Cobalah untuk jalan-jalan secara daring ke hutan-hutan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Halmahera, dan wilayah-wilayah lain melalui Google Maps. Ibarat menerbangkan drone dengan kamera, atau duduk di atas helikopter lalu melihat ke bawah. Kita akan menyaksikan banyak titik-titik bopeng di sana, seperti bekas-bekas luka pada muka manusia. Semakin kita melihatnya dengan teliti, semakin kita tahu bahwa wajah permukaan bumi itu penuh koreng menganga di sana-sini.
Lalu kita bisa mencari informasi selanjutnya. Di internet, apa dan kenapa bopeng-bopeng itu ada, tak terlalu sulit untuk didapatkan datanya. Ada yang merupakan tambang batubara, emas, perak, tembaga, timah, nikel, dan berbagai mineral lainnya. Siapa pemilik konsesinya, siapa pemberi izinnya, itu juga bisa ditemukan; walaupun beberapa di antaranya mungkin tersembunyi dan butuh upaya lebih untuk bisa diketahui jejaknya.
Selain permukaan rupa bumi yang bopeng, ada juga yang terlihat rapi. Lanskap hijau luas dengan garis-garis pembatas lurus. Itu tentu saja bukan hutan rimba, melainkan perkebunan sawit monokultur yang berarti tanamannya seragam, itu-itu saja. Yang, kata presiden kita, sawit itu pohon juga, yang bisa diartikan maksudnya adalah: ia sama saja dengan pohon-pohon lain. Siapa pemilik kebun sawit itu dan siapa pemberi izinnya, sama saja seperti tambang. Sebagian kecil, mungkin milik warga setempat. Selebihnya milik perusahaan-perusahaan besar.
Lalu beberapa hari terakhir, media riuh ramai membahas itu semua. Pemicunya adalah musibah banjir mengerikan yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Sungai meluap dengan gelondongan kayu berserakan yang tak terhitung jumlahnya. Berbarengan dengan longsor yang menerjang dan memutuskan jembatan hingga mengisolasi banyak tempat. Ratusan orang meninggal dunia dan hilang. Pipi kita seolah ditampar dengan kenyataan. Mata kita seperti dipaksa dibuka untuk melihat akibat dari bumi yang bopeng-bopeng atau seragam karena barisan sawit itu.
Segala kerusakan alam itu adalah akibat dari upaya orang-orang kaya yang berusaha bertambah kaya, padahal sudah sangat kaya. Mereka itu adalah pejabat, dari level presiden, menteri, hingga kepala daerah. Juga para pebisnis dan pengusaha. Atau perpaduan keduanya, menyumbang sistem bernegara yang tak adil di negeri kita. Mereka bisa kong kali kong menguasai lahan semaunya, tanpa batas, dengan peraturan yang mereka labrak atau ciptakan ulang sesuai keinginan.
Dan lucunya, mereka-mereka itu, yang dulu salah satunya cengar-cengir dikritik artis dunia karena membiarkan penggundulan hutan terus berlangsung, yang juga memberikan izin pembukaan-pembukaan lahan lewat tanda tangan kuasanya; mereka juga kemudian yang tampil bak pahlawan. Datang memikul beras, bawa spanduk, bawa tim, bawa kamera; seolah itu adalah panggung untuk bisa memikat orang-orang yang kena musibah atau yang melihat beritanya supaya berdecak kagum.
Presidennya, yang jadi pemimpin tertinggi, tak jauh berbeda juga. Mengatakan untuk menghentikan penebangan pohon-pohon besar di hutan. Seolah lupa ingatan bahwa dulu ia mengatakan sawit adalah 'pohon juga' yang bisa ditanam menggantikan pohon-pohon besar itu. Ia juga seolah lupa memiliki lahan puluhan ribu hektar di Sumatera di daerah-daerah yang dilanda bencana itu.
Apakah hanya para pejabat korup dan pebisnis rakus itu saja yang berpengaruh? Tentu saja tidak. Rakyat kelas menengah dan kecil kebanyakan juga ada pengaruhnya, termasuk kita yang saat ini menggulir membaca tulisan ini di layar gawai atau monitor komputer, walaupun tidak sebanyak gerombolan-gerombolan yang disebutkan sebelumnya, yang punya tombol keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan perusakan alam.
Tidak usah jauh-jauh dulu, yang dekat dengan kehidupan sehari-hari kita saja sudah banyak. Jika kita sering mengganti kendaraan bermotor atau alat elektronik, itu berarti kita menggunakan berbagai tambang logam. Belum lagi baterainya, itu dari nikel yang digali dari perut bumi. Sabun dan berbagai bahan kosmetik itu dari sawit. Dan lain-lain. Tidakkah kita berlebihan dan rakus menggunakannya?
Pada akhirnya, semua itu kembali pada satu hal yang sederhana namun kerap terlupakan: manusia saling melekat dan saling bergantung satu sama lain. Tidak ada satu pun dari kita yang benar-benar berdiri sendiri. Bahkan orang yang merusak alam pun, sejatinya, melakukannya karena ada orang lain yang membutuhkan, atau setidaknya, merasa membutuhkan, hasil dari kerusakan itu.
Tak mungkin batubara digali terus jika manusia tak boros energi listrik. Tak mungkin logam-logam digali jika manusia tak seiring gonta-ganti kendaraan dan berbagai perkakas. Tak mungkin kain-kain, pewarna pakaian, bahan baku untuk mempercantik diri, yang bahannya sebagian besar dari tambang dan sawit itu, tidak diproduksi besar-besaran jika manusia tak menginginkannya. Tak mungkin galian tambang batu dan pasir dihentikan jika rumah dan gedung-gedung tak bosan dibangun. Namun bukankah itu memang diperlukan?
Di sinilah kemudian letak persoalannya: apakah benar itu kebutuhan? Ataukah hanya keinginan yang diberi pakaian seolah-olah ia sebuah kebutuhan? Sebab kebutuhan selalu memiliki batas. Ia membuat kita tahu kapan harus berhenti, kapan cukup adalah cukup. Keinginan, sebaliknya, tidak pernah mengenal garis akhir, seperti yang dipertontonkan oleh mereka yang duduk di singgasana atas sana, atau bisa juga kita sendiri tanpa menyadari sepenuhnya.
Dan selama keinginan itu dibiarkan beranak-pinak, kita akan terus menggali bumi tanpa jeda, terus menebang tanpa rem, terus menukar masa depan demi kenyamanan sesaat. Kita menjadi seperti orang kehausan di tengah lautan; setiap teguk air asin hanya membuat mulut semakin kering. Semakin banyak kita minum, semakin besar pula dahaga yang kita rasakan.
Pada akhirnya, kita dihadapkan pada pilihan yang menentukan: belajar mengenali batas antara kebutuhan dan keinginan, atau terus membiarkan diri terseret oleh dahaga yang tak pernah puas. Alam telah memberi peringatan berkali-kali. Semua itu bukan hanya tanda bahwa hutan mulai rapuh, tetapi bahwa hidup kita sendiri ikut tergerus perlahan. Dan jika kita tak belajar menghentikan dahaga itu, mungkin suatu hari nanti yang habis bukan hanya hutan dengan keanekaragaman isinya, tapi juga kita. []
I Komang Gde Subagia | Denpasar, Desember 2025

Comments
Post a Comment
Tulis nama Anda. URL bisa dikosongkan atau lengkapi dengan http/https.