Tanggap Bencana Sumatera

Seminggu menjelang akhir November 2025, grup percakapan WhatsApp Astacala diisi oleh kabar dari Jawa Timur. Letusan awan panas Gunung Semeru menjadi topik yang dibahas, diikuti terusan laporan-laporan awal dari rekan-rekan Mapala di Malang dan sekitarnya. Hasil asesmen lapangan membawa informasi tentang kebutuhan mendesak di wilayah-wilayah sekitar kaki gunung tertinggi di Pulau Jawa itu. 

Respons anggota Astacala, yang dituntut sigap dalam kebencanaan, belum berbentuk wujud tindakan nyata. Namun sebuah langkah awal tetap dilakukan: memetakan titik-titik lokasi terdampak. Wahyu Djatmiko, yang dikenal mumpuni di bidang sistem informasi geografis, mulai merangkai ide pemetaan itu. Lalu, tiba-tiba datang kabar yang jauh lebih dahsyat: banjir besar melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Hari-hari berikutnya diisi oleh kabar yang datang silih berganti. Dari dalam lingkaran Astacala sendiri, berita personal mulai bermunculan: kerabat yang masih terjebak di rumah dan tak dapat keluar, keluarga yang membutuhkan evakuasi, hingga kota-kota yang terputus aksesnya. Gambaran lapangan kian jelas pada satu kenyataan bahwa wilayah terdampak terbentang luas. Sementara itu, laporan media terus mengalir, membawa angka korban meninggal dunia dan hilang yang bertambah dari hari ke hari. 

Pada titik itu, sedikit kebingungan menghantui. Di tengah derasnya kabar tersebut, muncul pertanyaan sederhana namun berat: kita bisa bantu apa? Skala bencana terasa jauh melampaui kapasitas sebuah komunitas mahasiswa dan alumni pecinta alam. Mengirim logistik bukan perkara mudah, sementara turun langsung tanpa peran jelas rasanya berisiko menambah beban. Di antara dorongan untuk segera bergerak dan kesadaran akan keterbatasan, Astacala mulai menimbang: menentukan apa yang bisa dilakukan secara nyata, relevan, dan bertanggung jawab.

Astacala adalah perhimpunan mahasiswa pecinta alam di Universitas Telkom, di Bandung, Jawa Barat. Ia dibentuk oleh mahasiswa dan alumni yang sejak awal terbiasa berkegiatan di alam sekaligus bergelut dengan teknologi. Dalam perjalanannya, sebagian aktivitas sosial dan kemanusiaan Astacala kemudian melahirkan Yayasan Astacala, sebuah badan nirlaba yang menjadi wadah legal untuk pengelolaan program, donasi, dan pertanggungjawaban publik. Keduanya bergerak dalam semangat yang sama: belajar dari lapangan, bekerja secara kolaboratif, dan berupaya hadir di tengah masyarakat.

Beberapa anggota Astacala yang memiliki akses ke layanan telekomunikasi di Indonesia kemudian memberikan laporan. Mereka mengabarkan bahwa sebagian besar jaringan seluler di lokasi bencana terputus. Banjir besar menyebabkan suplai listrik terhenti sehingga jaringan transmisi ikut terganggu. Sejumlah menara BTS tidak dapat beroperasi, sementara jalur backhaul ke pusat jaringan mengalami gangguan serius. Dalam kondisi seperti ini, pemulihan komunikasi publik diperkirakan membutuhkan waktu yang tidak singkat.

Astacala menyadari posisinya dengan sadar. Kami bukan lembaga bantuan besar dengan sumber daya melimpah, bukan pula NGO yang telah puluhan tahun bergerak di medan kebencanaan. Jam terbang kami tidak dibangun dari operasi-operasi masif, melainkan dari proses belajar yang panjang. Namun sejak awal, Astacala tumbuh dengan naluri teknis: lahir dan besar di lingkungan kampus telekomunikasi, serta ditopang jejaring anggota dan sahabat yang tersebar di berbagai bidang dan wilayah. Di tengah keterbatasan itu, kapasitas inilah yang kami pahami sebagai modal awal paling nyata untuk berkontribusi.

Astacala pun bergerak. Rapat koordinasi internal secara daring dilakukan. Misi tanggap bencana disusun. Sumber daya yang ada dipetakan, dan satuan tugas dibentuk. Jimi Piter dipilih sebagai ketua tim tanggap bencana ini, didukung oleh Widi Widayat dan Agyl Mubarok, yang merupakan ketua yayasan serta ketua Astacala. Rapat-rapat daring yang berlangsung kemudian menghasilkan keputusan yang semakin mengerucut. Sebagai komunitas pecinta alam dengan latar belakang dunia teknologi, misi utama pun disepakati: mendukung pemulihan jaringan telekomunikasi.

Misi ini dinilai masuk akal. Astacala memandang daerah terdampak bencana perlu memiliki sistem komunikasi dan akses internet yang dapat digunakan untuk mendukung kegiatan penanggulangan bencana, sebagai solusi sementara sebelum jaringan publik pulih sepenuhnya. Sistem ini diharapkan dapat memfasilitasi komunikasi relawan, aparat pemerintahan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Basarnas, Dinas Sosial, hingga para pengungsi, sebagai sarana koordinasi yang praktis dan mudah dipindahkan.

Skala bencana yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat segera menyadarkan kami pada satu kenyataan yang tak bisa dihindari: tiga provinsi terdampak adalah wilayah yang terlalu luas untuk dijangkau sekaligus. Dalam diskusi-diskusi internal, keterbatasan dana, personel, dan logistik berulang kali muncul sebagai faktor penentu. Ada kekhawatiran bahwa bergerak terlalu luas justru berisiko membuat kontribusi menjadi setengah-setengah, atau lebih buruk lagi, kemungkinan mengambil keputusan yang keliru di tengah situasi yang serba darurat.

Dengan kondisi itu, Astacala memilih untuk memusatkan misi di satu kabupaten yang merupakan salah satu wilayah terdampak paling parah: Aceh Tamiang. Keputusan ini diambil bukan karena wilayah lain kurang penting, melainkan karena dengan sumber daya yang tersedia, kabupaten pesisir timur yang berbatasan langsung dengan Sumatera Utara ini dinilai paling memungkinkan untuk dijangkau secara cepat dan efektif. Dari titik inilah, Astacala berharap dapat bekerja secara terukur, seraya membuka peluang untuk memperluas operasi jika situasi dan kapasitas memungkinkan.

Kami memahami bahwa lapangan tidak akan ramah. Banjir mungkin mulai surut di beberapa tempat, tetapi medan tetap berat, akses jalan tidak menentu, dan informasi berubah dari jam ke jam. Teknologi yang kami bawa, termasuk Starlink, bukanlah solusi ajaib yang serta-merta menyelesaikan semua persoalan. Ia memang bukan kebutuhan pokok, ia hanyalah alat, yang efektivitasnya sepenuhnya bergantung pada kondisi lapangan, ketersediaan daya, cuaca, serta kemampuan adaptasi para relawan yang mengoperasikannya.

Kami juga menyadari bahwa koordinasi di tengah situasi darurat hampir selalu berjalan rumit. Banyak aktor terlibat, kepentingan bertemu di situasi tak nyaman, dan keputusan harus diambil dengan cepat di bawah tekanan. Dalam kondisi seperti itu, relawan bukan hanya diuji secara teknis, tetapi juga secara fisik dan mental. Mereka harus menahan lelah, mengelola emosi, serta tetap bekerja dengan jernih di tengah duka dan ketidakpastian. Karenanya, setiap keputusan harus diambil dengan hati-hati, sekaligus dengan komitmen penuh.

Pada tanggal 6 Desember 2025, tim pertama sebagai pendarat dikirim ke lapangan. Mereka adalah Adi Samsu dan Erick Pratama. Dari Bandung, keduanya bergerak menuju Bekasi, tepatnya ke PT Natabuana, sebuah perusahaan layanan teknologi yang diisi oleh banyak anggota Astacala. Di sana, satu unit perangkat Starlink disiapkan. Setelahnya, tim kemudian terbang dari Bandara Soekarno Hatta di Cengkareng ke Bandara Kualanamu di Medan. Lalu melanjutkan perjalanan darat menuju Kuala Simpang, ibu kota Kabupaten Aceh Tamiang.

Keberangkatan tim pertama itu menandai awal dari sebuah kerja lapangan yang sesungguhnya. Samar-samar, terasa bahwa rute perjalanan yang akan ditempuh dan tampak rapi di atas peta, masih terbentang medan yang belum sepenuhnya terbaca: desa-desa yang gelap sinyal, jalur yang terputus, dan kebutuhan yang terus berubah.  Doa dan dukungan pun mengalir mengiringi keberangkatan itu. []

I Komang Gde Subagia | Denpasar, Desember 2025

Comments