Skip to main content

Kota Musik dan Trauma Masa Lalu

Ambon City of Music. Walaupun saya membacanya terbalik, tulisan raksasa itu seperti menyambut. Posisinya membelakangi saya. Itu terlihat di tepi pantai Teluk Ambon, saat dalam perjalanan dari Bandara Pattimura menuju pusat kota. Seikonik itukah Ambon dengan musik?

Motif trotoar di Kota Ambon.


Kota Musik Dunia

Pikiran saya melayang ke belasan tahun lalu. Pada masanya, lagu Januari begitu populer disenandungkan oleh Glen Fredly di radio dan televisi. Atau lebih jauh lagi ke puluhan tahun silam, saya bisa tahu lagu-lagu Bob Tutupoly karena sering didengarkan ayah saya di tape compo yang bisa memutar kaset pita.

Siapa lagi? Daftar penyanyi yang masuk di kepala saya adalah Andre Hehanusa, Broery Marantika, Franky Sahilatua, Marcello Tahitoe, bahkan sampai Melly Goeslaw. Atau mungkin banyak lagi penyanyi-penyanyi muda jebolan kompetisi yang tak saya kenal. Nama-nama yang memiliki darah Ambon. Atau setidaknya memiliki leluhur dari Maluku. Tuhan seperti menciptakan pita suara khusus untuk orang-orang tersebut.

Ambon, kota besar yang ramai di Maluku ini mungkin tidak memiliki gedung-gedung pencakar langit. Juga tak memiliki commuter line atau rapid bus transit seperti di Jakarta. Tetapi mencari angkutan kota tanpa suara musik, seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Mungkin sedikit berlebihan. Tapi angkot tanpa musik, memang susah dan jarang ditemukan.

Trotoar yang saya susuri ketika keliling kota, didesain menarik. Berwarna-warni bertuliskan Ambon City of Music. Jalur penyeberangan orang atau zebra cross, bermotifkan tuts piano hitam putih. Kursi-kursi bersantai di pinggiran trotoar ada pula yang berbentuk gitar. Semua itu seperti dipoles untuk meneguhkan bahwa Ambon adalah kota musik.

 Jalur penyeberangan orang atau zebra cross, bermotifkan tuts piano hitam putih.

Lihat! Ada kursi yang berbentuk gitar.

Usut punya usut, Ambon baru mendapatkan julukan sebagai kota musik dunia pada 31 Oktober 2019 silam. UNESCO menetapkan Ambon dalam daftar kota kreatif di dunia bersama 65 kota lainnya. Menjadi satu-satunya kota di Indonesia yang tergabung dalam Jaringan Organisasi Kota Kreatif.

Dari yang saya tahu, penyanyi Ambon terkenal kebanyakan bukan ada di Ambon. Melainkan muncul dan ada di daerah-daerah lain. Jakarta tentu adalah salah satunya. Atau di luar negeri seperti di Amerika dan Eropa. Kenapa bisa begitu? Sepertinya mungkin karena tak banyak ada fasilitas musik di Ambon.

Jika saya cari informasinya di internet atau buku-buku koleksi saya, sekolah musik pertama di Ambon baru dibuka tahun 2019 lalu. Rasanya itu pun untuk mengejar syarat supaya Ambon bisa ditetapkan sebagai kota musik. Karena salah satu syaratnya adalah adanya sekolah musik.

Satu per satu sekolah musik mulai bermunculan di Ambon. Begitu juga dengan dibangunnya gedung pertunjukan seni. Serta ditingkatkannya kualitas studio-studio rekaman. Rasanya tak lama lagi akan makin banyak penyanyi Ambon yang benar-benar lahir dan besar di Ambon.

Jika dulu perang saudara pernah terjadi dan menjadi catatan kelam, maka musik mungkin bisa menjadi salah satu solusinya. Ada orang yang mengatakan bahwa peperangan bisa dihentikan dengan nyanyian, karena bisa mendamaikan. Di Ambon, orang-orangnya seperti tak perlu belajar bernyanyi. Konon suara indah mereka bawaan dari lahir. Tak peduli ia Islam atau Kristen, semua bisa bernyanyi. Dan itu adalah kebanggaan. Bisa mempersatukan perbedaan, bukan? Bagaimana menurut Anda?


Taman Pattimura

Ketika hari telah menjelang siang dan matahari mulai terik, saya melangkahkan kaki masuk ke kawasan Taman Pattimura. Yang paling mencolok terlihat dari taman ini adalah monumen berbentuk gitar. Berdiri di tengah sebuah kolam kecil. Seperti menegaskan, ia adalah taman di kota musik. Berlatar belakang tulisan besar. 

Taman Pattimura.

Dari nama taman ini, kita semua tentu ingat siapa Pattimura. Pelajaran sejarah di sekolah selalu menyebut namanya jika membahas pahlawan dari Maluku. Di Ambon, ada banyak hal yang bernama Pattimura: bandara, universitas, komando militer, media televisi, bahkan sampai hal-hal kecil seperti jasa binatu dan tempat kebugaran. Termasuk taman kota yang saya kunjungi ini.

Pattimura bernama asli Thomas Matulessy. Ia lahir di Saparua, sebuah pulau kecil di timur Ambon. Tapi lebih jauh, ia sebenarnya berasal dari Pulau Seram, pulau yang lebih besar di sebelah utara. Pulau tempat Gunung Binaiya berada. Gunung yang akan saya daki beberapa hari ke depan. Leluhur Thomas Matulessy berasal dari sana.

Julukan Pattimura disematkan ketika ia ditunjuk menjadi panglima perang melawan Belanda pada tahun 1817. Karenanya, ia juga memakai gelar 'kapitan'. Sehingga kemudian makin dikenal sebagai Kapitan Pattimura. Itu mewarisi gelar moyangnya, seperti yang dituliskan oleh sebuah majalah sejarah yang saya baca.

Tak jauh dari kolam kecil dengan monumen gitar, ada patung sang pahlawan. Berdiri gagah dengan kedua tangannya memegang golok dan tameng. Kepalanya berikatkan kain, yang saya asumsikan itu adalah ikat kepala warna merah, walaupun patung itu tak berwarna. Saya berasumsi demikian karena ikat kepala merah adalah identitas suku-suku di Pulau Seram.

Patung Pattimura di Taman Pattimura.

Di seberang jalan, di sebelah selatan taman, ada gereja. Namanya Gereja Maranatha. Di sana ramai. Sedang ada kebaktian. Ada banyak polisi yang berjaga dan mengatur lalu-lintas. Saya pandangi, bangunan gereja terlihat megah dan anggun, dengan salib besar terpasang di dinding dan puncak menaranya. Saya mengambil beberapa gambar gereja itu dari arah taman.

Gereja Maranatha Ambon.

Dan seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, kondisi saya tidak fit semenjak begadang di Makassar. Saya yang sudah berjalan cukup jauh, mulai lelah. Rasa kantuk sepertinya hilang. Tapi saat saya duduk di kursi taman, rasanya begitu lemas. Tidak enak badan makin muncul. Saya mengeluarkan obat masuk angin dan meminumnya. Berharap bisa mengurangi ketidaknyamanan di tenggorokan.


Gong Perdamaian

Saya beranjak dengan gontai. Dari taman, saya berjalan lagi ke arah barat. Ada Lapangan Merdeka yang sejajar dengan gedung Kantor Gubernur Maluku. Karena panas, saya berteduh di bangunan tribun lapangan. Ada beberapa remaja sedang duduk-duduk berduaan saat saya ke sana. Dan dari tribun inilah, saya kemudian melihat gong besar di seberang jalan. Itu gong perdamaian.

Gong perdamaian yang saya lihat dari Tribun Lapangan Merdeka Ambon.

Menengok lagi ke masa silam pada tahun 1999, kita semua tahu tragedi berdarah terjadi di Ambon. Kota porak poranda akibat perang saudara. Penganut Islam dan Kristen berseteru hebat. Berdarah-darah. Lalu bara perang menjalar ke kota-kota lain di sekitarnya. Terjadi bertahun-tahun. Banyak nyawa melayang. Kala itu, tersesat salah masuk gang bisa terbunuh karena beda agama.

Ketika bertemu dengan sopir taksi, tukang becak, tukang ojek, barista warung kopi, atau penjaga loket wisata; tak ada satu pun yang saya tanyai tentang kisah kerusuhan. Ada perasaan tak enak yang menjalar dalam diri saya. Perasaan yang cenderung berhati-hati. Walaupun rasa ingin tahu besar, saya selalu berpikir bahwa menanyakan masa lalu itu bisa saja mengoyak luka lama, membangkitkan ingatan dan trauma psikologis.

Rasanya ada kesunyian yang luar biasa di Ambon mengenai kerusuhan. Walaupun sekarang Ambon telah berekonsiliasi, namun itu tanpa membicarakan kejadian-kejadian nyata selama perang. Ada tabu yang seolah disepakati walaupun tak ada kesepakatan. Bayangan-bayangan masa lalu seperti teramat ngeri dan nyeri. Bahkan untuk kita ceritakan kembali pada hari ini.

Namun ketika di masa lalu banyak orang terjebak dan terpaksa terlibat dalam konflik, sebenarnya saya yakin bahwa tak sedikit orang di Maluku yang kritis dan mencoba adil semenjak dalam pikiran. Yang dengan caranya masing-masing, mereka mengambil sikap yang benar. Mereka berusaha memperjuangkan perdamaian. Perlahan-lahan menata kembali peradaban yang rusak dengan sikap toleransi. Walaupun, saya pikir, perasaan curiga mungkin tetap terasa dan tak ditunjukkan. 

Begitu juga pemerintah. Saat masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2009, gong perdamaian dibangun di Ambon. Sebuah upaya yang dilakukan untuk menghilangkan citra kota yang identik dengan kerusuhan dan kekerasan atas nama agama. Dan gong itu diharapkan bisa menjadi simbol persaudaraan dan perdamaian bagi umat manusia, apapun agamanya.

Gong perdamaian di Kota Ambon.

Negara-negara yang ikut dalam peresmian gong perdamaian.

Seperti yang sering ditulis para sejarawan: Kita menjadi 'kita' karena masa lalu. Keyakinan kita, perasaan, kepribadian, hubungan pribadi kita; semuanya adalah buah masa lalu. Kita tak membuat masa depan dari nol. Masa depan adalah perpanjangan dari masa-masa yang telah berlalu. Kita belajar dari pengalaman, dengan bertitik-tolak pada masa lalu itu, lalu mencari arah baru. Kita hanya dapat membangun masa depan yang baik setelah belajar memahami masa lampau.

Semoga niat baik dari adanya gong perdamaian di Ambon ini, sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Yaitu mampu membuat masyarakatnya hidup damai, rukun, saling menghargai satu sama lain. Yang lalu, biarlah berlalu. Peristiwa buruk yang pernah terjadi, semoga tidak punya ruang untuk terulang lagi. Astungkara! Saya ikut mengaminkannya.


Makan Papeda

Semenjak dari Taman Pattimura, saya celingukan mencari-cari di mana lokasi Benteng Victoria. Sampai akhirnya saya melihatnya dari jauh. Ternyata benteng tersebut berada di markas militer. Dua orang tentara berjaga di gerbangnya. Cuaca yang panas, kondisi yang masuk angin, dan benteng yang rasanya izin memasukinya ketat; membuat saya mengurungkan niat ke bangunan pertahanan warisan Portugis itu.

Dengan gontai, saya melangkahkan kaki. Keinginan untuk keliling kota lebih jauh makin memudar. Beberapa kali saya mengganti masker yang telah ternoda oleh batuk-batuk saya dari pagi. Saat melihat jam, waktu sudah tengah hari. Kamar saya di hotel tempat menginap rasanya sudah siap. Dan saya mulai lapar. Juga haus. Karena ini di Ambon, saya berpikir bahwa inilah waktu yang pas untuk mencari 'papeda' sebagai menu makan siang. 

Saya tak pernah makan papeda sebelumnya. Dulu sewaktu ke Ternate di Maluku Utara, saya tak sempat mencobanya. Lalu di sebuah warung makan yang bukan restoran mewah, saya masuk dan duduk. Itu karena saya melihat daftar menu tertera di depan warung: sedia papeda. Jadilah makanan khas Indonesia timur ini disajikan di depan saya. Lengkap dengan ikan berkuah dan sayur daun pepaya. Juga teh hangat dengan sedikit gula.

Papeda yang disajikan dengan ikan kuah dan sayur daun pepaya.

Bagi yang belum tahu, papeda adalah makanan berupa bubur sagu khas Maluku dan Papua. Warnanya putih. Lengket seperti lem. Saya melihatnya seperti melihat lem dari tepung kanji saat dulu membuat ogoh-ogoh di Bali. Papeda biasanya disajikan dengan ikan tongkol berkuah yang berbumbu kunyit sehingga berwarna kekuningan. Konon makanan ini kaya akan serat dan nutrisi, juga rendah kolesterol.

Lalu bagaimana rasanya? Tak berasa apa pun. Tawar. Hambar. Cara makannya juga susah, mungkin karena saya tak terbiasa. Dua garpu dipakai mengaduk sehingga bubur lengket itu melilit dan bisa disuapkan ke mulut. Yang enak malah ikan kuahnya. Jika tidak ada ikan, saya tak yakin berselera dan bisa menghabiskannya. Tapi tenang saja, papeda itu habis saya sikat.

Ibu pemilik warung juga membanggakan warungnya. Ia mengucapkan selamat datang di Ambon ketika mengetahui saya dari Bali dan pertama kali menginjakkan kaki di kotanya. Ia juga membanggakan masakannya, seperti berpromosi. Katanya, ada langganannya yang seorang bule dari Perancis, tinggal di Bali, yang suka makan papeda ke warungnya jika ke Ambon. Baiklah, Bu. Papeda dan ikan kuahnya memang enak. Saya berikan penilaian bintang lima sebagai ucapan terima kasih.


Bertemu Alazier

Setelah menempuh jalanan di bawah langit Ambon yang panas, saya akhirnya tiba di hotel dan mendapatkan kamar. Usai cuci muka dan gosok gigi, saya pun merebahkan badan di kasur. Pendingin udara kamar, saya turunkan maksimal karena sebelumnya gerah dan kepanasan. Saya tertidur tanpa selimut. Dan itu adalah sebuah kesalahan. Saya jadi menggigil dan demam. Sampai akhirnya terbangun karena pintu kamar diketuk dari luar.

"Halo, Bli!" suara yang saya kenal menyapa. Itu adalah Datsir Alazier, pemuda Aceh yang tinggal di Bima. Beberapa bulan sebelumnya, ia mendaki ke Gunung Tambora bersama saya. Kami berdua akan menempati kamar ini. Sebelumnya, saya yang memesan kamar ternyata mendapatkan kamar bertipe twin. Alias dengan dua tempat tidur. Daripada satu tempat tidur menganggur, saya menawarkannya ke grup. Dan Alazier menyambut.

Alazier yang seorang tenaga kesehatan menyadari kondisi saya. Lalu menanyakan apakah saya sudah minum obat atau belum. Saya pun mengiyakan. Dan ia kemudian menyarankan untuk istirahat, supaya besok saya pulih dan bisa berangkat ke gunung. Tanpa melihat jam, saya melanjutkan tidur. Kini berselimut. Alazier setelah mandi, saya lihat pergi keluar.

Alazier saat di Gunung Binaiya.

Nantinya saat berangkat ke gunung, Alazier mengoreksi saya. Ia yang kemudian tahu bahwa saya hanya minum obat masuk angin, yang dibeli di toko kelontong, mengatakan bahwa obat seperti itu tak manjur. Hendaknya minum obat yang benar-benar obat. Ia juga nantinya memberikan obat anti radang, multi vitamin, dan satu obat lagi yang tak saya tahu jenisnya. Saya lupa, mungkin anti biotik. Yang pasti obat itu ada yang diminum sehari satu, ada yang sehari tiga. Terima kasih, Alazier.


Keliling Kota Lagi

Sore menjelang malam, saya pun keluar lagi. Mau mencari makan malam sekaligus melengkapi logistik. Setelah bangun saya merasa segar. Mungkin karena sudah mandi juga. Dari hotel, saya memesan ojek dan menuju Jembatan Merah Putih. Sore-sore seperti ini, sepertinya seru ke sana. Mencari makan malam sekalian melengkapi logistik.

Dalam jalan-jalan sore ini, yang unik yang saya lihat di Ambon adalah banyaknya penjual bensin eceran di pinggir jalan. Di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, penjual bensin eceran pasti ada, tapi tak banyak. Di Ambon, jumlahnya mungkin ada ratusan. Dalam radius beberapa meter, ada saja penjualnya. Menggunakan rak kayu untuk memajang botol-botol plastik yang berisi cairan pertamax berwarna biru.

Banyak bensin eceran yang dijual seperti ini di pinggir-pinggir jalan di Kota Ambon.


Bensin eceran dalam botol-botol plastik.

Rani, seorang perempuan penjual bensin eceran mengatakan alasannya. Bensin eceran laku keras karena orang-orang di Ambon mau lebih cepat. Cukup dengan berhenti di pinggir jalan, tangki kendaraan langsung bisa diisi. Tanpa perlu mengantri di stasiun-stasiun pengisian bahan bakar umum. Hmm... Pantas saja kendaraan-kendaraan di Ambon banyak yang ngebut. Pengemudinya ternyata ingin cepat semua.

Dan bukan pengemudi kendaraan saja yang cepat, malam juga turun dengan cepat. Pukul sepuluh malam, rasanya seperti pukul tujuh sore. Mungkin karena waktu di Ambon lebih cepat daripada Denpasar atau Jakarta. Setelah belanja logistik dan mengisi perut, saya buru-buru kembali. Esok pagi, perjalanan saya akan berlanjut ke Pulau Seram, pulau terbesar di Maluku, tempat di mana Gunung Binaiya berada. []


I Komang Gde Subagia | Maluku, Desember 2023


RELATED:

Comments

  1. Semoga kita bisa satu frame lagi ya bli gezor 🤗

    ReplyDelete

Post a Comment