Lintas Gunung Catur

Lari lintas alam di Gunung Catur, rutenya melalui Menara Turyapada.

Gunung Catur adalah gunung tertinggi keempat di Pulau Bali. Berdiri di pertemuan tiga kabupaten: Badung, Buleleng, dan Tabanan. Ia gagah bagai piramida raksasa yang membentengi Danau Beratan dengan tenang. Tumbuh sebagai hutan tropis Pegunungan Bali Tengah. Bila beruntung melintasi jalur utama Denpasar – Singaraja dalam cuaca cerah, punggungan Catur tampak seperti dinding hijau raksasa yang membentang, menjaga sejuknya kawasan wisata Bedugul.

Akhir pekan pertengahan November ini, saya dan teman-teman Bali Trail Running (BTR) mengunjunginya. Untuk latihan rutin dua mingguan. Kali ini, latihan terbagi menjadi dua kategori: 21K dengan elevasi menanjak sekitar 1.200 meter, serta 38K dengan elevasi total 2.400 meter. Saya ikut yang kedua, 38K, alias yang lebih jauh.

Kami memulai dari Lapangan Parkir Umum Pura Luhur Puncak Mangu, Desa Pelaga. Berkas GPX yang dibagikan sehari sebelumnya menunjukkan jalur akan melewati tiga puncak: Bon, Pengelengan, dan Mangu. Dua di antaranya belum pernah saya daki. Itu saja sudah cukup membuat rute ini terasa seperti undangan petualangan.

 Peta lokasi jalur lari di Gunung Catur.

 Pembesaran peta.
 1: Titik start dan finish.
 2: Puncak Bon.
 3. Puncak Pengelengan.
 4. Menara Turyapada.
 5. Puncak Mangu.

Dari Kebun Kopi ke Hutan

Pukul tujuh pagi, setelah pemanasan dipimpin Bli Made Budi dan penjelasan rute oleh Gede Widnyana serta Pak Made Raka, kami memulai lari. Jalur tak langsung masuk hutan; ia berbelok ke timur, menembus kebun kopi dan vanila milik warga. Jalan setapaknya melingkar mengikuti kontur punggungan yang tenang dan hijau.

Sesekali, di sela pepohonan, tampak tiga puncak yang akan kami lalui. Kelihatannya tak terlalu jauh, tapi juga tak dekat-dekat amat, namun cukup untuk mengingatkan betapa panjang hari ini akan berjalan.

Saya berlari santai, meski jujur saja: kurang tidur membuat tubuh lebih lambat panas. Malam sebelumnya saya baru terlelap pukul satu, lalu berangkat pukul lima. Kesalahan yang tidak ingin saya ulangi pada latihan lari jarak jauh berikutnya.

Setelah enam kilometer melalui hamparan ladang warga, jalur masuk ke hutan sisi timur Gunung Catur. Pepohonan rapat, serasah tebal, dan udara lembap. Itu menjadi sebuah lanskap yang membuat langkah stabil tanpa terburu-buru. Saya menikmati suasana seperti ini. Tak lama kemudian, saya tiba di Pura Beji, bagian dari kawasan Pura Puncak Bon. Ada pelinggih-pelinggih kecil, sebuah pondok dengan bekas abu api unggun, serta suara gemericik sungai di lembah yang tak begitu jauh.

Di titik punggungan, para pelari yang telah datang dari Puncak Bon berpapasan engan saya. Sebenarnya, saya bisa saja langsung ke Pengelengan, tanpa ke Puncak Bon. Tapi rasanya sayang melewatkan puncak yang belum pernah saya sambangi. “Ayo cari gelang check point dulu,” seorang pelari berseloroh.

Memulai lari di jalan Desa Pelaga.

Melalui jalur perkebunan warga.

Kemudian memasuki hutan Gunung Catur.

Ada jamur yang tumbuh di batang pohon tumbang.

Puncak Bon

Puncak Bon, setinggi 1.855 mdpl, tenang dan asri seperti layaknya puncak-puncak suci di Bali. Pelinggih-pelinggih berdiri rapi, lengkap dengan bale piasan dan bale pesandekan. Beberapa pendaki mancanegara tampak ditemani pemandu, sementara ada juga seorang warga pencari rumput yang sedang beristirahat.

Pura ini juga dikenal sebagai Pura Entapsai, yang menurut sebuah kisah, didirikan pada masa perjalanan Dang Hyang Dwijendra, seorang pendeta dari Jawa di masa akhir Majapahit. Nama “Bon” diyakini berasal dari kata bau, merujuk pada cerita ketika sang pendeta mencium aroma harum dari tempat ini.

Saya tak berlama-lama. Setelah mereguk minuman ringan dan mendokumentasikan beberapa sudut pura, saya kembali bergerak menuju Pengelengan. Jalur semakin samar, menjadi tanda bahwa hanya sedikit pendaki yang menempuhnya. Tapi bagi pelari trail atau penjelajah alam, jalur seperti ini justru memantik rasa ingin tahu.

Di Puncak Bon.

Keraguan dan Keputusan di Pengelengan

Satu jam kemudian, saya tiba di Puncak Pengelengan. Di sana saya bertemu para pelari muda dan juga Pak Made Dana, sang pelari master BTR yang tak pernah DNF dalam lomba-lomba yang pernah diikutinya.

Di puncak inilah rute berpisah. Katagori pendek ke selatan menuju Puncak Mangu. Sedangkan yang panjang ke utara, turun menuju Pegayaman sebelum memutar jauh untuk kembali naik ke Mangu dari sisi barat daya.

Beberapa pelari memilih mengambil jalur panjang. Saya sempat terdiam sejenak sebelum akhirnya memantapkan hati: “Oke. Gas terus.”

Di Puncak Pengelengan.

Turun ke Utara Menuju Pegayaman

Saya berlari sendiri pada awalnya. Jalur samar, turun, kemudian membelok ke arah barat laut. Saya bertemu satu pelari yang memutuskan kembali ke Pengelengan. Ia lebih memilih nanjak ketimbang memutar jauh lewat aspal panas.

Tak lama, saya menyusul dua pelari lain dan bergabung. Vegetasi perlahan berubah: muncul pohon cengkih, hamparan rumput yang rapi, gubuk petani, dan anjing-anjing penjaga yang menyalak dari kejauhan.

Di tengah kabut, sebuah menara tinggi mulai muncul, seperti hantu logam yang terperangkap di awan.

Menuruni Gunung Catur ke arah Pegayaman.

Turyapada dan Pagar Baru

Turyapada Tower menjulang dengan tinggi 115 meter, menjadi bangunan tertinggi kedua di Bali setelah GWK. Menara ini dibangun untuk memperkuat sinyal televisi digital dan internet di Bali Utara, sekaligus dirancang sebagai destinasi wisata baru yang kelak dilengkapi restoran putar, planetarium, skywalk, dan jembatan kaca.

Ketika kami tiba, pagar terali baru dipasang dan menutup jalur lari. Kami sempat tertegun kebingungan. Harus lewat mana? Sementara jalur di berkas GPX memperlihatkan ia terus saja, seperti tak ada pagar penghalang. Akhirnya, dengan hati-hati, kami memanjat pagar itu. Rupanya pagar tersebut memang baru dibuat beberapa hari terakhir, belum ada saat tim BTR mensurvei jalur sebelumnya.

Keluar dari kawasan menara, kami mencapai jalan aspal. Beberapa pelari berhenti di warung terdekat. Saya ikut dan menenggak sebotol soda dingin. Minuman itu terasa manis, menyegarkan, dan memberi energi cepat; cocok untuk fueling menjelang segmen panjang berikutnya.

Tiba di belakang kawasan Menara Turyapada.

Siang yang Panas

Kami melanjutkan lari di jalur aspal Wanagiri. Dikawal monyet ekor panjang yang bergerombol di pinggir hutan. Juga dengan aroma makanan dari warung tenda. Tepat tengah hari, kami masuk ke salah satu warung tenda itu untuk makan siang. Dalam lari lintas alam jarak jauh, makan-minum seperti ini adalah strategi penting agar tubuh tidak kalah dan tetap kuat.

Setelah makan, perjalanan lanjut menyusuri jalur dataran tinggi menuju Bedugul. Cuaca panas sekali, dan kami sempat berhenti lagi di sebuah minimarket untuk menambah cairan tubuh. Saya juga sempat mampir di sebuah bengkel Ketika melihat di depannya ada keran air. Saya mengguyur kepala supaya kebih digin, menghindari heat struk, bahaya yang sering mengancam pelari yang berlari dalam cuaca panas.

Melalui Jalan Raya Bedugul di tepian Danau Beratan.


Mendaki Puncak Mangu

Pukul tiga sore, saya tiba di titik awal pendakian Puncak Mangu. Cuaca ternyata berubah cepat. Langit mulai gelap, tetapi saya memperkirakan masih cukup terang untuk mencapai puncak pada pukul lima.

Dalam perjalanan naik, saya bersama seorang pelari bernama Purwa. Ia orang Tabanan yang ternyata pernah kuliah di Itenas, yang berteman dengan beberapa kawan saya saat di Bandung dulu. Dunia dalam lingkaran pertemanan memang sempit.

Kami mencapai puncak tepat pukul lima sore. Di sana kami menunggu Om Dein, pelari terakhir yang kami ketahui mengambil rute panjang, agar bisa turun bersama. Kami juga brtemu dengan dua pendaki di puncak ini, yang baru naik. Mereka mengatakan bahwa sengaja memilih sore agar tidak ramai.

Mendaki Puncak Mangu.

Di Puncak Mangu.

Turun ke Pelaga dan Disambut Lampu-lampu Merkuri

Saat cahaya senja mulai meredup, kami turun dengan lari-lari kecil di jalur yang jelas. Di tengah turunan, kami masih berpapasan dengan pemedek berpakaian adat yang baru naik ke Pura Puncak Mangu. Mereka benar-benar melakoni perjalanan malam. Sepertinya supaya persembahyangan mereka lebih khusyuk.

Tak lama setelah itu, saya pun akhirnya bisa keluar hutan. Menyusuri lagi jalanan aspa yang menurun di bawah langit yang temaram. Ketika lampu-lampu merkuri di lapangan parkir Pura Puncak Mangu telah menyala, saya akhirnya menyelesaikan rute ini. Total waktu sekitar 11 jam 30 menit, tanpa cedera apa pun selain lelah yang wajar.

Tiba di titik finish.

Rute yang seharusnya 38 kilometer ternyata memanjang menjadi 40 kilometer. Hampir setara trail marathon. Lumayan juga untuk satu hari di Gunung Catur. []


I Komang Gde Subagia | Denpasar, November 2025


Tautan:



Comments