Skip to main content

Memulai Pendakian

"Kalembo ade!" begitu yang saya baca. Sebuah pesan masuk di Whats App Group Pendakian Argopuro yang sesekali masih aktif. Terdengar asing. Itu adalah balasan dari Aji, seorang teman di grup tersebut. Ia mengomentari foto yang saya kirim ke sana.

Petunjuk di jalur pendakian yang menerangkan arah jalan ke puncak.

Kalembo Ade

Saya mendengar kosa kata itu beberapa kali. Disebutkan oleh Pak Man semenjak bertemu di bandara. Yel-yel menyerukannya juga kami teriakkan selama pendakian nantinya. Padahal saya belum tahu, kata apa itu.

Ternyata ungkapan kalembo ade adalah semacam salam atau seruan. Diucapkan dalam komunikasi keseharian warga di Bima, Dompu, dan sekitarnya. Frekuensi penggunaannya pun bisa dikatakan sangat sering. Tiada hari tanpa kalembo ade. 

Maknanya bisa dibilang ajaib. Banyak arti yang tersirat. Ia bisa berarti: sabar, semangat, lapang dada, maaf, terima kasih, atau maksud lain yang positif. Yang pasti, untuk menunjukkan perasaan yang bermakna baik.

Dusun Pancasila

Saya sudah berada di Dusun Pancasila. Dusun yang menjadi titik awal pendakian ke Gunung Tambora. Saya yang tiba semalam, istirahat di sebuah penginapan. Rumah singgah yang bernama Kamsul Homestay. Tidur sekamar bersama Alazier.

Di pintu gerbang Dusun Pancasila, Desa Tambora.

Pagi masih dingin. Siska dan rekan-rekan pendaki lainnya, yang datang belakangan, belum kelihatan keluar kamar. Pak Man sepertinya sudah kembali ke Bima karena mobilnya sudah tak ada. 

Saya melihat jam. Lalu memperkirakan masih punya waktu untuk keliling dusun. Jadilah pagi-pagi benar, saya jalan-jalan sendiri melihat-lihat suasana. 

Dusun Pancasila adalah salah satu dari beberapa dusun di Desa Tambora. Secara administratif, menjadi bagian dari Kecamatan Pekat di Kabupaten Dompu. Dusun-dusun lainnya di Desa Tambora adalah: Bhineka, Garuda, Nusantara, dan Siladarma.

Setiap dusun dihuni oleh warga dari suku yang berbeda-beda: Bima, Dompu, Lombok, Bali, dan Jawa. Keberagaman warga ini disebabkan oleh program transmigrasi pemerintah di masa lalu, sekitar tahun 1970-an.

Pemilihan nama dusun yang cenderung nasionalis memiliki sejarahnya sendiri. Diperkirakan dinamai demikian pada tahun 1980-an. Yang disematkan oleh Gubernur Nusa Tenggara Barat. 

Tahun 1980-an adalah masa pemerintahan Presiden Soeharto. Kita tahu, bahwa masa itu selalu menerapkan istilah Pancasila pada berbagai hal. Termasuk dipakai untuk menamai dusun-dusun baru di kaki Gunung Tambora ini. 

Jika nanti ada dusun baru lagi, mungkin akan dinamai Dusun Merah Putih. Dusun Tujuh Belas Agustus. Atau Dusun Empat Lima. Nama-nama yang muncul dalam perkiraan saya. Apakah itu cocok?

Suasana Dusun

Jika kita memasuki Dusun Pancasila, sebuah gapura akan menjadi pintu masuknya. Sebagai penanda dan menjadi tugu ikonik. Bertuliskan "Selamat Datang di Jalur Pendakian Pancasila". Bersebelahan dengan Kantor Balai Taman Nasional Tambora. Gerbang dan kantor ini, berlokasi tak jauh dengan penginapan yang saya tempati.

Mural di salah satu penginapan di Dusun Pancasila.

Di sekitarnya, terdapat beberapa rumah penduduk. Berdampingan dengan kebun-kebun kopi di samping dan belakang rumah. Saya masuk ke salah satu kebun. Pohon kopi tak berbuah. Sepertinya sudah selesai musim panen. Di satu dua halaman rumah, saya melihat biji-biji kopi yang dijemur. Tambora memang terkenal sebagai penghasil kopi.

Lebih jauh masuk ke dalam dusun, rumah-rumah penduduk makin banyak. Ada Poskesdes. Ada warung yang merangkap Agen Pegadaian. Ada sekolah SD dan SMP. Ada masjid dusun yang sedang dibangun. Juga ada kantor desa dengan sebuah mobil pemancar telekomunikasi yang parkir di dalamnya.

Berbicara tentang telekomunikasi, jaringan telepon seluler yang tersedia di Dusun Pancasila hanya satu: XL. Saya memang menggunakan kartu seluler ini di telepon genggam saya. Sedangkan penyedia jasa telekomunikasi lainnya tidak tersedia.

Di tengah dusun, ada lapangan bola. Tiang gawangnya dari bambu. Rumput-rumputnya kering dan menguning karena musim kemarau. Kotoran sapi dan kambing berserakan di mana-mana. Di lapangan ini, hewan-hewan ternak itu memang banyak berkeliaran.

Mobil telekomunikasi XL di kantor desa.

Lapangan Dusun Pancasila.

Ada banyak sapi.

Banyak kambing juga.

Berkeliling masuk ke gang-gang kecil, saya melihat beberapa rumah warga yang menjadi tempat produksi kopi. Saya mencari informasi tentang kopi-kopi ini secara sekilas. Kebanyakan kopi yang dihasilkan di lereng Tambora adalah berjenis robusta. Sebagian kecil lainnya berjenis arabica dan liberica.

Bertemu Rekan Pendakian

Kurang lebih satu jam jalan-jalan keliling dusun, saya pun kembali ke penginapan. Saat tiba, saya melihat suasana sedikit ramai di depan kamar. Itu pasti rekan-rekan pendakian saya yang datang dari Mataram.

Dalam pendakian ini, saya menggunakan layanan jasa perjalanan terbuka. Atau yang biasa disebut dengan open trip. Diselenggarakan dan dikelola oleh Shelter Garut, penyedia jasa yang berasal dari Jawa Barat, seperti namanya. Tempat pertemuan peserta pendakian ada dua: di Bima dan di Mataram. 

Saya, Alazier, dan Siska; seperti yang sudah saya ceritakan di catatan bagian pertama, adalah para peserta yang bertemu di Bima. Sementara empat peserta lainnya bersama pemilik Shelter Garut bertemu di Mataram. Lalu semuanya dipertemukan lagi di Dusun Pancasila ini.

Mereka yang dari Mataram ini adalah: Abdul, Roy, Imam, Wahyu, dan Elita. Abdul adalah pemandu kami, sekaligus pemilik Shelter Garut yang sehari-harinya tinggal di Lombok, mengelola jasa pendakian di Rinjani. Roy adalah orang Jakarta kelahiran Manado yang tinggal di Bali. Imam adalah pejalan dari Jogja, yang setelah dari Tambora berencana lanjut ke Labuan Bajo. Elita dari Surabaya, pegawai Kementerian Keuangan yang sedang liburan mendaki gunung di luar Jawa. Lalu ada Wahyu dari Jakarta, peserta paling muda di antara kami semua.

Abdul.

Roy.

Imam.

Wahyu.

Elita.

Satu-satunya pendaki yang sudah saya kenal adalah Wahyu. Saya bertemu dengannya sewaktu sama-sama menjadi peserta pendakian open trip ke Argopuro. Kurang lebih enam bulan sebelumnya. Foto saya bersama Wahyu saya kirimkan ke Whats App Group Pendakian Argopuro. Yang kemudian mendapatkan balasan "kalembo ade", seperti yang saya kisahkan di awal cerita ini.

Selain kami berdelapan yang disebutkan di atas, ada juga pemandu lokal yang akan menemani pendakian. Namanya Candra, dipanggil dengan sebutan Aba Can atau Bang Can. Ia bersama tiga orang porter atau pembawa beban peralatan dan logistik. Semuanya asli warga Dompu. Jadi kami semua berjumlah total dua belas orang.

Rencana Perjalanan

Pukul delapan pagi lewat, kami semua sudah selesai berkemas dan sarapan. Lalu berkumpul di depan kamar. Abdul, yang menjadi pemandu sekaligus pemimpin rombongan, memberikan penjelasan. Tentang gambaran perjalanan kami selama tiga hari ke depan.

Jika kita mendaki Tambora dari Dusun Pancasila, kita akan melalui beberapa pos. Pos-pos tersebut antara lain: Pos Batas Hutan, Pos 1, Pos Rau atau Pos Bayangan, Pos 2, Pos 3, Pos 4, dan terakhir Pos 5. Baru kemudian kaldera atau wilayah puncak. Selain Pos 4 dan Pos 5, semua pos memiliki bangunan shelter atau tempat berteduh. Juga memiliki sumber air.

Rencana pendakian hari pertama adalah menuju Pos 3. Kami akan bermalam di sana. Keesokan harinya, perjalanan akan dilanjutkan sampai ke kaldera di dekat puncak. Hari kedua akan bermalam di sana. Lalu hari ketiga kami akan turun kembali ke Dusun Pancasila.

Tapi perkiraan cuaca dan informasi dari pemandu lokal, angin di kaldera selalu kencang belakangan ini. Jadi jika tidak memungkinkan, rencana cadangan akan dilakukan. Yaitu kami tak akan bermalam di kaldera pada hari kedua, tapi di Pos 3 lagi. Petugas taman nasional juga melarang pendaki untuk bermalam di dekat puncak.

Briefing rencana perjalanan.

Foto bersama di depan penginapan sebelum memulai pendakikan.

Naik Ojek ke Batas Hutan

Pukul sembilan pagi, kami pun bersiap berangkat. Memulai pendakian hari pertama. Sebagian besar peserta ingin naik ojek sampai ke batas hutan. Maka, ojek pun dipesan untuk delapan orang. Kenapa bukan dua belas? Karena Bang Can dan para porter sudah berangkat lebih awal.

Mendaki gunung pada masa sekarang cukup berbeda dibandingkan dengan sepuluh atau belasan tahun lalu. Dulu, jarang sekali ada ojek gunung. Saat itu, jumlah pendaki mungkin sedikit. Tanpa pemandu dan porter, dengan beban yang berat, kebanyakan pendaki memulai perjalanan dengan jalan kaki dari base camp atau pos lapor. 

Sekarang, selama jalur bisa dilalui kendaraan, banyak tawaran ojek. Menjadi nilai ekonomi bagi warga setempat. Bagi para pendaki, itu bisa menghemat waktu. Tapi masa naik gunung pakai ojek? Tidakkah itu mengakomodir kemalasan? Dianggap malas atau tidak, saya oke-oke saja. Jika semua peserta sepakat naik ojek, masa saya sendirian yang jalan kaki?

Suasana perjalanan naik ojek, melewati perkebunan kopi.

Motor-motor ojek sebagian besar adalah motor yang dimodifikasi. Bagian kendaraan banyak dilepas. Bannya bergerigi. Tak berlampu dan berspion. Tapi ada satu yang lain. Yaitu seorang pengemudi ojek dengan motor baru berjenis Honda PCX. Sayang sekali, motor seperti itu dipakai blusukan ke gunung. Pasti cepat rusak jadinya.

Pengemudi ojek yang membonceng saya bernama Irfan. Ia seorang pemuda tanggung. Usianya baru empat belas tahun. Ia cukup handal melalui jalanan ekstrim. Kakak lelakinya, yang berselisih usia dua tahun dengannya, juga ikut mengantar menjadi pengemudi ojek. Wuih!

Irfan, yang mengantar saya dari penginapan ke batas hutan.


Tiba di Pos Batas Hutan.

Satu per satu motor-motor ojek ini berjalan beriringan. Meninggalkan penginapan dan Dusun Pancasila. Menuju batas hutan kawasan taman nasional. Melalui jalan tanah yang kering dan berdebu. Lalu makin lama makin menyempit. Meliuk-liuk di kebun-kebun kopi.

Perjalanan naik ojek ini juga melalui perkampungan transmigran warga Bali. Itu terlihat dari bangunan-bangunan pelinggih di halaman rumah mereka. Kami juga melewati sebuah pura. Namanya Pura Agung Udaya Parwata. Tapi saya tak sempat singgah ke sana. Mungkin nanti setelah turun dari puncak.

Setelah menempuh perjalanan lebih dari tiga puluh menit, akhirnya kami sampai di batas hutan. Ada sebuah bangunan shelter yang bisa digunakan untuk istirahat. Oleh Abdul, pos ini disebut sebagai Pos Batas Hutan. 

Di atas peta, jarak kami dari Dusun Pancasila sekitar sepuluh kilometer. Lumayan, kan? Lumayan jauh jika berjalan kaki. Lumayan menghemat waktu jika naik ojek. Alasan saja. Padahal manja.

Dan dari Pos Batas Hutan ini, kami pun bersiap untuk mendaki. Lets go! []


I Komang Gde Subagia | Sumbawa, September 2023


RELATED:

Comments

  1. Siiip.. Mntaps... Terus..
    Dari si petualang jogja

    ReplyDelete
  2. Huaa ditunggu cerita selanjutnya, Bli! Berasa mendaki Tambora lagi nih!

    ReplyDelete

Post a Comment