Alkisah pada zaman dahulu kala, ada legenda tentang seorang raja di Bali. Namanya: Sri Aji Mayadanawa. Cerita dan waktu bergulir, menuliskan nasibnya yang sial. Ia diturunkan paksa dari tahtanya. Didemo, diperangi oleh para prajurit dan rakyat bersama para tokoh perlawanan. Mirip seperti Presiden Soeharto pada masa reformasi.
Berbeda dengan sang mantan presiden negara ini, yang beberapa waktu lalu diresmikan jadi pahlawan; raja Bali itu dikisahkan sebagai penjahat. Ia dituduh menghalangi rakyatnya memuja batara-batari, digambarkan memerintah secara kejam dan lalim, serta tak pernah disanjung bak pahlawan. Kejatuhannya diperingati meriah hingga kini, sebagai Hari Raya Galungan.
Sejarah ditulis oleh mereka yang menang: pemenang perang atau pemenang pemilu, sesuai zamannya. Yang baik, bisa dituliskan jahat; yang benar, bisa dikatakan salah; atau sebaliknya. Bukankah memang demikian? Ada kalanya pula kisah disajikan dalam satu versi saja, tak ada versi tandingan. Karena yang kalah telah musnah, tak berkesempatan dengan pembelaan apa pun.
Apakah itu artinya Mayadanawa bukan tokoh jahat? Melainkan ia raja Bali yang pernah hidup dan patut dihormati? Bukan, bukan itu maksudnya. Hidup tidak sesederhana hitam dan putih. Kisah manusia yang diceritakan dalam sejarah pun demikian: kadang abu; kadang juga merah, kuning, hijau, biru, oranye; seperti warna-warni bendera partai politik. Di satu sisi ia benar, di sisi lain ia bisa salah, atau keduanya.
Lalu, siapa sebenarnya Sri Aji Mayadanawa, tokoh adharma yang dikalahkan oleh dharma? Lontar-lontar penting di Bali banyak menuliskan kisahnya, tapi kesahihannya tidak bisa dijamin. Tak ada prasasti resmi yang menyebutkan sosoknya sebagai tokoh sejarah. Namun menjadi menarik ketika ia ditengarai sebagai personifikasi sosok yang benar-benar hidup pada masa lalu.
Dalam linimasa sejarah Bali, ada beberapa tokoh yang disinyalir sebagai sosok di balik legenda Mayadanawa. Nama yang paling sering disebut ialah Sri Ratna Bumi Banten, Raja Bedahulu sebelum Bali ditaklukkan oleh ekspedisi Gajah Mada pada abad ke-14. Dalam catatan Majapahit, ia disebut sebagai penguasa yang “ditaklukkan”, tetapi tidak ada uraian tentang kepribadiannya. Ruang kosong itu memancing dugaan: mungkinkah kekalahan Bali Kuno kemudian diceritakan ulang sebagai kekalahan seorang raja yang dimitoskan sebagai Mayadanawa?
Ada pula yang menghubungkannya dengan penguasa-penguasa pada masa Dinasti Warmadewa di abad ke-9 dan ke-10 yang lebih lampau. Mereka raja-raja yang memiliki jejak konflik dalam tradisi lisan. Pada masa konsolidasi kekuasaan, delegitimasi pihak yang kalah merupakan hal lumrah: yang tidak lagi berkuasa, lambat laun ditulis sebagai sosok congkak atau melawan tatanan dharma. Dalam proses panjang itu, bayangan seorang raja yang dianggap 'melenceng' bisa saja berubah menjadi tokoh simbolik dalam cerita sakral.
Pendapat lain, yang lebih teologis, menceritakan perseteruan seorang raja dan putranya pada abad ke-6: Jayasunu dan Mayadanawa, yang berbeda aliran kepercayaan. Salah satunya menganut ajaran Mahayana, satunya lagi Terawada. Mereka bertentangan paham. Pertarungan keagamaan itulah yang kelak melatari kisah dirayakannya Galungan. Cerita tentang tokoh-tokohnya yang dharma dan anti dharma sering menjadi cara masyarakat menarasikan ketegangan spiritual.
Walaupun berbeda, satu yang sama dari semua versi itu adalah: ada konflik perebutan kekuasaan. Ada pertikaian terjadi. Yang mungkin diakibatkan karena perbedaan sekte, aliran kepercayaan, maupun arus kekuatan yang hidup pada masa Bali Kuno. Ada kekalahan suatu dinasti, ada pusat kuasa yang runtuh. Dan Mayadanawa, dalam ingatan kolektif, adalah tokoh yang dikalahkan itu. Yang kemudian dikisahkan sebagai pemimpin jahat.
Berbagai kemungkinan tentang Mayadanawa terus tumbuh dan hidup dalam perbincangan dari waktu ke waktu. Melalui proses panjang di mana ingatan, moralitas, dan kebutuhan simbolik masyarakat bertemu. Pesan-pesan dharma dan kebaikan diwariskan dari generasi ke generasi, entah sedikit atau banyak yang hilang, bahkan mungkin disembunyikan. Kisahnya bertahan hingga saat ini, walaupun tak dapat diverifikasi secara ilmiah oleh para sejarawan.
Dan pada titik ini, kita tiba pada persoalan yang lebih luas: bagaimana tokoh-tokoh sejarah dipahami, dipuji, atau dicaci. Rasanya itu semua tergantung pada siapa yang memegang pena. Kisah masa lalu bukan hanya kumpulan nama dan peristiwa, tetapi arena perebutan citra. Tak berbeda jauh dengan kabar beberapa hari ini: seorang mantan presiden dengan berbagai catatan dosa diangkat sebagai pahlawan nasional. Seolah sejarah bisa dipulihkan hanya dengan sebuah gelar; seolah kesalahan, ketika dibungkus indah, dapat berubah menjadi kebajikan.
Lantaran itulah legenda Mayadanawa terasa relevan. Ia mengingatkan kita bahwa kebenaran sejarah tidak pernah tunggal. Bahwa tokoh yang kalah bisa dilabeli jahat, tokoh yang menang bisa dijadikan suci. Dan bahwa Galungan, hari raya kemenangan dharma, rasanya tidak seharusnya hanya dirayakan sebagai kemenangan saja. Tetapi juga dijadikan sebagai kesempatan untuk eling dan tidak lupa.
Bahwa jika ada satu sisi sebuah kisah, maka jangan lupakan sisi lainnya. Sisi yang mungkin tenggelam sebagai suara-suara hilang dari mereka yang dikalahkan, yang tidak sempat menuliskan versinya sendiri. Mungkin inilah dharma yang sejati: kemampuan untuk mengingat, melawan lupa, bahkan ketika sejarah memilih untuk melenyapkannya. []
I Komang Gde Subagia | November 2025

Comments
Post a Comment
Tulis nama Anda. URL bisa dikosongkan atau lengkapi dengan http/https.