Saya cukup tertarik saat melihat sampul National Geographic Indonesia edisi Oktober 2025: seekor harimau dengan belang tubuh yang didominasi warna hitam. Ia tampak gagah, mengendap di atas bebatuan berlumut dengan latar pepohonan hijau. Sekilas menyerupai macan kumbang, namun jelas bukan. Ia harimau, hanya dengan lorek yang tak umum.
Beberapa bulan setelah saya pulang dari pendakian ke Gunung Leuser, bayangan tentang kucing besar asli Sumatra itu masih sering muncul di kepala. Walau tak melihat langsung sosoknya saat itu, jejak-jejaknya banyak dan nyata, saya temukan bersama rekan-rekan pendakian. Rasa takjub dan penasaran itulah yang mendorong saya untuk terus ingin tahu lebih banyak.
Hingga akhirnya, majalah berjendela kuning langganan saya itu tiba di rumah. Saya membaca ulasan tentang harimau dengan corak tak biasa, yang disebut sebagai “lorek baru”. Artikel itu mengisahkan fenomena langka: sebuah keanehan genetika yang muncul pada populasi harimau di sebuah kawasan India yang nyaris punah, namun perlahan bangkit kembali.
Kawasan itu bernama Suaka Harimau Similipal, sebuah pulau kehidupan liar di tengah lautan aktivitas manusia. Suaka tersebut terisolasi dari habitat-habitat harimau lainnya: dikelilingi lahan pertanian, pemukiman, kota, dan jalan raya. Ibarat pulau alam liar di tengah lautan peradaban manusia.
Dikisahkan bahwa pada tahun 2014, Similipal hanya dihuni empat ekor harimau: tiga betina dan satu pejantan yang disebut T12. Si pejantan ini membawa mutasi genetik langka: bulunya didominasi warna hitam. Karena tak ada pejantan lain, mutasi itu menurun pada sebagian besar keturunannya. Populasi Similipal memang bangkit, tapi ancaman inbreeding atau perkawinan sedarah mengintai. Para peneliti khawatir keragaman genetik populasi ini akan semakin rapuh.
Namun, mutasi genetik bukan satu-satunya masalah. Isolasi habitat memperkuat dampaknya. Karena Similipal terputus dari kawasan lain, tak ada harimau luar yang datang untuk “menyegarkan” kolam genetik. Dalam kondisi seperti ini, satu gen menyebar cepat dan mendominasi. Jika saja koridor habitat tetap terhubung, populasi baru yang datang akan menjaga keseimbangan genetik secara alami.
Para peneliti menyadari ancaman ini. Selain mendatangkan dua betina dari kawasan lain untuk meningkatkan variasi genetik, pemerintah India mulai membangun koridor ekologis: lorong-lorong hutan yang menyambungkan satu suaka dengan suaka lainnya. Bila jalan raya melintas, dibuat jalan layang atau terowongan agar satwa tetap bebas berpindah. Koridor ini bukan sekadar infrastruktur, melainkan jembatan hidup bagi keberlangsungan spesies.
Dalam peta yang ditampilkan, Similipal sebenarnya memiliki jalur koridor ke kawasan terdekat, hanya saja beberapa bagiannya telah terfragmentasi. Di titik inilah tantangan konservasi muncul: tanpa konektivitas, populasi menjadi rapuh. Pemerintah India masih memiliki pekerjaan rumah besar untuk menyambungkan kembali fragmen-fragmen itu agar Similipal dapat benar-benar pulih secara alami.
Setelah membaca kisah Similipal, halaman berikutnya menyajikan peta persebaran harimau di Sumatra. Gambaran itu membuat dada saya terasa sesak: habitat-habitat harimau kita—Leuser, Batang Gadis, Tesso Nilo, Kerinci Seblat, Bukit Tiga Puluh, dan Bukit Barisan Selatan—tak lagi saling terhubung. Seperti pulau-pulau yang terpisah di lautan peradaban manusia. Kalau pun ada jalur alami yang tersisa, lebarnya kian menyempit, terdesak oleh aktivitas manusia yang merambat tanpa jeda.
Membaca semua itu, saya teringat pada jejak-jejak yang saya temukan di hutan Leuser. Barangkali jejak itu milik satu dari sedikit harimau yang masih bertahan. Seandainya suatu hari ia ingin berjalan jauh, mencari pasangan atau wilayah baru, tentunya ia akan menemukan daerah yang bukan hutan, melainkan pagar kebun, jalan raya, dan kota.
Barangkali, inilah momen bagi kita untuk belajar dari Similipal. Harimau Sumatera bukan hanya butuh hutan, tapi juga keterhubungan antara hutan-hutan itu. Seekor harimau tak mengenal batas administrasi provinsi, tak peduli pagar kebun sawit, atau jalan tol yang membelah bukit. Ia hanya tahu satu hal: berpindah adalah cara bertahan hidup dan meneruskan generasi.
Kalau koridor-koridor itu terus terputus, maka harimau kita akan terjebak dalam pulau-pulau sempit, perlahan kehilangan keragaman genetiknya, dan akhirnya, kehilangan masa depannya. Populasinya akan menyusut, perkawinan sedarah meningkat, kemudian generasi yang lahir menjadi kian rapuh terhadap penyakit maupun perubahan lingkungan. []
I Komang Gde Subagia | Denpasar, Oktober 2025
Comments
Post a Comment
Comment