Tidak semua relawan berangkat dengan keyakinan penuh atau rencana yang matang. Sebagian justru melangkah ketika keputusan masih dalam pengembangan misi, pergerakan dalam proses, dan di mana waktu terus berjalan. Di tengah situasi seperti itulah Adi Samsu mengambil peran yang tak pernah ia rencanakan sebelumnya: menjadi pendarat pertama Astacala ke Aceh Tamiang.
Membuka Jalan
Adi Samsu tidak pernah membayangkan dirinya menjadi pendarat pertama. Ia tidak mengangkat tangan dengan keyakinan penuh, apalagi dengan rencana matang. Yang ia rasakan pada awalnya justru kekosongan: belum ada relawan dari Astacala yang pasti akan bergerak ke lapangan, belum ada nama yang benar-benar siap diberangkatkan. Dalam situasi seperti itu, baginya, menunggu bukanlah pilihan. Jika tidak ada yang membuka jalan, maka setidaknya harus ada satu yang berangkat lebih dulu.
Niat awalnya sederhana: membantu pencarian korban dan pekerjaan lapangan apa pun yang dibutuhkan. Namun dalam diskusi internal, arah kontribusi mulai mengerucut. Di Aceh Tamiang, kebutuhan begitu beragam: dari penyaluran bantuan, evakuasi, pembersihan fasilitas publik, hingga koordinasi antar posko. Semua itu bergantung pada satu hal mendasar: komunikasi. Karena itu, Astacala memantapkan misi untuk memulihkan akses jaringan komunikasi itu. Tugas Samsu pun ditetapkan: membawa dan mengaktifkan satu unit Starlink, sembari melakukan assesment guna mencari tambahan informasi di lapangan serta siap membantu kerja-kerja fisik.
Ia memilih berangkat bersama Erick Pratama, anggota Sispala Wahana Rimba sekaligus anggota tim Sans Adventure, outbound provider yang dikelola Samsu di Subang, sebuah kota kabupaten di utara Bandung. Erick dipilih bukan karena pengalaman bencana, melainkan karena satu hal yang dianggap krusial: ketenangan berkomunikasi. Di lapangan, kemampuan berbicara dan bernegosiasi sering kali sama pentingnya dengan kekuatan fisik. Lalu pengajuan diri dilakukan berulang kali melalui kanal internal. Hingga akhirnya, sebuah panggilan telepon dan surat tugas datang dari Ketua Yayasan Astacala: Widi Widayat. Tidak ada seremoni. Tidak ada waktu berpikir panjang. Hanya satu pesan singkat: berangkat.
Berawal dari Subang
Persiapan dilakukan sepulangnya bekerja di Subang, tempat tinggalnya sehari-hari. Waktu itu sekitar pukul tujuh malam. Awalnya, Samsu menyiapkan perlengkapan rescue sebagaimana misi bencana pada umumnya. Namun keterbatasan bagasi pesawat, yang hanya sepuluh kilogram, memaksa mereka memilih. Beberapa alat dikeluarkan, beberapa rencana disesuaikan. Yang tidak boleh tertinggal hanya satu: perangkat Starlink.
Menjelang tengah malam, Samsu bergerak menuju Bekasi melalui jalur tol. Ia tiba sekitar pukul dua belas malam dan bertemu Raisul untuk mengambil perangkat di kantor PT Natabuana. Ukuran dan berat Starlink memaksa mereka membongkar ulang isi carrier. Beberapa barang dipindahkan ke tas daypack tambahan. Di sela-sela proses itu, mereka berdiskusi singkat mengenai teknis instalasi yang seadanya, sebatas pengetahuan yang ada. Intinya, Starink bisa terinstall dengan baik sesampainya di lokasi target.
Pukul dua dini hari, mereka berangkat ke Bandara Soekarno Hatta. Foto singkat diambil sebelum check-in. Erick terbang lebih dulu dengan Citilink, disusul Samsu menggunakan Lion Air. Dua pesawat berbeda, tujuan sama. Mereka menggunakan pesawat berbeda karena relawan pertama yang dipastikan berangkat adalah Samsu seorang, di mana Erick baru pasti beberapa jam sebelum keberangkatan. Sekitar pukul setengah sembilan pagi, keduanya tiba di Bandara Kualanamu dan bertemu kembali di pintu keluar.
Tiba di Medan
Di Bandara Kualanamu, mereka dijemput Hafizh, anggota Astacala yang berdomisili di Medan. Mereka menuju Kota Medan, ke Sekretariat Mapala Kompas Universitas Sumatera Utara, atau yang biasa disebut sebagai Kompas USU. Di sanalah mereka pertama kali bertemu Raja, Ketua Mapala Kompas USU. Tak mau membuang banyak waktu, percakapan langsung to the point pada satu hal: bagaimana menuju Aceh Tamiang dengan efektif dan efisien.
Pilihan transportasi terbatas dan mahal. Motor disewakan dengan harga tinggi, mobil lebih mahal lagi. Becak motor nyaris tak ada yang bersedia karena kelangkaan bahan bakar dan memang diperuntukkan sebagai transportasi dalam kota saja. Di Aceh Tamiang, harga bensin bahkan dikabarkan menembus seratus ribu rupiah per liter. Setelah diskusi panjang dan pertimbangan situasi, Raja akhirnya mengizinkan mereka meminjam satu unit sepeda motor, sebuah Yamaha Vixion tahun 2016.
Tapi masalah belum selesai. Data lapangan yang didapatkan sangat minim. Tidak ada pusat informasi relawan. Informasi yang ada terpencar, sebagian berasal dari command center Yayasan Astacala di Bandung dan Jakarta, yang hampir seluruhnya berasal dari media, sebagian lagi dari informasi relawan perorangan yang terbatas. Setelah mendapat persetujuan, Samsu dan Erick memutuskan berangkat juga dengan informasi yang tersedia. Lagi pula, salah satu tugas utama mereka sebagai tim pendarat adalah mencari informasi awal.
Perjalanan ke Aceh Tamiang
Mereka meninggalkan Medan pada sore hari. Karena barang bawaan terlalu banyak, mereka sempat singgah ke sebuah pasar untuk membeli saddle bag, sebuah tas pelana sebagai solusi penyimpanan ringkas dan praktis yang dipasang di bawah jok sepeda motor. Perjalanan keluar kota dimulai menjelang malam. Di tengah jalan, motor mulai menunjukkan tanda-tanda bermasalah: overheat. Mereka berhenti hampir setiap jam karenanya.
Di satu titik, Samsu dan Erick membongkar radiator. Mereka mendapati kipas mesin tidak berfungsi. Perbaikan manual dilakukan seadanya. Motor sempat berjalan normal, lalu kembali bermasalah di daerah Sabat. Sebuah bengkel kecil masih buka. Masalahnya ternyata ada pada thermostat. Setelah diperbaiki, mereka melanjutkan perjalanan di waktu yang mendekati tengah malam.
Kelelahan akhirnya memaksa mereka berhenti sekitar pukul setengah tiga dini hari. Sebuah masjid di pinggir jalan menjadi tempat beristirahat. Motor digembok. Golok diletakkan di samping untuk berjaga. Kekhawatiran dan kewaspadaan mereka rasakan sedikit meningkat di malam hari yang sepi. Dan untunglah, tidak ada kejadian tak diinginkan yang terjadi.
Pagi-pagi buta, mereka melanjutkan perjalanan. Di Seumadam, perbatasan Aceh dan Sumatera Utara, masalah datang lagi. Shockbreaker sepeda motor patah akibat beban berlebih. Di tengah masalah yang tak kunjung henti, ternyata tak sedikit kebaikan dan keramahan warga yang datang. Ada warga setempat yang membantu. Spare part hanya dibayar harga barangnya saja tanpa ongkos tenaga, ketika tahu Samsu dan Erick adalah relawan bencana. Perbaikan memakan waktu hingga pagi.
Dari Babo ke Seruway
Target yang seharusnya dituju oleh Samsu setibanya di Aceh Tamiang adalah Desa Babo di Kecamatan Bandar Pusaka. Dalam perjalanan, informasi terbaru masuk: akses ke Desa Babo terlalu ekstrem untuk dilalui kendaraan, termasuk dengan sepeda motor. Dengan kondisi sepeda motor yang tak sehat, command center di Bandung dan Jakarta mengarahkan mereka ke kawasan Seruway, wilayah pesisir. Lima menit sebelum tiba, shockbreaker kembali patah. Samsu mendirikan tenda darurat di pinggir jalan, mengamankan Starlink dari hujan yang akan turun.
Ia kembali ke Seumadam untuk mencari spare part yang lebih layak. Dalam perjalanan pulang, ia kesulitan mendapat tumpangan. Tak ada satu pun kendaraan yang bersedia menepi ketika ia melambaikan tangan. Hingga seorang penyandang disabilitas dengan motor roda tiga berhenti dan mengantarnya tanpa meminta bayaran. Dalam perjalanan itu, Samsu menangis. Di tengah kelelahannya, ia terharu karena kebaikan yang datang dari orang yang memiliki kekurangan.
Menjelang siang, motor kembali siap. Mereka melanjutkan perjalanan dan akhirnya tiba di Kota Kuala Simpang. Lumpur masih terlihat di pinggir jalan. Bangunan rusak berdiri tanpa ditutup. Bekas banjir belum sepenuhnya hilang.
Samsu dan Erick melakukan asesmen singkat ke beberapa titik: sport center, jembatan, pasar, hingga pom bensin. Mereka pun memutuskan bahwa Starlink akan dipasang di Seruway. Di sana, mereka berkoordinasi dengan posko TNI AL. Surat jalan diperiksa. Tujuan dijelaskan. Izin diberikan.
Starlink yang Bermasalah
Starlink dipasang dan digabungkan dengan milik TNI AL. Tenda didirikan. Malam tiba. Warga berkumpul. Lalu koneksi itu mati. Starlink menyala satu jam, lalu terputus. Menyala lagi, lalu mati.
Warga mulai komplain. Komandan bertanya. Tekanan datang dari segala arah. Samsu dan Erick mencoba menjelaskan, meski pengetahuan mereka terbatas. Mereka hanya tahu memasang dan menyalakan, tidak lebih.
Malam itu, mereka meminta maaf berkali-kali. Ada rasa malu yang sulit ditutupi. Starlink TNI digunakan khusus untuk komandan, sementara milik mereka menampung hingga seratus lima puluh pengguna. Ketika koneksi benar-benar mati, warga bubar dengan kecewa.
Pagi hari, setelah saran teknis dari Astaka dicoba, Starlink kembali menyala. Stabil. Ada kelegaan singkat.
Bantu Tenaga di RSUD Aceh Tamiang
Samsu ikut TNI AL menuju RSUD Aceh Tamiang untuk membantu pembersihan ruang farmasi, bagian yang dianggap paling mendesak agar layanan kesehatan bisa kembali berjalan. Erick tinggal di posko, menjaga peralatan dan mengawasi unit Starlink yang sejak pagi masih belum sepenuhnya stabil. Keputusan itu diambil dengan kesadaran sederhana: di lapangan, tugas sering kali harus dibagi, meski tak satu pun terasa ringan.
Di perjalanan ke RSUD, Samsu sempat melewati rumah dinas bupati. Halamannya relatif bersih dibandingkan wilayah sekitarnya. Sebuah helikopter baru saja mendarat di sana. Pemandangan itu membuatnya terdiam. Dari prajurit TNI AL yang bersamanya, ia mendengar bahwa pada hari-hari awal pascabanjir, prioritas pembersihan memang diarahkan ke rumah dinas tersebut sebelum fasilitas umum lainnya. Samsu tidak langsung menyimpulkan apa pun. Namun di benaknya muncul pertanyaan yang sulit ditepis: mengapa rumah sakit tidak menjadi yang pertama?
Setibanya di RSUD, ia melihat pemdandangan kerusakan di sana. Lumpur masih tebal. Bahan kimia bercampur air banjir, mengeluarkan busa dan asap. Semua obat yang terendam dibuang. Farmasi dikosongkan total. Bahkan bidai kayu dianggap tidak layak pakai karena sudah tak steril. Di tengah pekerjaan itu, Samsu bertanya dalam hati: berapa lama rumah sakit ini bisa pulih?
Starlink Bermasalah Lagi
Malam berikutnya, masalah Starlink kembali muncul. Kabel ternyata sobek. Konektor tidak mengunci sempurna. Tekanan mental meningkat. Erick bahkan menahan lapar seharian karena merasa bersalah dan malu minta makan di posko. Samsu memaksanya makan, ia takut rekannya jatuh sakit.
Akhirnya, mereka sepakat mundur dari posko pesisir. Starlink TNI AL dinilai cukup. Peran mereka di sana selesai. Ia mendengar Tim 2 dari Astacala akan segera berangkat menyusul ke Aceh Tamiang, melanjutkan misi berdasarkan informasi dan kondisi yang didapatkan Samsu. Dan Tim 2 ini akan membawa dua unit tambahan Starlink, lengkap dengan beberapa kabel cadangan yang akan digunakan untuk mengganti kabel yang rusak.
Sebelum kembali, Samsu sempat berkoordinasi dengan berbagai pihak: kantor bupati, posko utama, hingga posko Salam AID. Dari sana, ia melihat kemungkinan kolaborasi di masa depan: organisasi yang rapi, trauma healing berjalan, pendanaan jelas. Posko inilah yang kemudian dikirimkan ke command center untuk dilakukan koordinasi lebih lanjut.
Serah Terima ke Tim 2
Perjalanan pulang ke Medan kembali diwarnai gangguan kecil yang terasa berat setelah hari-hari panjang di lapangan. Seperti ban bocor memaksa mereka berhenti di tengah jalan. Waktu pun molor, merayap hingga larut malam, menambah lelah yang belum sepenuhnya pulih.
Namun di sela jeda itu, pekerjaan belum benar-benar usai. Dari pinggir jalan yang gelap dan kamar penginapan yang seadanya, Samsu mulai merapikan catatan. Foto-foto dipilih, video dipilah, dan temuan lapangan dituliskan ulang agar bisa dipahami orang-orang yang tak berada di sana.
Semua itu dikirimkan ke grup koordinasi. Potongan informasi tentang desa-desa terdampak, posko yang aktif dan pasif, hingga jaringan komunikasi yang hidup dan mati, perlahan membentuk gambaran awal. Dari serpihan-serpihan inilah keputusan selanjutnya mulai disusun, bukan di Aceh Tamiang, melainkan ratusan kilometer jauhnya.
Setibanya di Medan, peran Samsu resmi berakhir. Data diserahkan. Perlengkapan diinventarisasi. Tongkat estafet berpindah tangan ke Tim 2.
Pusat koordinasi di Bandung dan Jakarta mulai merangkai gambaran yang lebih utuh: menyusun prioritas, menghitung sumber daya, menimbang ulang lokasi-lokasi yang masih tak memiliki sinyal, sekaligus menyiapkan langkah lanjutan di lapangan. Apa yang dialami Samsu dan Erick menjadi pijakan awal untuk pergerakan selanjutnya.
Refleksi
Dalam refleksinya, Samsu menyebut satu hal yang ia pelajari: dalam situasi bencana, rumah pertama seorang pecinta alam hampir selalu sekretariat mapala setempat. Jejaring ini mungkin tidak resmi, tidak tercatat dalam struktur komando negara, tetapi terasa hidup dalam eratnya jalinan persahabatan. Seperti dibangun dari kepercayaan, pengalaman bersama, dan kesediaan untuk saling membuka pintu.
Samsu juga mencatat pelajaran yang sangat membekas di hatinya, yang datang dari manusia-manusia yang ia temui di jalan. Warga yang menolak dibayar meski membantu tanpa diminta. Orang asing yang berhenti, mengantar, lalu pergi tanpa ingin dikenal. Tangan-tangan yang muncul di saat paling genting, ketika sistem belum sepenuhnya bekerja.
Dari sanalah Samsu menyadari bahwa misi ini tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu berjalan dalam kolaborasi banyak pihak. Ada rapat dan keputusan yang diambil dari jauh, yang berpadu dengan kenyataan yang dihadapinya di lapangan. Berdasarkan hal tersebut, kerja kemanusiaan benar-benar diuji. Di sanalah kemudian arah perjalanan Astacala berikutnya mulai ditentukan dan disempurnakan: koordinasi yang baik antara command center, tim relawan di lapangan, serta kerja sama dengan berbagai pihak di luar tim. []

Comments
Post a Comment
Tulis nama Anda. URL bisa dikosongkan atau lengkapi dengan http/https.