahu. Konon, rahasia awet muda adalah menjadi sederhana dan bahagia seperti anak kecil. Bagaimana menurutmu?


Turun

Sejam lebih kami bersantai di Puncak Anglayang. Tentu saja kami tak mungkin menunggu hujan reda untuk kembali turun. Setelah berkemas, perjalanan pun dilanjutkan. Turun gunung dengan menyusuri jalur yang sama. Kembali ke arah Gesing.

Saat tiba lagi di Joglo Kedatuan, saya membersihkan sepatu yang penuh lumpur. Juga menyeka kaki yang berdarah karena gigitan pacet. Hujan masih terus turun. Kali ini gerimis. Saya menikmatinya. Menghirup aroma udaranya. Sambil menatap awan-awan mendung, yang bergerak di sela-sela lekukan gunung. []


I Komang Gde Subagia | Buleleng, Juli dan Desember 2022

Comments