Mantra Arjuno

Para pelari Mantra116 di Gunung Arjuno dan Welirang.
Foto oleh Official Mantra116 Committee.

Ada satu lomba lari lintas alam. Namanya: Mantra116. Menurut banyak pengamat, ia adalah salah satu trail race major dan terbaik di Indonesia. Artinya, lomba tersebut diakui banyak penggemarnya sebagai salah satu yang besar dan utama di antara seluruh lomba yang ada.


Apa Itu Mantra?

Kata “Mantra” berasal dari singkatan Malang Trail, dan lomba ini diselenggarakan oleh komunitas Mantra Runners. Sementara angka “116” merujuk pada kategori utamanya: 116 kilometer lari lintas alam.

Lomba ini digelar di kawasan Pegunungan Arjuno–Welirang, Jawa Timur, pada 4–6 Juli 2025, dengan titik awal dan akhir di Kaliandra Resort, Prigen, Pasuruan.

Sebagai pelari santai, saya ikut di kategori menengah saja: 34K, alias 34 kilometer. Elevasinya sekitar 3.050 meter. Meski disebut kategori menengah, justru 34K ini memiliki mountain level tertinggi di antara semua kategori yang ada—salah satunya dihitung dari kemiringan jalur, kurang lebih seperti mengukur sudut pada segitiga siku-siku.

Dari Bali, cukup banyak rekan saya dari Bali Trail Running yang ikut serta di berbagai kategori. Selain itu, dua rekan dari Astacala di Bandung juga berlaga di 34K dan 38K—dua kategori yang sama-sama memiliki nilai ITRA 2, hanya berbeda lintasan. Saat pengambilan race pack, saya sempat bertemu para Astacalers ini: Sinchan dan Pak Jef.

Untuk diketahui, ITRA adalah kependekan dari International Trail Running Association, sebuah organisasi internasional yang bertujuan untuk mengatur, mengembangkan, dan mempromosikan olahraga lari lintas alam di seluruh dunia. Nilai yang saya maksud adalah merujuk pada tingkat kesulitannya, makin tinggi nilainya makin sulit tantangannya.


Mulai Tengah Malam

Lomba 34K yang saya ikuti dimulai tepat tengah malam, bersamaan dengan 38K. Suasananya ramai dan riuh di menit-menit sebelum starting flag diangkat.

Jumlah pesertanya ratusan. Seremonialnya seperti lomba pada umumnya: sambutan panitia, pengambilan video peserta yang membentuk gelombang, serta menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Setelah hitungan mundur selesai, lomba pun dimulai. Melalui kawasan resort yang asri walau gelap, serta jalan makadam. Memasuki hutan di kilometer-kilometer awal, jalur yang sempit membuat kemacetan panjang. Di sinilah saya banyak menghabiskan waktu sia-sia.

Pelajaran berharga jika nanti ikut lomba lagi: harus ngebut di beberapa kilometer awal supaya tak terjebak antrean panjang. Di dalam antrean, saya berbarengan dengan Yussa dan Wowok, dua pelari Bali Trail Running yang ikut 38K.

Lomba dimulai pada tengah malam.
Foto oleh Official Mantra116 Committee.


Pondok Welirang, Taman Dewa, dan Lembah Lengkehan

Pukul tiga pagi lewat, saya tiba di water station pertama: Pondok Welirang. Tak sampai tiga menit saya berhenti—menyempatkan diri makan beberapa potong semangka dan pisang, serta minum segelas teh manis hangat.

Asupan dari cut off point pertama itu benar-benar membantu, memberi tambahan tenaga dan semangat. Saya pun melanjutkan lari tipis-tipis, yang lebih banyak didominasi power walk.

Ketika pagi mulai terang, saya tiba di Taman Dewa. Ini adalah nama sebuah sadel di antara Puncak Gunung Welirang dan Puncak Gunung Kembar I. Di sinilah para pelari dari dua kategori berpisah: yang 38K belok ke utara mendaki Puncak Welirang, sementara yang 34K ke selatan mendaki Puncak Gunung Kembar I, lalu turun ke sebuah lembah: Lengkehan.

Ada water station kedua di lembah ini, juga banyak tenda para pendaki. Saat menuruninya, pemandangan tenda-tenda berwarna-warni tampak semarak. Sementara cuaca makin dingin. Saya sampai mengenakan sarung tangan karena jari terasa mau beku. Tapi kemudian saya lepaskan, karena susah mengambil barang atau makanan.

Sayangnya, saya mulai mengantuk dan sedikit mual. Beginilah kalau lomba dimulai tengah malam—tantangannya ada pada pencernaan. Ini harus menjadi pekerjaan rumah saya berikutnya: bagaimana mengatasi mual dan perut kembung.

Parahnya, tak ada teh manis hangat. Pilihannya hanya minuman bersoda dan air putih. Yang hangat-hangat adanya mi instan. Saya pun mengambil semangkuk kecil, memakannya tanpa banyak selera sambil menurunkan heart rate. Rasanya, waktu yang saya habiskan tak lebih dari lima menit.

Berlari saat malam dengan penerangan headlamp.
Foto oleh Official Mantra116 Committee.

Taman Dewa di Gunung Arjuno-Welirang.
Foto oleh Official Mantra116 Committee.


Gunung yang Syahdu

Jalur berikutnya melipir Gunung Kembar II, tanpa mendaki ke puncaknya, lalu melewati sabana Lapangan Kotak.

Di sini, saya merasakan suasana yang syahdu sekali: pagi di padang rumput luas yang berkabut, dengan pepohonan pinus dan cemara di sekitarnya.

Sayang, saya melaluinya bukan sebagai pendaki yang bisa menikmatinya lebih lama, melainkan sebagai pelari. Saya harus cepat-cepat supaya tak kena cut off point.


Tidur Jelang Arjuno

Tanjakan terjal terakhir lomba ini menunggu: menuju Puncak Gunung Arjuno. Kabut makin tebal, angin kencang, ditambah hujan gerimis. Saya mulai melambat. Ngantuk dan mual.

Di sebuah celah bebatuan, saya sempat berhenti untuk beristirahat agak lama. Saya tidur meringkuk. Beberapa pelari yang lewat membangunkan saya.

“Aman, Mas?”

Begitu seruan mereka. Sepertinya mereka mengira saya pingsan atau cedera. Hahaha. Padahal saya hanya ingin terlelap barang lima sampai sepuluh menit untuk menghilangkan rasa mual.

Sebagai sesama pelari di alam terbuka seperti ini, rasanya kemanusiaan—seperti menolong pelari lain yang berpotensi dalam kondisi kritis—wajib diutamakan daripada keinginan mengejar personal best atau juara.

Akhirnya saya bangun dan melanjutkan jalan cepat, mendaki menuju Puncak Arjuno. Bagi pelari elit, titik ini biasanya dicapai jelang matahari terbit. Tapi untuk saya, pukul delapan pagi lewat pun tak mengapa. Itu masih normal, karena di puncak ini ada salah satu check point yang vital.

Di Puncak Arjuno, saya bertemu Devi, pelari dari Bali Trail Running yang satu kategori dengan saya di 34K.

Pelari Mantra116 di Gunung Arjuno dan Welirang.
Foto oleh Official Mantra116 Committee.

Candi Sepilar

Dari Arjuno, jalur kemudian hanya menurun—tak ada tanjakan panjang lagi. Menyusuri punggungan sisi tenggara gunung, menuju Kecamatan Purwosari.

Jalur lari menembus hutan yang menyimpan banyak peninggalan sejarah Kerajaan Singosari dan Majapahit. Melewati puing-puing candi, arca, dan patung kuno; dengan aroma dupa dan kemenyan yang menyusup di udara.

Salah satunya adalah Candi Sepilar, dengan anak tangganya yang mistis. Namanya tampaknya diambil dari bentuk candi yang berupa pilar. Namun ada juga yang meyakini bahwa nama itu berasal dari ungkapan Jawa sepi ing nalar, artinya “menyepikan pikiran” atau “hening”.

Sepertinya tempat ini dahulu menjadi lokasi bersemedi. Layaknya tempat meditasi di masa kini yang bertujuan melepaskan diri dari segala urusan duniawi, menenangkan batin, dan mengheningkan pikiran seutuhnya.

Melalui Candi Sepilar.
Foto oleh Istimewa.

Melalui Candi Sepilar.
Foto oleh Istimewa.

Keluar Hutan

Jalur turun ini memang melalui banyak situs petilasan. Selain Sepilar, beberapa di antaranya: Makhutoromo, Eyang Semar, dan Eyang Sakri. Nama-nama yang unik sekaligus mistis. Siapa “eyang-eyang” yang dimaksud? Yang pasti, banyak kain putih dan kuning menghiasi tempat-tempat itu—mirip seperti di Bali.

Setelah keluar hutan, saya melewati perkebunan dan ladang warga. Tiba di cut off point terakhir: Puthuk Lesung, sekaligus tempat bertemunya kembali jalur kategori 34K dengan 38K. Dua kilometer kemudian disusul water station terakhir: Puthuk Elang. Melihat waktu yang tersisa, rasanya aman. Finish sekitar enam kilometer lagi.

Tapi saya kecele. Jalurnya berupa jalan makadam panjang. Saya tersiksa melaluinya—tak bisa lari, hanya jalan cepat—hingga akhirnya tembus ke gerbang Taman Safari Indonesia. Selanjutnya, menyusuri jalan aspal terus hingga kembali ke titik akhir di Kaliandra Resort.

Tiba kembali di Kaliandra Resort.
Foto oleh Official Mantra116 Committee.


Finish strong!

Hasil Akhir

Lalu, bagaimana hasil lombanya?

Total waktu yang saya perlukan adalah 13 jam 14 menit, dari cut off time lomba 15 jam. Padahal saya menargetkan di bawah 12 jam. Mungkin saya terlalu santai, atau kurang latihan. Atau mungkin keduanya.

Tapi tak apa. Rasanya hasil itu lebih dari cukup. Yang penting finish strong—berhasil menyelesaikan lomba tanpa melebihi batas waktu yang ditentukan, juga tanpa cedera atau masalah berarti.

Lumayan lah, ya? []


I Komang Gde Subagia | Malang, Juli 2025


Comments