Berlari di Jatiluwih


Sudah lebih dari setahun lalu, saya dan teman-teman Bali Trail Running — atau yang lebih sering disingkat BTR — latihan lari di Jatiluwih. Ini nama sebuah desa di lereng selatan Gunung Batukaru, Kabupaten Tabanan, Bali. Hingga akhirnya, pada Minggu ini, kami latihan ke sana lagi. Start dan finish-nya sama seperti sebelumnya: Pura Besi Kalung.

Dalam setiap latihan, biasanya ada beberapa pilihan tingkat kesulitan. Kali ini, pilihannya ada dua kategori: short dengan jarak tempuh 15 kilometer dan elevasi 950 meter, serta long dengan jarak tempuh 25 kilometer dan elevasi 1.500 meter. Saya memilih yang long dengan alasan untuk membiasakan diri menjajal jalur yang lebih jauh dan lebih sulit.

Jika dibandingkan dengan jalur sebelumnya, ada beberapa perbedaan. Dulu, rutenya melawan arah jarum jam dan mendaki bolak-balik hingga ke puncak Gunung Batukaru. Sedangkan sekarang, rutenya searah jarum jam dan tidak sampai puncak gunung. Jadi, bisa dibilang tingkat kesulitannya lebih rendah dari sebelumnya.

Peserta yang ikut pun cukup banyak, sekitar enam puluhan orang. Saya tak menghitung secara pasti. Angka itu saya dapatkan dari jumlah peserta yang mendaftar di grup WhatsApp BTR. Saya tidak tahu berapa yang mendaftar lewat formulir yang diumumkan di Facebook dan Instagram. Kalau dikira-kira, mungkin totalnya sekitar delapan puluhan orang.

Seperti biasa, kami mulai pemanasan pukul tujuh pagi. Melakukan peregangan tubuh, tangan, dan terutama kaki. Lalu dilanjutkan dengan pemaparan rute oleh tim pembuat jalur, yang kali ini digawangi Ajik Murca —salah satu senior sekaligus pelari tangguh di komunitas BTR. 

Beberapa tanda rute telah dipasang, berupa cat pilok di dedaunan atau kapur tulis di jalan aspal. Yang pasti, kami juga wajib berpatokan pada berkas GPX di jam tangan atau telepon genggam. Serta yang tak boleh dilupakan: tidak membuang sampah sembarangan serta menghormati petani atau warga lokal di sepanjang jalur yang dilalui.

Sekitar pukul setengah delapan pagi, lari pun dimulai. Dari Pura Besi Kalung, jalurnya menurun ke arah selatan dan memasuki kawasan persawahan. Sialnya, kami melewati kandang ayam dengan bau yang sangat menyengat. Saya sampai mual dan batuk-batuk karenanya. Seperti menghirup gas beracun. Sangat berbeda dengan bau kandang babi atau sapi, yang masih bisa saya toleransi.

Di kilometer kedua, jalur berbalik menanjak ke utara. Masih menyusuri persawahan yang hijau, langit biru bersih, dan pemandangan Pegunungan Batukaru di kejauhan. Banyak teman saya yang mengabadikan momen di sini, berfoto selfi. Dan karena rute berada di sebelah barat Pura Besi Kalung serta posisinya lebih tinggi, kendaraan-kendaraan kami yang terparkir pun tampak di kejauhan.

Setelah kilometer kelima, atau menjelang kilometer keenam, rute short dan long pun terpisah. Saya berbelok ke kiri. Jalur beralih dari jalan persawahan lebar yang bisa dilalui kendaraan menjadi pematang sawah. Naik turun lembah kecil yang dialiri sungai. Rasanya, jalur ini pernah saya lewati sebelumnya. Di sini, beberapa pelari berada tak jauh dari saya, di antaranya yang saya ketahui namanya: Dian, Om Wira dan anaknya, serta Aldi.

Jalur lari kemudian tembus ke Jalan Raya Kesambahan Kaja. Tepat di pinggir jalan aspal, ada sebuah warung. Itu menjadi water station pertama saya. Sebotol Pocari Sweat dingin langsung saya teguk untuk menghilangkan dahaga. Tak jauh dari sana, jalur kembali masuk ke area kebun dan persawahan.

Jalur ini kemudian tembus di sisi selatan Pura Petali, titik awal pendakian Gunung Batukaru dari Jatiluwih. Saya sempatkan istirahat sebentar untuk melihat jalur keseluruhan di layar ponsel. Sempat terbersit untuk memotong rute di sini, alias tak usah masuk ke hutan sesuai jalur GPX. Tapi Om Wira menyemangati. Jadilah kami lanjut terus, diikuti anaknya dan Aldi.

Di tengah hutan lereng Batukaru, jalur tiba-tiba berbalik arah. Semak semakin lebat, tanda-tanda rute menghilang, dan saya kehilangan jejak. Saat itu saya bertemu dengan Om Dein, salah satu senior BTR, yang juga kehilangan jalur. Ia sedang mencari-cari arah. Saya mulai sedikit panik karena tak menemukan jalur yang benar.

Mencoba bernavigasi, saya turun ke arah lembah yang di dalamnya ditumbuhi semak berduri lebat. Karena tak memakai manset di lengan maupun kaki, kulit saya pun tergores. Sakit. Juga gatal-gatal. Beruntung, beberapa rombongan pelari di belakang datang dan menemukan jalur yang benar. Saya pun naik dan bergabung dengan mereka. Lalu melanjutkan lari, menuruni Batukaru kembali ke arah Pura Petali.

Setelah itu, saya hanya berlari berdua dengan Aldi, meninggalkan rombongan pelari di belakang. Sesekali, Om Wira dan anaknya tampak di depan. Tak jauh dari Pura Petali, jalur menyusuri aliran air di sisi hutan bambu. Saya agak waswas melewati jalur seperti ini, karena khawatir ada ular. Syukurlah, tak ada binatang berbahaya apa pun. Atau mungkin saja makhluk-makhluk  melata itu bersembunyi.

Berikutnya, rute menuju Air Terjun Yeh Ho. Di pintu masuknya ada warung, menjadi water station kedua saya. Saya dan Aldi berhenti sejenak. Kali ini sebotol Sprite dingin menjadi pelepas dahaga. Segar sekali. Gula dari minuman bersoda itu langsung saya bakar lagi jadi energi untuk turun ke air terjun dan menyusuri alirannya ke bawah.

Di satu titik penyeberangan sungai, aliran airnya di sela bebatuan terlihat sangat segar. Aldi langsung berendam di sana. Tak lama, Om Dein datang menyusul dan ikut berendam. Rasanya memang menyegarkan, air pegunungan yang dingin di siang yang terik.

Saya tak ikut berendam, hanya mencuci muka dan kepala. Saya melanjutkan lari sendirian saja. Menyeberangi Jalan Jatiluwih, lalu menyusuri persawahan di sisi selatannya. Di sungainya, banyak orang bermain ban. Jalur ini mengingatkan saya pada latihan BTR setahun lalu dan saat bersepeda gunung di masa pandemi. Saya juga sempat mampir ke sebuah warung lagi, yang menjadi water station ketiga saya. Minum sebotol Coca-Cola. Mantap!

Dari warung ini, Pura Besi Kalung yang menjadi titik akhir jalur lari sudah tak jauh lagi. Saya tancap gas. Menjelang lapangan parkir depan pura, saya berpapasan dengan Bli Budi dan Mbok Dwi — Pak Ketua dan Ibu Bendahara BTR. Mereka pulang lebih dulu dan titip pesan saling memastikan semua pelari kembali dengan selamat.

Di garis finish, di pelataran Pura Besi Kalung yang teduh, saya duduk berselonjor sambil meneguk air kelapa muda dingin. Rasanya seperti medali setelah lari 25 kilometer. Kali ini saya memilih yang alami. Sudah cukup tiga botol minuman manis bersoda sebelumnya, tidak perlu nambah lagi. Satu per satu pelari pun mulai berdatangan. Tak ada lagi yang tertinggal di belakang.

Lewat pukul satu siang, saya meninggalkan Pura Besi Kalung dan pulang ke Denpasar.  Berlari memang melelahkan. Dan jujur saja, saya sering kesal dan mengumpat dalam hati ketika kelelahan di jalur. Tapi setelah bisa melalui itu semua, rasanya luar biasa: makan, minum, dan istirahat; semuanya jadi nikmat. []


I Komang Gde Subagia | Penebel, Oktober 2025


Tautan:
Instagram Reel: Jatiluwih Trail Running


Comments