Skip to main content

Berangkat ke Seram

Ini adalah catatan perjalanan saya, yang berkisah tentang penyeberangan dari Pelabuban Tulehu di Ambon ke Pelabuhan Amahai di Seram. Menuju ibu kota Kabupaten Maluku Tengah di Masohi. Menggunakan kapal cepat express yang berangkat sore. Sedikit terpaksa, karena sebelumnya kami telah ditinggal oleh kapal yang berangkat pagi.

Berangkat ke Seram.
Dua orang penumpang yang duduk di tepian kapal saat hendak merapat ke Amahai.

Di Atas Kapal Cepat

"Awas! Hati-hati kepalanya, Kakak" seru seseorang ketika saya hendak memasuki kapal. Entahlah, ia petugas atau bukan. Tidak berseragam. Tapi ia ikut mengatur alur keluar masuk penumpang yang ramai. Saya membungkukkan badan, dan berhasil masuk dengan aman.

Pintu masuk ke dalam kapal memang kecil. Juga sedikit sempit. Ditambah dua bilah papan kayu menjadi penghubung kapal dengan daratan pelabuhan. Sedikit berbahaya. Jika tak hati-hati, kepala bisa kejeduk. Atau kalau apes, mungkin bisa tercebur ke laut.

Peta Maluku
dengan keterangan jalur penyeberangan
dari Tulehu ke Amahai.

Kapal cepat yang kami tumpangi bernama Kapal Express Cantika 88. Terdiri dari dua tingkat, bagian bawah dan bagian atas. Kondisi saya tidak fit dan ingin cepat-cepat duduk. Sehingga saya tak terlalu banyak memperhatikan dan mengambil gambar. Yang pasti, di tengah hiruk-pikuk masuknya penumpang, udara cukup panas. Ada pendingin udara di beberapa titik, tapi tak bekerja.

Pedagang asongan hilir-mudik menjajakan dagangannya: air mineral, minuman bersoda, mie dalam kemasan, kacang, krupuk, permen, biskuit, dan berbagai makanan kecil lain. Semua pedagang asongan itu adalah perempuan, ibu-ibu atau mama-mama dari Maluku. Saya tak melihat seorang pun bapak-bapak yang berjualan.

Saya meletakkan ransel di bawah kursi. Setelah duduk, ternyata saya harus pindah tempat. Ada kesalahan teknis sehingga harus pindah. Tapi ransel yang sudah tersudut, saya biarkan di sana. Pindahnya cukup jauh. Saya tak melihat ada kamera pengawas. Tapi rasanya kapal cukup aman. Saya mencari informasi sebelumnya, jarang ada pencurian. Kalau pun ada kejadian, itu adalah barang tertukar atau ketinggalan.

Suasana di atas kapal.

Suasana di atas kapal.

Sebelum dan setelah kapak bergerak, saya tak melihat pramugara atau pramugari memeragakan standar prosedur keselamatan. Sebelumnya, saya sempat menonton unggahan video Instagram kenalan saya. Ia yang menggunakan kapal cepat di lokasi ini, menayangkan pemeragaan pemakaian pelampung oleh petugas kabin. Apakah mungkin karena keberangkatan kali ini penumpangnya terlalu ramai dan crowded, sehingga bagian sangat vital itu ditiadakan? Harusnya sih tidak.

Kenapa banyak orang meremehkan standar keselamatan dalam bekerja atau berkegiatan? Padahal itu sangat penting. Apalagi jika menyangkut orang banyak, seperti keselamatan penumpang di kapal, misalnya. Ini masalah profesionalisme dan tanggung jawab. Negara-negara maju seperti Jepang, Singapura, atau wilayah-wilayah Skandinavia, walaupun saya belum pernah ke sana, sangat serius dengan hal-hal yang oleh masyarakat kita dianggap hal kecil. Banyak tulisan atau film dokumenter yang mengulas hal itu.

Di negara kita, sikap meremehkan standar keselamatan seperti ini terasa biasa. Dan itu terjadi karena alasan-alasan tak masuk akal. Ada yang menganggap kecelakaan tidak mungkin terjadi. Atau bisa juga karena prosedur itu sudah sering dilakukan, sehingga membosankan dan dirasa buang-buang waktu. 

Kita memakai helm saat berkendara motor bukan karena dilihat polisi, tapi untuk melindungi kepala. Kita membawa kotak obat dalam perjalanan, bukan sengaja cari celaka supaya obat itu terpakai, lebih baik ia expired nantinya. Kita rutin membayar iuran BPJS atau premi asuransi, tentu juga lebih baik jika fasilitasnya tak pernah digunakan, bukan? Hal yang sama untuk penumpang kapal. Semua wajib dibekali pengetahuan keselamatan, tapi tak berharap itu akan dipraktikkan nantinya.


Dion, Mak, dan Pak Arif

Jarak antara Tulehu dan Amahai adalah 75 kilometer. Perjalanan dengan kapal cepat memerlukan waktu tempuh sekitar dua jam. Menyusuri selat yang memisahkan Pulau Seram dengan Pulau Ambon, Pulau Haruku, dan Pulau Saparua: Selat Seram. Jika menggunakan kapal ferry, waktu tempuh untuk sampai di tujuan sekitar lima jam. Cukup berbeda jauh. Tapi dengan ferry, kita bisa membawa kendaraan. Pengguna sepeda motor, mobil, dan truk-truk pembawa barang hanya bisa menggunakan ferry.

Saya duduk di deretan kursi bersama Dion SC. Ia seorang karyawan perusahaan pupuk. Walaupun akhir tahun dan sedang dalam perjalanan, ia sepertinya cukup sibuk. Ketika mendapatkan sinyal seluler nantinya, Dion cukup sering berkomunikasi tentang pekerjaan melalui telepon. Saya juga berutang dua minuman You C botol padanya. Saat nitip dibelikan, ia bilang santai saja dan bisa dibayar kapan-kapan. Sampai tulisan ini dibuat, saya belum ganti uangnya juga. Sepertinya saya harus melakukan perjalanan dengannya lagi supaya utang itu lunas.

Dion

Tak jauh dari saya, ada Maria Ulfa. Dari namanya di grup Whats App, saya mengira ia seorang Nasrani. Eh, setelah bertemu, ternyata perempuan berjilbab. Tangguh di gunung untuk orang seusianya. Padahal asap rokok selalu ngebul dihembuskannya kala istirahat. Ia dari Garut. Sering ikut perjalanan yang diinisiasi Adul di Shelter Garut. Dalam pendakian kami ke Binaiya, ia dipanggil dengan panggilan 'Mak' oleh teman-teman yang lain. Itu karena sifatnya yang keibuan dan mengayomi. Tapi cukup galak. Hahaha!

Mak

Lalu ada Syarief Asep. Saya memanggilnya Pak Arif. Seorang notaris di Jakarta, tapi aslinya ia dari Kuningan di Jawa Barat. Ia juga paling senior di antara kami bersama Ibu Liany, yang saya sudah ceritakan di tulisan sebelumnya. Puluhan gunung di Nusantara sudah dijajakinya sejak kuliah. Setelah Binaiya, tinggal dua gunung lagi tersisa untuknya supaya Seven Summits Indonesia komplit. Nanti setelah turun gunung dan kembali ke Ambon, saya juga berutang budi padanya. Saya numpang kamar di hotel yang telah dipesannya. Dan ia menolak, ketika saya hendak membayar separuh biaya.

Pak Arif

Kepulauan Lease

Angin laut berhembus kencang, masuk dari jendela. Menerpa wajah-wajah penumpang. Saya meminta Dion, yang duduk di samping jendela, untuk tidak membuka daun jendela lebar-lebar. Saya tak mau bertambah masuk angin. Memang enak ketika kita gerah lalu ada angin berhembus. Rasanya segar. Tapi ujung-ujungnya malah bersin-bersin dan tak enak badan. Kan nggak asik jika kita jadi sakit.

Beberapa teman saya, seperti Kak Ad dan Asyraf dari Malaysia, naik ke atap kapal. Saya yang awalnya enggan, akhirnya ikut naik. Di atas kapal, ada banyak penumpang juga. Mereka nongkrong di berbagai sudut yang aman. Kebanyakan merokok. Mungkin karena di dalam kabin, tak diizinkan menghembuskan asap nikotin itu. Dan di atap kapal, panasnya membara. Tapi itu tak terasa karena angin benar-benar kencang. Nanti kalau turun, barulah kita sadar. Kulit tiba-tiba sudah gosong saja.

Kepulauan Lease

Di sebelah kanan atau sebelah selatan jalur penyeberangan, ada Pulau Haruku. Oleh orang-orang Maluku, disebut juga sebagai Nusa Oma. Walaupun saya jauh dari atas kapal, pulau itu terlihat jelas. Sebagian besar lanskapnya hijau dengan pepohonan. Pantai-pantai di sana rasanya cukup indah dan bersih. Berwarna biru menarik di bawah teriknya matahari sore. Saya menulis demikian, karena belum pernah melihat pantai kotor dan tak layak selama di Maluku.

Lewat tiga puluh menit setelah meninggalkan Tulehu, Pulau Saparua yang kemudian terlihat. Nama pulau ini tak begitu asing di telinga. Waktu kecil, saya sangat menikmati pelajaran di sekolah yang disebut PSPB. Itu singkatan dari Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Kisah Kapitan Pattimura merebut Benteng Duurstede dari tangan Belanda, adalah salah satu isi pelajaran. Masih tersimpan di ingatan sampai kini. Saya cukup tertarik ke Saparua. Tapi sayang, bukan kali ini. Sekarang, saya harus puas hanya melihatnya dari atas kapal.

Di sebelah tenggara Saparua, ada Pulau Nusa Laut. Saya tak melihatnya langsung. Karena lebih memilih untuk kembali duduk ke dalam kabin kapal. Itu pulau kecil, tempat lahir pahlawan asal Maluku lainnya: Christina Martha Tiahahu. Nusa Laut juga dikenal dengan Nusa Halawano. Berarti Pulau Emas. Tapi di sana tak ada tambang emas. Adanya cengkih dan pala. Dua jenis rempah itu melimpah di sana. Itulah yang dimaksud dengan emas. Dulu pada masanya, rempah-rempah jauh lebih mahal dari emas asli. Membuat Bangsa Eropa memburunya, melahirkan penjelajahan dan penjajahan di Nusantara.

Kapal bergerak meninggalkan Pulau Ambon.
Pulau kecil yang terlihat di foto ini, kalau tidak salah, adalah Pulau Pombo.
Pulau Pombo adalah pulau yang berada di antara Pulau Ambon dan Pulau Haruku.


Pulau Haruku dilihat dari kapal.

Pulau Haruku dan Pulau Saparua,
terlihat menyatu karena dilihat dari jauh,
di atas kapal penyeberangan Tulehu ke Amahai

Haruku, Saparua, Nusa Laut dan pulau-pulau kecil lain di sebelah selatan Pulau Seram ini disebut sebagai Kepulauan Lease. Pulau Ambon tidak ikut dimasukkan ke dalam bagian kepulauan ini. Tapi beberapa kalangan kadang ikut memasukkannya juga. 

Keindahan pemandangan, potensi alam, dan peninggalan sejarah yang terserak di Kepulauan Lease membuat tokoh-tokoh di sana memperjuangkannya menjadi situs warisan dunia. Apa untungnya? Selain makin terkenal, berbagai keistimewaannya mendapat payung hukum untuk pelestarian. Dan yang pasti ada dana juga yang bisa dikucurkan.


Tiba di Amahai

Setelah menempuh sekitar dua jam perjalanan, akhirnya Express Cantika 88 merapat ke Pelabuhan Amahai. Saya akhirnya menginjakkan kaki di Seram, pulau terbesar di Provinsi Maluku. Apakah terasa istimewa? Rasanya, iya. Walaupun saya sedikit merasa pusing akibat kondisi kurang fit dan goyangan kapal sebelumnya.

Mulai merapat ke Pulau Seram.

Pemandangan yang terekam di Pulau Seram
ketika kapal hendak merapat ke pelabuhan:
menara telekomunikasi.

Pemandangan yang terekam di Pulau Seram
ketika kapal hendak merapat ke pelabuhan:
masjid di suatu negeri.

Pemandangan yang terekam di Pulau Seram
ketika kapal hendak merapat ke pelabuhan:
keramba ikan.

Amahai sendiri adalah sebuah negeri atau desa di Pulau Seram. Yang makin berkembang karena adanya pelabuhan. Saat saya turun dari kapal, ada banyak kuli angkut menawarkan jasa membawakan barang. Bapak-bapak, pemuda, dan bahkan yang masih anak-anak. Beda dengan pedangang asongan, tak ada perempuan atau ibu-ibu menjadi kuli angkut. Dan kami tak ada menggunakan jasa mereka. Ransel dan tas bawaan lain bisa kami bawa dalam sekali jalan.

Di darat dan di laut, selalu saja ada permasalahan dasar tentang sampah. Saat naik kapal di Tulehu, kondisi kapal sebenarnya cukup bersih. Tapi ketika hendak turun di Amahai, kondisinya berubah total. Sampah-sampah makanan berserakan di kursi dan di lantai. Beberapa penumpang saya lihat juga seenaknya membuang bungkus makanan ke laut. Hadeuh!

Siapa yang suka buang sampah sembarangan?

Walaupun beberapa sampah memenuhi pantai pelabuhan, tetapi airnya tetap jernih. Ikan-ikan kecil berkelompok berseliweran ke sana kemari. Terlihat jelas dari sempadan pelabuhan saat saya menunggu teman-teman turun semua dari kapal. Memang edan laut di Maluku ini, tetap mempesona walaupun plastik-plastik bekas mengapung dan tenggelam di dasarnya.

Sebuah angkutan kota berwarna hijau dan beberapa mobil Toyota Avanza sudah menunggu kami di parkiran. Semua ransel dan tas-tas besar dimasukkan. Ical, yang menjadi pemandu lokal kami, tampak sibuk mengatur barang supaya semuanya bisa masuk ke mobil. Segera setelah semuanya siap, kami pun bergerak meninggalkan Amahai. Menuju ke pusat kota di Masohi. Jaraknya sudah tak begitu jauh.


Tiba di Pelabuhan Amahai.


Sore beranjak malam di Amahai.


Ransel-ransel langsung memenuhi satu angkutan kota.

Malam Turun di Masohi

Langit telah berpendar jingga semenjak turun dari kapal. Sore berlalu. Malam pun turun perlahan. Waktunya cari makan. Rasanya kami semua sudah lapar. Tak semuanya sempat makan siang di Tulehu. Maka, sebuah warung nasi padang menjadi tujuan. Dan di sana, kami makan dengan lahap.

Kami telah tiba di Masohi, kota besar di Pulau Seram. Menjadi ibukota Kabupaten Maluku Tengah. Tulehu, Haruku, Saparua, dan Nusa Laut yang ada di seberang lautan; semuanya beribukota di sini. Begitulah Maluku. Satu kabupaten, bahkan kecamatan, bisa terdiri dari pulau-pulau yang terserak di atas samudera.

Di pinggir jalan di tengah kota, ada banyak penjual durian. Ternyata Pulau Seram merupakan penghasil durian. Kata Ical, saat ini sedang musim durian. Jadi kita bisa membeli durian dengan harga yang cukup murah. Lima puluh ribu rupiah bisa mendapatkan empat buah ukuran sedang atau besar. Bahkan jika mengalami puncak musim durian, harganya bisa lima ribu satunya.

Saya tak ingat persis, siapa yang kemudian membeli durian. Setelah tiba di rumah singgah, malamnya kami pesta durian di halaman. Sepertinya itu dibeli Adul dan Ical dengan patungan bersama teman-teman saya yang lain. Saya tak ikut dalam pesta itu. Lagi-lagi kondisi saya yang kurang fit menjadi alasannya. Tenggorokan saya masih radang.

Malam turun di Masohi.


Makan malam di warung nasi padang langganan.


Tiba di rumah singgah di Masohi:
kordinasi mengatur ulang rencana perjalanan.


Pesta durian. Banyak durian di Masohi.


Dua Ical

Oh, ya. Rumah singgah yang kami tempati di Masohi adalah rumah pemandu kami yang lain. Namanya Ical, tetapi ia bukan Ical yang sebelumnya. Ical yang pemilik rumah singgah ini bernama lengkap Faisal Rumata. Rambutnya gondrong. Sehingga untuk membedakan, kami memanggilnya Ical Gondrong. Ia tinggal sendiri. Sehingga ruang tamu, ruang makan, dan kamar-kamar tidur di rumahnya bisa kami tempati. Dan setahu saya, saudara dan orang tuanya tinggal di Depok, Jawa Barat.

Ical Gondrong

Ical satu lagi, yang bernama Rizal Pelu dan bersama kami semenjak dari Tulehu, oleh Adul diperkenalkan dengan sebutan Ical Pendek. Itu karena rambutnya pendek, tidak gondrong seperti Ical satunya. Panggilan yang jelek, menurut saya. Di tulisan ini, saya panggil dengan panggilan Ical Pelu saja. Ia adalah anggota Komunitas Pecinta Alam untuk Nusantara (Paunusa) di Ambon. Sudah malang melintang di Gunung Binaiya. Sering membawa pendaki untuk mendaki gunung tertinggi di Maluku.

Ical Pelu

Perubahan Rencana

Malam ini, kami harus beristirahat lebih awal. Teman-teman saya yang perempuan mendapatkan tempat di kamar. Sementara yang laki-laki di ruang tamu, lesehan di atas karpet dan di sofa bagi yang beruntung. 

Jadwal kami hari ini berantakan karena insiden ditinggal kapal. Harusnya kami ke daerah pesisir Seram bagian utara tadi siang. Mengunjungi sebuah negeri yang bernama Negeri Saleman. Maka, rencana pun diubah. Kami akan ke sana esok hari. Berangkat dari Masohi sepagi mungkin. []


I Komang Gde Subagia | Maluku, Desember 2024


RELATED:

Comments

  1. Keren bli sampai sedetil ini...trimkasih nezt kita satu trek lagi...

    ReplyDelete

Post a Comment