Skip to main content

Dari Aimoto ke Isiali

Saya mendengar burung-burung berkicau menyambut pagi di sekitar Aimoto. Lalu merasakan sinar matahari menyusup, melalui celah-celah dinding selter yang saya tempati. Bangun dari tidur, saya teringat kisah semalam. Tentang mahluk-mahluk menyeramkan dan masih terngiang di telinga. Di luar, tajuk hutan seperti menyembunyikan kisah misteri yang sunyi.


Perjalanan menuju Isiali.


Kisah Pemburu Kepala

Ketika zaman berubah, dan tahun berganti tahun, ada kisah tentang tradisi mengerikan di Pulau Seram. Tentang perburuan kepala manusia. Ritul keramat yang dijalankan oleh Suku Nuaulu, salah satu suku asli yang mendiami bagian selatan pulau ini.

Saya mengingat itu karena cerita semalam. Tentang kuyang atau mahluk gaib  bersosok kepala tanpa badan. Adakah tradisi berburu kepala berkaitan dengan mahluk-mahluk gaib legenda Nusantara itu? Entahlah. Kuyang juga begitu dikenal di Kalimantan. Suku Dayak di sana juga memiliki tradisi yang sama.

Suku Nuaulu memenggal kepala sebagai persembahan pada nenek moyang. Bagian dari upacara adat. Mereka percaya, tradisi itu wajib dilakukan demi terhindar dari malapetaka. Bagi suku ini, kepala manusia memiliki arti penting. Praktik tersebut dianggap menjadi simbol kebanggaan dan kekuasaan bagi kaum lelaki. Seperti bisa dijadikan mas kawin ketika meminang seorang gadis.

Kini, tradisi itu telah lama dihentikan. Jelas, itu adalah tradisi yang melawan hukum. Karenanya, kebutuhan upacara adat diganti dengan kepala ayam. Lebih sering menggunakan kepala rusa atau kuskus. Setahu saya, upacara adat sebelum mendaki gunung beberapa hari lalu di Piliana, harusnya berisi ritual pemotongan kepala ayam. Tapi itu tidak dilakukan. Saya tak tahu alasannya.

Walaupun tradisi itu telah punah, peristiwa terakhir tercatat terjadi pada tahun 2005 silam. Itu menjadi tindakan kriminal. Pembunuhan yang diancam pidana. Sesuai hukum yang berlaku di Indonesia. Pelakunya memang ditangkap polisi. Tapi kisahnya terlanjur tersebar dan menjadi menakutkan. Mengingatkan orang akan tradisi yang sudah dilarang itu.

Bahkan ada yang bercerita. Hal-hal seperti itu masih bisa terjadi pada masa sekarang. Kalau terjadi, bisa ditutupi. Semisal jika ada yang berburu rusa di hutan untuk dicari kepalanya, tapi tak berhasil, lalu bertemu manusia? Siapa yang menjamin tak ada peristiwa kriminal di pedalaman? Karena beberapa kali ada orang hilang di hutan dan tak pernah ditemukan. Orang pun mengira-ngira.

Sebagai orang Bali, saya jadi ingat dengan tradisi upacara-upacara adat di Pulau Dewata. Saya sering trauma melihat anak ayam yang dipotong lehernya dalam ritual mecaru. Atau tradisi sapi yang disembelih, lalu diambil kepalanya, di desa tempat kelahiran saya. Tidakkah itu menyiratkan bahwa kepala binatang-binatang tersebut adalah sebuah simbol? Tidakkah ada kisah tersembunyi tentang tradisi berburu kepala manusia di Bali pada masa yang silam?


Kain merah terikat di salah satu pohon di tengah hutan.
Walaupun sebagai penanda jalur, kain ini mengingatkan saya akan kain ikat kepala yang dipakai oleh sebagian besar masyarakat suku-suku asli di Pulau Seram.


Perjalanan Hari Ini

Setelah menyelesaikan segala urusan pagi hari; seperti sarapan, berkemas ulang, maupun 'menembakkan bom nuklir'; perjalanan hari ini pun dilanjutkan. Ical Pelu, Irfan, Fifi, Asyraf, dan saya mulai meninggalkan Aimoto. Disusul teman-teman yang lain: Fitri, Ad, Mak, dan Aldasir. Yang lain, lebih di belakang lagi dan tak terlihat.

Karena banyak, kami seperti terpecah menjadi tiga rombongan. Dalam rombongan tengah, seingat saya ada Adul bersama Dwi, Mazlan, Dion, Naomi, Rike, dan Daus. Sementara rombongan paling belakang ada Ical Gondrong bersama Pak Arif, Ibu Dian, dan Ibu Liany. Sementara para porter ada yang sudah berangkat lebih awal, ada juga yang paling belakang membawa perlengkapan.

Tujuan hari ini adalah Pos 4 yang bernama Isiali. Sebelum mencapainya, ada beberapa titik acuan penting yang akan dilalui. Antara lain: Aiulanusalai, Teleuna, Pos 3 alias High Camp, dan Puncak Manukupa. Saya sudah menandai titik-titik itu di peta digital yang saya gunakan. Dalam horizontal, jarak tempuh hari ini sekitar tujuh kilometer. Dengan elevasi seribu meter lebih. Lumayan.


Peta perjalanan dari Pos 2 Aimoto ke Pos 4 Isiali (klik gambar untuk memperbesar).


Aiulanusalai

Perjalanan awal menurun. Melalui lembahan dan menyeberangi sungai kecil, yang sepertinya bagian dari sungai di Aimoto. Lalu kemudian menanjak perlahan. Dan mulai curam. Pepohonan tinggi dan rapat. Di jalur ini, banyak terdapat batuan licin yang sepertinya mudah terlepas.

Jika dibandingkan dengan kemarin, hutan yang dilalui hari ini tampak sedikit berbeda. Saya tak merasakan adanya nyamuk lagi. Saya baru sadar, nyamuk-nyamuk keparat, yang banyak ada di bawah, sudah tak ada semenjak bermalam di Aimoto. Sepertinya karena ketinggian sudah melebihi seribuan meter dari permukaan laut. Nyamuk memang tak bisa di tempat dingin. Walaupun berkeringat, gerah tak terasa lagi. 

Setelah berjalan sekitar tujuh ratusan meter, saya pun tiba di Aiulanusalai. Bersama teman-teman rombongan yang pertama. Tempatnya berupa dataran. Cukup luas. Rasanya bisa digunakan untuk mendirikan beberapa tenda. Biasanya jarang pendaki bermalam di sini. Itu karena tak ada sumber air. Lagipula, Aimoto yang memiliki air juga tak terlalu jauh

Dan sekali lagi, tak ada infomasi akurat tentang nama tempat. Kenapa dataran yang menyerupai puncakan kecil ini dinamai Aiulanusalai? Kosa katanya cukup susah diucapkan. Kami yang baru pertama kali mendengarnya, tak bisa langsung mengejanya dengan benar.


Saya melihat siput dalam perjalanan ke Isiali.


Penanda Aiulanusalai.


Beristirahat di Aiulanusalai.


Teleuna

Dari Aiulanusalai, perjalanan dilanjutkan menuju titik selanjutnya: Teleuna. Di peta, ini adalah satu titik punggungan utama dari Puncak Gunung Binaiya. Dari Aiulanusalai, jalur tergambar seperti memotong punggungan dari arah samping. Jarak antar garis konturnya sangat rapat. Artinya jalur akan lebih terjal dan curam. Mari kita lihat.

Benar saja, tanjakan yang saya temui kemudian tak kenal ampun. Saat melangkah, dagu dan lutut seakan bertemu. Begitu terus. Kata Ical Pelu, di jalur inilah istilah 'mental dibina fisik dianiaya' tercetuskan. Kalimat yang kemudian disingkat menjadi kata Binaiya, disesuaikan dengan nama gunung ini. Katanya, mental para pendaki runtuh di jalur ini karena tanjakannya seolah menganiaya fisik mereka.

Tepat saat saya dan teman-teman rombongan pertama tiba di Teleuna, langit perlahan mulai gelap. Mendung sudah datang. Sesekali suara gemuruh terdengar di langit. Waktu hampir tengah hari. Kami semua mulai lapar. Tapi rencana makan siang hari ini adalah d Pos 3. Jaraknya masih satu setengah kilometer lagi.


Beristirahat di Teleuna.


Hutan Lumut

Saya dengar ada permintaan ke Ical Pelu. Melalui walkie talkie, Adul meminta kami menunggu. Ia menyarankan untuk makan siang di Teleuna. Tapi itu tak dilakukan. Rencana untuk istirahat dan berkumpul lagi di Pos 3 tetap dilanjutkan. Pos 3 memiliki selter. Dan hujan sepertinya akan turun. Lebih baik berisitirahat di pos yang ada tempat berteduhnya. Daripada membuka flysheet di alam terbuka.

Di bawah langit mendung, kami pun meninggalkan Teleuna. Jalur berikutnya menyusuri punggungan gunung. Tanjakan tak banyak seperti sebelumnya. Saya bisa mempercepat langkah di sini. Tetapi akhirnya tak bisa cepat-cepat juga, karena suasana hutan menjadi menarik. Yaitu menyusuri hutan lumut. Sayang untuk diabaikan begitu saja.

Sepanjang jalur, dahan-dahan pepohonan penuh lumut. Begitu juga dengan akar-akar dan bebatuan, hampir semuanya berlapiskan tumbuhan kecil penghasil banyak klorofil itu. Ada juga tumbuhan kantong semar yang menjamur di berbagai tempat. Saya yang berjalan sendiri, seperti menyusuri labirin hijau yang panjang. Rasanya tak berbeda dengan latar-latar film Lord of The Rings, saat Frodo Baggins dibuntuti oleh Gollum.

Selepas hutan lumut yang lebat, jalur mulai menemui bebatuan yang lebih banyak. Seperti membuka ingatan akan apa yang saya lihat selama ini, yaitu pemandangan Binaiya di internet. Bebatuan tersusun di sepanjang lintasan. Di beberapa tampat terbuka, akar-akar pepohonan menyembul. Punggungan-punggungan gunung di sebelah timur dan barat sesekali terlihat di balik kabut.

Lalu yang tak diharapkan pun datang. Hujan turun. Awalnya gerimis, makin lama makin deras. Mantel anti air pun dikenakan, walaupun itu sedikit mengganggu pergerakan. Kondisi yang basah, serta suasana sekitar yang putih berkabut, membuat saya mempercepat langkah. Hingga akhirnya saya tiba di Pos 3. Kemudian beristirahat di selternya.


Hutan lumut.


Hutan lumut.


Salah satu jenis lumut dilihat dari dekat.


Kantong semar.



Dwi sedang berpose di hutan lumut.


Gejor (Bli) di hutan lumut, sedang melihat burung yang lewat.


Asyraf, Ical Pelu, Irfan, dan Fifi sedang istirahat di lorong hutan lumut.


Irfan sedang mengecek sinyal telepon seluler.


Beristirahat di jalur yang penuh bebatuan


Pos 3 di High Camp

Hujan turun makin deras. Pakaian saya sedikit basah. Satu per satu, teman-teman saya yang lain berdatangan. Lalu kami berjejalan di dalam satu selter. Beristirahat dan menghangatkan badan dengan teh panas yang baru diseduh. Minuman itu terasa begitu nikmat di tengah hutan kala hujan seperti ini.

Pos 3 yang disebut High Camp ini, memiliki dua selter. Hanya saja kondisi salah satu selter tidak aman. Saya melihat tiang-tiang kayu penyangga utamanya rapuh termakan usia. Sangat berbahaya. Jika kita di sana, apalagi dengan banyak pergerakan, besar kemungkinannya bisa roboh. Sementara tempat datar tak banyak. Rasanya tak nyaman juga jika membuka tenda di sekitar tempat ini.

Saat beristirahat, salah seorang yang menarik perhatian saya adalah Alwi Picauli. Seorang pemuda Maluku dari Seram Bagian Timur. Saya baru ngeh dengan kehadirannya hari ini. Ia paling ngelawak di antara yang lain. Ada saja lelucon darinya. Entah, ia di sini sebagai pemandu atau porter. Tapi yang pasti, ia bertugas sebagai koki dalam pendakian. Saya melihatnya begitu gesit dalam urusan logistik dan mengatur makanan. Mantap!


Menuju Pos 3 High Camp.


Salah satu selter di Pos 3 High Camp yang tiang utamanya terlihat rapuh.
Hati-hati menggunakannya. Atau jangan gunakan!


Alwi sedang memasak rendang.


Puncak Manukupa

Setelah perut kenyang dan tenaga pulih, perjalanan dilanjutkan. Kali ini jalur menanjak lagi. Menuju salah satu titik ketinggian punggungan yang berupa puncakan. Puncak itu bernama Manukupa. Tingginya sekitar 2280 meter dari permukaan laut (mdpl). Memiliki beda ketinggian 350 meter dengan Pos 3. Jauhnya sekitar satu kilometer lagi.

Jalur masih berlumut. Dengan bebatuan di sana sini. Hutan sesekali tertutup, sesekali terbuka. Hujan tetap turun. Masih deras. Irfan dan Fifi yang ada di depan saya sesekali tak terlihat. Mereka seolah ditelan oleh kabut. Jarak pandang terbatas. Jika cerah, puncak-puncak di sekitar kami harusnya kelihatan. Lalu kemudian jalur makin dipenuhi bebatuan. Makin lama, makin banyak. Tajam dan kokoh. 

Saya pun tiba di Puncak Manukupa. Lalu memperlambat langkah. Katanya, di puncak ini telepon seluler bisa mendapatkan sinyal. Karena kondisi basah dan telepon saya bermode pesawat, saya tak mendapatkan apa pun. Nantinya saat tiba di Isiali, beberapa teman mengatakan bahwa mereka bisa mengirimkan pesan Whats App. Bahkan ada yang membuat story di Instagram. Walah!


Menuju Puncak Manukupa.


Hujan turun.


Mendaki saat musim kampanye. Pilih nomor lima!


Teman-teman saya dalam rombongan belakang mulai berdatangan menuruni Manukupa.

 

Hujan dan Kerinduan

Teman-teman saya tak banyak menghabiskan waktu di puncak. Selain karena hujan, rasanya mereka semua ingin cepat-cepat sampai di Pos 4 untuk segera beristirahat. Saya yang memperlambat langkah, kemudian berhenti di salah satu lereng. Berlindung di balik rimbunan cantigi. Menikmati rintik hujan dalam balutan kabut. Dan juga suara gemuruh di langit.

Angkasa terlihat berwarna ragu-ragu. Cenderung abu. Tidak putih. Tidak juga biru. Hujan di Binaiya ternyata tak jauh berbeda dengan hujan di Jakarta. Hujan yang membuat para pejalan ragu beranjak untuk bepergian. Hujan yang menghalangi sepasang kekasih untuk bertemu menjalin asmara. Tapi tak menghentikan orang gila, yang menari-nari menikmati guyuran airnya. Dan hujan itu adalah sebuah metafora.

Saya termenung. Dan merenung. Melihat butiran-butiran bening jatuh dari langit. Konon ada yang percaya, bahwa hujan adalah pertanda alam. Yang sedang menyenandungkan lagu. Alunannya hanya bisa didengar oleh mereka yang sedang merindu. Memangnya saya rindu siapa? Atau tepatnya rindu pada apa? Yang pasti, saya rindu teh hangat dan mi rebus isi telur. Kerinduan paling hakiki dan bukan metafora pada saat-saat seperti sekarang.


Asyraf sedang menikmati hujan.


Tiba di Isiali

Dari Puncak Manukupa, jalur yang berbatu dan terbuka makin curam. Di sebuah lembahan di bawahnya, terlihat pepohonan lebat. Membentuk hutan yang berselimutkan kabut. Di sanalah posisi Pos 4, yang disebut sebagai Isiali itu berada. Jaraknya sekitar lima ratusan meter lagi. Medannya tak  menanjak lagi. Turun terus, seperti yang tergambar di peta.

Setelah melalui jalur bebatuan, saya pun memasuki vegetasi hutan itu. Jalurnya banyak ditumbuhi lumut. Di sekitar Manukupa dan Isiali ini banyak dihuni rusa. Bahkan jalur pendakian ini juga sering dilalui oleh hewan pemamah biak tersebut. Ada kotorannya, seperti kotoran sapi. Tapi sayang, saya tak melihat hewan itu sekali pun. Hanya Alwi yang melihatnya, tapi tak sempat memotretnya.

Dan akhirnya, saya tiba di Isiali. Menyusul teman-teman yang hampir semuanya sudah tiba duluan. Ada tiga selter. Semua ruangannya cukup luas. Dua dipakai sebagai tempat istirahat. Satu dipakai sebagai dapur, sekaligus tempat istirahat para porter. Yang ternyata selter-selter tak cukup. Sehingga itu memaksa kami mendirikan tenda lagi.


Pos 4 Isiali.


Karena usai hujan, jemuran bergelantungan di mana-mana.


Isiali

Di Isiali ini, tak ada sumber air seperti di Aimoto. Yang ada hanya drum-drum plastik penampung air hujan. Di mana hujan seharian ini membuatnya penuh. Kami pun tak cemas kekurangan minum. Tapi air tampungan itu tak bisa langsung diminum begitu saja, harus dimasak dulu. Dan kami harus bijaksana menggunakannya. Jangan sampai air, yang terbatas itu, habis untuk keperluan tak penting.


Drum plastik penampung air hujan Isiali.

Menjelang malam, kerinduan saya saat kehujanan tadi pun terobati. Adul dan beberapa teman memasak mi rebus. Saya ikut bergabung. Ternyata mereka juga sama, kangen dengan makan berkuah tersebut. Biasanya, mi menjadi makanan membosankan di gunung. Tapi sekarang, hujan telah mengubah selera kami sebelumnya. []


I Komang Gde Subagia | Maluku, Desember 2023


RELATED:

Comments