Skip to main content

Turun Gunung

"Kretek... Kretek..." begitu saya dengar dari kejauhan. Itu bunyi kayu dan rerumputan terbakar.

Asap tebal membumbung di bukit seberang.

Kebakaran Hutan

Menjelang tengah hari, kami mulai turun dari Puncak Tambora. Dari jalur turun kami, saya melihat asap tebal di kejauhan. Mengepul di sela-sela pepohonan. Awalnya saya mengira itu adalah awan. Tapi suara samar kretek kretek segera menyadarkan, bahwa itu bukan awan. Itu suara pepohonan terbakar. Ditambah apinya yang membesar dan makin jelas. 

Arah angin berlawanan. Tidak mengarah ke jalur kami turun. Kalau tidak, asapnya akan melalui dan menghalangi pandangan. Apinya juga akan merambat mendekat. Jalur yang kami lalui sebenarnya juga tandus. Dengan rerumputan menghitam usai terbakar. Rentan sekali tersulut api lagi.



Musim kemarau seperti ini, potensi kebakaran lahan memang besar. Di lereng Tambora, tak ada orang yang melakukan prewed seperti di Bromo tempo hari. Di mana percikan suar api pada sesi pemotretannya berubah menjadi kebakaran ganas. Melalap sebagian besar padang rumput di sana. Di sini juga tak ada gas metana yang dihasilkan tumpukan-tumpukan sampah. Seperti di beberapa TPA di Bali, yang menimbulkan kebakaran berhari-hari pada waktu belakangan ini. 

Yang saya lihat semalam, ada nyala api di kejauhan. Itu sepertinya adalah api para pemburu. Tapi api itu tak besar. Lokasinya juga berbeda. Api unggun kami di Pos 3 juga aman. Kami sudah saling mengingatkan untuk hati-hati membuat api. Apalagi di gunung yang kering. Serta hujan yang sudah lama tak turun.

Penyebab utama kebakaran ini kemungkinan karena gesekan dahan atau ranting. Atau bisa saja dari sisa arang bekas kebakaran sebelumnya. Arang-arang kecil yang masih menyimpan bara, tentu mudah tertiup angin. Menyalakan lagi baranya. Saya tak meneliti lebih jauh. Tapi angin di Tambora memang kencang.




 

Saya sedih melihat si jago merah makin membesar. Tak ada yang bisa saya lakukan. Pepohonan mungkin tak hilang seluruhnya. Rerumputan sepertinya menunggu waktu, akan segera tumbuh subur kala musim penghujan tiba. Rusa, primata, babi hutan, dan burung-burung penghuni gunung ini; sebagian mungkin selamat. Mereka bisa bermigrasi sesuai naluri. Tapi sebagian lagi; yang kecil, tua, atau sakit; mungkin menemui ajal, tak bisa menyelamatkan diri.

Kembali ke Pos 3

Tengah hari, kami beristirahat di sebuah cerukan yang ditumbuhi beberapa pohon pinus. Duduk dan berbaring di atas rerumputan. Dinaungi oleh sedikit pepohonan. Memposisikan diri senyaman mungkin. Berlindung dari sengatan sinar matahari.

Perbekalan kami ke puncak tak banyak. Hanya air minum dengan beberapa bungkus biskuit dan buah apel. Dan ternyata Abdul menugaskan Rian membawa kompor. Ia membawa mi instan juga. Dalam waktu tak lama, kami pun makan siang dengan menu mi rebus. Wuih... Mi ternikmat yang pernah saya rasakan.

Usai makan siang, beberapa rekan saya malah tertidur pulas. Mungkin karena kekenyangan. Apalagi sudah mendaki sejak pukul tiga pagi. Ditambah angin bertiup, makin menggoda mata untuk terpejam. Tapi sayang, tidur mereka tak lama. Mereka dibangunkan. Karena kami harus segera bergerak lagi, kembali ke Pos 3.

Perjalanan lalu kami lanjutkan tanpa banyak istirahat. Lebih cepat dari sebelumnya. Rasanya semua ingin segera sampai. Yang saya ingat, setelah makan siang, kami sempat istirahat lagi di Pos 5 dan Pos 4. Hanya sebentar, beberapa menit. Untuk berteduh dan menstabilkan nafas.




Kami sampai kembali di Pos 3 sekitar pukul tiga. Tak banyak cingcong, semua peserta pendakian mencari posisi. Menggelar matras di luar tenda. Lalu merebahkan badan di bawah naungan bayangan pepohonan. Malah tertidur, pada hari yang telah menjelang sore. Saya sendiri sempat tidur juga, sekitar satu jam di dalam tenda.

Ada dua orang pendaki dari Jakarta tiba. Ditemani oleh satu orang pemandu. Mereka mau melanjutkan perjalanan ke puncak pukul sepuluh malam nanti. Dengan tujuan bisa mendapatkan pemandangan matahari terbit di atas sana. Jadi, begitu tiba dan selesai mendirikan tenda, saya melihat mereka langsung istirahat.

Ide ke Labuan Jambu

Malam kedua di Pos 3 rasanya lebih santai dibandingkan malam sebelumnya. Itu karena kami sudah muncak. Tinggal melanjutkan perjalanan kembali ke Dusun Pancasila pada esok hari.

Tadi saya sempat berpikir. Bahwa dengan waktu yang tersisa pada hari ini, kami bisa saja melanjutkan perjalanan. Tak perlu bermalam lagi di hutan. Tapi tentu saja kami harus bermalam lagi sesuai rencana.

Saya berpikir demikian karena ada ide untuk menyambangi Labuan Jambu, sebuah desa pesisir Teluk Saleh sisi selatan. Tepatnya di Kecamatan Tarano, di Kabupaten Sumbawa.  Perairan di desa ini terkenal akan hiu paus. Ikan pemakan plankton yang biasanya muncul ke permukaan setiap pagi.

Abdul, Imam, dan Siska begitu bersemangat untuk ke sana. Karena itulah, jika malam ini kami bisa mencapai Labuan Jambu, maka esok paginya kami bisa berwisata melihat hiu paus. Lalu siangnya saya bisa kembali ke Bima. Tapi itu tak mungkin dilakukan. Saya tentu tak bisa memaksa teman-teman saya mengubah rencana. Untuk turun cepat-cepat hari ini, di mana sore sudah menjelang malam.

Alazier yang sudah lama tinggal di Sumbawa pernah ke Labuan Jambu. Ia berenang bersama hiu paus yang merupakan spesies ikan terbesar di bumi. Katanya, ada sedikit rasa takut. Juga rasa geli. Karena mulut ikan tersebut cukup besar, bisa mencapai lima belas meter. Itu seperti bisa menelannya. Tapi tentu saja itu tak akan terjadi. Hiu paus tidak memangsa manusia.

Obrolan Api Unggun 1

Saya selalu suka bermalam di hutan. Menghangatkan diri di depan perapian. Bercengkerama dengan teman-teman seperjalanan. Sambil minum kopi atau teh hangat. 

Karena di hutan tak ada sinyal telekomunikasi, kami tak memiliki alasan melihat layar telepon genggam. Hal yang lumrah jika berkumpul bersama teman seperi jika berkumpul di kafe-kafe di kota.

Obrolan kami pun mengalir. Topik yang saya catat adalah cerita Abdul. Ia sudah cukup lama malang melintang menjadi pemandu. Tentang kisahnya mendapatkan sertifikasi kompetensi, bidang pemanduan pariwisata gunung. 

Juga tentang pemandu lokal, yang jarang punya sertifikasi, tetapi lebih tahu seluk beluk gunung di daerah mereka. Dilengkapi pula dengan cerita dari Roy, tentang sertifiasi penyelaman yang penerapannya berbeda di lapangan.

Malam sebelumnya di depan api unggun yang sama, Abdul juga mengisahkan pengalamannya yang lain. Ia bertemu jodoh di gunung. Istrinya dulu adalah tamu yang diantarnya mendaki. 

Setelah menikah, istrinya memiliki keinginan mendaki ke Leuser sebelum hamil. Ketika ke Leuser, ia cemburu melihat Abdul menangani peserta perempuan. Dikiranya pelayanan Abdul berlebihan. Lalu apa yang terjadi kemudian?

Saat malam tiba, Abdul diminta mengantar buang air kecil oleh istrinya. Ternyata itu alibi. Sengaja menjauh dari tenda berdua, Abdul dimarahi. Marahannya sampai beberapa hari. Dan syukurlah, mereka berdua bisa baikan dan berpelukan di puncak. Romantis, ya? Kami semua tertawa mendengar ceritanya.


Obrolan Api Unggun 2

Cerita lain datang dari Bang Can. Dalam obrolan api unggun, ia mengatakan nama lengkapnya: Candra Eko Pratama. Ia dari Calabai, sebuah desa di Kabupaten Dompu. Istrinya lah yang beradal dari Dusun Pancasila di Desa Tambora, petugas di puskesdes setempat. 

Bersama temannya sejak 2010, Bang Can mendirikan usaha produksi kopi. Bernama Ompu Coffee. Yang sudah punya kebun sendiri. Juga mengambil pasokan dari petani setempat. 

Mereka sempat buka warung di Calabai, tapi tak berkembang.  Lalu kemudian membuka warung lagi di Kota Dompu. Kali ini didukung oleh CSR Pegadaian. Yang di Dompu ini, masih berjalan lancar sampai sekarang. Bahkan jadi tempat nongkrong anak-anak muda.


Hutan yang Terancam

Malam pun berlalu. Hari ketiga di Tambora. Pagi-pagi sekali kami sudah siap. Kami harus sudah turun tak lebih dari jam delapan pagi. Keputusan berangkat sepagi mungkin, kami ambil untuk bisa sampai di Doro Ncanga sebelum gelap. Tempat itu adalah padang sabana di Dompu. Waktu berangkat, kami tak sempat singgah. Jadi hari ini kami akan menyempatkan diri untuk sekedar mampir.

Kami berdelapan turun lebih awal. Bang Can beserta tiga porter lainnya berangkat belakangan. Mereka yang akan mengemas tenda dan perlengkapan kelompok. Dalam perjalanan turun, saya berjalan paling depan. Disusul oleh Wahyu dan Alazier. Lalu Imam dan Elita. Kemudian Siska dan Roy. Serta Abdul yang paling belakang.

Dalam perjalanan turun, saya berpapasan dengan ayam hutan beberapa kali. Juga beberapa burung. Sepertinya itu burung maleo, satwa endemik Sulawesi yang juga hidup di lereng Tambora. Sekelebat ada warna-warni cerah di kepalanya. Berjalan di atas tanah. Lalu lari ketika ada orang mendekat. Kejadiannya sekejap. Saya tak sempat mengeluarkan kamera untuk memotretnya. 

Agak ke bawah, menjelang Pos 2 dan turun lagi ke arah Pos 1, saya melihat kotoran-kotoran binatang. Bau busuknya menyengat. Ukurannya cukup besar. Sehingga tak mungkin itu adalah kotoran burung. Itu bukan pula kotoran babi. Setelah dipikir-pikir, saya menebak itu adalah kotoran monyet. Karena kemudian saya melihat banyak monyet ekor panjang, bergelantungan di pepohonan. Yang segera menjauh ketika saya mendekati mereka.

Tapi saya tak melihat rusa. Menurut cerita yang ada, dulu rusa itu seperti hewan ternak di Tambora. Sangat mudah dijumpai. Seiring perjalanan waktu, jumlah penduduk meningkat. Perburuan liar pun marak. Jumlah rusa jadi berkurang. Sampai akhirnya kawasan Tambora ditetapkan sebagai taman nasional. Rusa kemudian dimasukkan menjadi bagian dari satwa yang dilindungi.

Saya juga sempat melihat dua orang pemburu. Entah berburu apa. Tas dan goloknya tergeletak di tengah jalur pendakian. Yang awalnya saya kira adalah barang tertinggal oleh pemiliknya. Tapi dua pemburu itu kemudian datang membawa karung. Saya tanya, mereka bilang sedang mencari madu. Informasi dari Bang Can sebelumnya, selain madu, biasanya yang dicari oleh pemburu ke gunung adalah burung dan rusa.




Kayu dari Tambora

Menjelang Pos 1, kami sampai di jalan tanah yang agak besar. Yang cukup lebar dan bisa dilalui kendaraan roda empat. Hal ini sudah saya ceritakan pada bagian awal pendakian. Setelah turun meninggalkan jalan itu menuju Pos 1, saya mendengar deru kendaraan. Sepertinya sebuah truk. Kata Abdul, truk itu mengangkut kayu dari gunung. Kayu hasil penebangan liar, dong?

Dari Laporan Jurnalistik Kompas yang saya jadikan sumber acuan, ada dua jenis pohon yang tumbuh melimpah di Tambora. Yang pertama adalah pohon sepang. Dikenal sebagai kayu merah karena warna rebusannya yang merah. Secara tradisonal digunakan sebagai pewarna kain dan makanan. Yang kedua adalah pohon klanggo. Kayunya lurus dan kuat. Sangat baik digunakan sebagai bahan pembuatan rumah.

Dulu pada zaman penjajahan di Nusantara, pohon sepang banyak ditebang dan diekspor ke Eropa. Bahkan perdagangannya dimonopoli oleh Belanda. Ada perjanjian kontrak dengan para sultan di Sumbawa untuk menjamin ketersediaan kayu-kayu tersebut, yang menjadi bahan penting dalam industri pewarnaan. Dalam sekejap, persediaanya di Tambora menipis. Apalagi kemudian Tambora meletus dashyat. Tapi setelah warna buatan ditemukan, kayu itu tak lagi berguna. Hanya berharga menjadi kayu bakar. Nilainya secara ekonomi pun terjun drastis.

Setelah sepang tak bernilai, penebangan untuk kepentingan bisnis dialihkan ke pohon klanggo. Penebangan klanggo didukung oleh pemerintah. Sebuah perusahaan asing mendapatkan izin. Untuk melakukan eksploitasi kayu-kayu pohon tersebut. Bahkan secara besar-besaran. Itu berlangsung selama tiga puluh tahun. Membuat pohon-pohon tersebut nyaris habis, menyisakan yang kecil-kecil saja.

Letusan Tambora jelas menghancurkan hutan pada dua abad yang lalu. Kini, truk-truk pembawa kayu seperti bebas melenggang di depan mata. Manusia sepertinya jauh lebih merusak dibandingkan letusan gunung. Yang tentu akibatnya akan ditanggung oleh manusia juga. Seperti lagu Iwan Fals yang bercerita tentang rimba: "Bencana erosi selalu datang menghantui. Tanah kering-kerontang banjir datang itu pasti. Isi rimba tak ada tempat berpijak lagi. Punah dengan sendirinya akibat rakus manusia". Tahu judulnya?





Hujan dan Kekalahan Napoleon

Dalam perjalanan turun, langit sempat meredup tertutup awan. Rintik hujan perlahan menetes. Tak begitu lebat. Lalu kemudian berhenti. Padahal musim kemarau yang berkepanjangan seperti ini sangat memerlukan hujan. 

Sayang, hujan tak berlanjut. Saya sedikit kecewa. Tapi Siska yang berada tak jauh dari saya malah merasa beruntung, hujan tak jadi turun. Ia lebih suka mendaki gunung dalam kondisi kering. Itu mengingatkannya ketika mendaki ke Bukit Raya di Kalimantan. Yang katanya, ia hampir terkena hipotermia karena dihajar hujan terus-menerus.

Hujan ringan yang sempat turun kali ini berbeda dengan hujan yang turun dua abad lalu nun jauh di Eropa sana. Seperti yang diceritakan oleh seorang sastrawan Perancis yang bernama Victor Hugo. Ia mengatakan bahwa hujan yang turun kala itu mengubah nasib Eropa. Hujan lah yang menyebabkan kekalahan Napoleon Bonaparte dalam Pertempuran Waterloo di Belgia. 

Pemimpin Perancis terkemuka itu harus menunggu serangannya pada lawan karena hujan. Menyebabkan lawannya mendapatkan waktu untuk bergabung dengan koalisinya. Juga tanah-tanah berlumpur di medan pertempuran menyebabkan peluru dan meriamnya tak bekera maksimal. Ia dan pasukannya pun kalah. Dan itu menjadi pertempuran terakhirnya. Sejak itu, kedigdayaannya meredup.

Lalu apa hubungannya kekalahan Napoleon itu dengan pendakian saya ke Tambora yang kebetulan hujan? Kata para peneliti, letusan Tambora diperkikrakan menyebabkan hujan berkepanjangan di Eropa. Menyebabkan pengaruh yang besar pada hasil akhir pertempuran di Waterloo. 

Dan tentu saja, kita tak boleh menelan mentah-mentah teori tersebut. Tidak mungkin kan, hujan menjadi satu-satunya penyebab kekalahan Napoleon? Strategi, pengambilan keputusan, dan kekuatan tempur tentu juga banyak andilnya. Walau kita boleh ikut berbangga diri, bahwa Tambora juga bisa mengalahkan sang kaisar ternama dari Perancis itu.


Dijemput Ojek

Hujan ringan telah berhenti. Tak banyak lagi yang bisa saya ceritakan dalam perjalanan kembali menuju batas hutan. Suasananya sama seperti sewaktu saya naik dua hari yang lalu. Apalagi setelah tahu batas hutan sudah semakin dekat. Saya mempercepat langkah kaki supaya segera tiba. 

Dan saat tiba, tujuh tukang ojek sudah menunggu. Yang disusul satu tukang ojek lagi yang datang terlambat. Ia datang beberapa menit kemudian, sehingga lengkap jadi delapan. Pas, sesuai jumlah kami. Hampir saja salah satu dari kami terpaksa berjalan kaki ke Dusun Pancasila. 

Tahu kenapa satu ojek datang terlambat? Karena yang memakai Honda PCX waktu keberangkatan hari pertama, tidak datang. Sepertinya ia kapok. Untuk memakai motornya yang masih baru ke batas hutan ini. Melalui jalanan bermedan off road yang tak bersahabat.


Dalam perjalanan turun kali ini, saya kembali berboncengan dengan Irfan. Berbeda dengan sebelumnya di mana perjalanan lancar, kali ini rem sepeda motornya putus. Tidak ada rem sama sekali. Waduh! Saya yang sudah diboncengnya, diberitahu mendadak. Kaget juga dengan informasinya.

"Nggak apa-apa" katanya, yakin. Saya lihat, ia memainkan kopling dan gas untuk menahan laju motor jika diperlukan. Serta tak berani ngebut seperti tukang ojek lainnya. Dan syukurlah, tidak ada masalah apapun hingga kami memasuki dusun. Sampai akhirnya, saya meminta Irfan berhenti di pura. Saya mau mampir ke sana. []


I Komang Gde Subagia | Sumbawa, September 2023


RELATED:

Comments