Kenapa Masih Ngeblog?

Gambar dari Nick Morrison/Unsplash

Kadang saya bertanya-tanya pada diri sendiri: memangnya apa sih keuntungannya saya tetap menulis di blog ini? Merangkai apa yang ada di pikiran, kemudian menyusun dan menuliskannya di aplikasi catatan. Setelah itu melakukan penyuntingan, kadang menambahkan atau mengurangi beberapa bagian. Lalu terakhir, mempublikasikannya di layanan blog milik Google ini dengan menambahkan satu atau beberapa gambar yang cocok.

Sudah lebih dari dua dekade berlalu sejak pertama kali saya membuat blog di Friendster. Lalu berlanjut ke Blogspot, yang kemudian tersambung dengan domain berbayar setiap tahun. Sementara dunia kini berubah begitu cepat. Orang menulis di berbagai media sosial populer, berbagi di X dan Threads, menulis panjang di Medium, dan membuat tayangan video panjang maupun pendek di YouTube maupun TikTok. Tapi saya masih saja di sini, membuka halaman Air Mengalir Sampai Jauh, menulis di media jadul yang semakin sunyi.

Kalau dipikir-pikir, alasan saya masih ngeblog mungkin tak muluk-muluk: karena saya senang saja. Ya, saya menikmati menuliskan apa saja. Terutama ide, pengalaman, atau pandangan-pandangan tentang sesuatu; yang rasanya kalau tak ditulis, itu akan terlupakan. Walaupun kini membuat foto dan video sebagai rekaman peristiwa makin mudah, tulisan memiliki kelebihan: bisa memberikan detail. Biasanya, kalau saya menulis, saya mengisinya dengan hal-hal kecil yang bukan tak penting, tapi sayang untuk dilewatkan.

Apakah saya ingin menjadi penulis terkenal? Rasanya tidak terlalu tertarik. Bahkan mempublikasikan ulang tulisan-tulisan dari blog ini ke Facebook atau Instagram membuat saya berpikir dua kali. Saya lebih memposisikan tulisan-tulisan di blog ini sebagai arsip pribadi, yang tak memiliki tujuan utama untuk dikampanyekan supaya banyak orang membacanya. Toh, jika ada orang yang entah bagaimana mampir ke sini, dan menemukan manfaat atau senyum kecil dari tulisan saya, itu sudah menjadi kehormatan tersendiri.

Menulis dan memuat tulisan di blog memberi saya sesuatu yang tak bisa diberikan oleh platform lain: ketenangan. Cara kecil untuk mendokumentasikan keberadaan saya di dunia; bagaimana saya berpikir, merasa, dan berubah dari waktu ke waktu. Mengunggah konten di media sosial dengan banyak like dan komentar memang menyenangkan, tetapi rasanya terlalu ramai dan hiruk-pikuk. Hal itu, entah kenapa, membuat saya cepat lelah. Apakah itu pertanda saya seorang introvert? Bisa jadi, walau mungkin tak tepat-tepat amat.

Bagaimana dengan teman-teman saya sekarang? Yang dulu memiliki blog, saling menautkan link di laman masing-masing, dan saling berkirim komentar? Saya cek satu per satu; kebanyakan blog mereka hilang. Kalau pun ada, sudah bertahun-tahun tak diperbarui. Para influencer pun serupa, blog mereka kebanyakan mati suri, walau sang pemilik masih aktif berkabar dengan gaya baru: sebagai Tiktoker atau YouTuber.

Di sisi lain, beberapa penulis lawas tetap menulis dengan rajin. Saya salut dan angkat topi untuk mereka. Misalnya Dahlan Iskan atau Ivan Lanin, yang saya jadikan panutan. Mereka menulis hampir setiap hari, menghasilkan tulisan baru yang saya sering baca. Meski tak pernah menjadi murid mereka secara resmi, saya belajar banyak dari cara mereka menulis dan menyampaikan gagasan. Mereka tetap menjadi guru dalam arti yang sebenarnya. 

Menulis blog hari ini mungkin terlihat kuno. Tapi bagi beberapa orang, termasuk saya, justru itu menjadi sebuah nilai. Menulis menjadi sebuah perlawanan sunyi di tengah dunia yang serba cepat. Saat kebanyakan orang mengejar viralitas dan algoritma, saya memilih menulis perlahan. Menyusun kalimat seperti menata batu di tepi sungai. Tak ada yang perlu dikejar dengan buru-buru. Hanya ingin merekam perjalanan, baik perjalanan fisik yang sebenarnya maupun perjalanan pikiran.

Ada juga nasihat bijak yang mengatakan: jika mengasah fisik bisa kita lakukan dengan berolahraga lari atau mendaki gunung; maka mengasah pikiran bisa kita lakukan dengan membaca dan menulis. Seperti meditasi: duduk diam, berpikir jernih, dan menuliskan apa pun yang jadi ide. Kita belajar menyusun ingatan, menata perasaan, mengasah kemampuan berpikir kritis, serta meninggalkan jejak yang baik tentunya.

Seperti saat saya menulis tentang perjalanan ke Seniman Coffee, misalnya. Itu sebenarnya bukan soal kopi atau tempatnya. Itu tentang diri sendiri di sore hari itu. Iseng memegang hape membuka aplikasi note. Bersama orang terkasih, duduk di pojokan ruangan, memperhatikan orang lalu-lalang, menghirup udara dan aroma kopi dalam-dalam, sambil menyadari bahwa hidup memang sesederhana itu, dan tafsiran-tafsiran manusia saja yang membuatnya rumit, seperti kata Pramoedya Ananta Toer.

Suatu hari nanti, di suatu tempat yang jauh, mungkin ada seseorang yang membaca tulisan ini. Atau menikmati tulisan lain di blog ini juga, lalu tersenyum kecil. Itu sudah cukup. Dan jika kelak tak ada yang membaca pun, tak masalah. Blog ini toh akan tetap menjadi saksi, bahwa saya pernah ada dan pernah menulis, sekedar untuk meninggalkan jejak kecil dari perjalanan hidup saya.  []

I Komang Gde Subagia | Denpasar, Oktober 2025

Comments