Astacala


Jika ada hal-hal yang memberi pengaruh besar dalam hidup saya—entah itu orang, sekelompok orang, tempat, atau kejadian—maka salah satunya adalah Astacala. Sebuah nama yang mungkin tak terkenal, tapi bagi saya memiliki makna yang dalam. Ia bukan sekadar nama kelompok atau komunitas. Bukan pula hanya nama organisasi mahasiswa pecinta alam di Universitas Telkom, yang juga dijadikan nama sebuah organisasi nirlaba tempat saya bergabung: Yayasan Astacala. Tapi ia adalah rumah tempat saya belajar dan bertumbuh, bahkan hingga sekarang.


***

Pertengahan tahun 2001, saya tiba di Bandung. Mahasiswa baru, penuh rasa ingin tahu, melangkah masuk ke kampus yang saat itu masih bernama Sekolah Tinggi Teknologi Telkom, atau STT Telkom. Orang-orang mengenalnya sebagai kampus megah di selatan kota, dengan tower-tower pemancar zaman kemerdekaan yang bersejarah serta gedung-gedung kuliahnya yang gagah. Kini kampus itu telah bertransformasi menjadi Universitas Telkom, atau Telkom University, atau Tel-U.

Saat SMA, saya ikut di kegiatan ekstrakurikuler siswa pecinta alam, walau tak begitu aktif. Maka ketika menjadi mahasiswa baru, pilihan saya pun serupa: mencari kegiatan yang tak jauh berbeda. Di STT Telkom, pilihan itu bernama Astacala. Di kampus, kegiatan non akademik bukan disebut ekskul, melainkan unit kegiatan mahasiswa, atau disingkat UKM. Tapi intinya sama. Tempat mahasiswa untuk belajar di luar kelas, di luar laboratorium, di luar tembok formal perkuliahan.

Awalnya, saya sama sekali tidak tahu banyak tentang Astacala. Hanya saja, saya sering ngintip sekretariatnya yang mudah dikenali. Ia menempati sudut Student Center, agak unik dibandingkan yang lain. Jika unit-unit mahasiswa lain sekadar memiliki ruangan tertutup, Astacala berbeda. Mereka memiliki halaman samping yang rindang, ada kebun kecil, saung sederhana, kolam ikan, dan sebuah Land Rover gahar yang sering parkir di depannya. Dari luar saja, suasananya sudah memberi kesan lain.

Tapi kabar yang beredar tentang Astacala saat itu tidak sepenuhnya baik. Ada anggapan miring: katanya, itu tempat mahasiswa-mahasiswa yang kuliahnya lama, sering tak lulus ujian, bahkan banyak yang drop out. Tahun 2001, adalah masa ketika banyak kakak-kakak angkatan 1998 dan 1999 gagal melewati TPB atau Tahap Persiapan Bersama. Itu adalah syarat wajib menyelesaikan semua mata kuliah tahun pertama dengan IP minimal 2,0 di kampus.

Kesan pertama saya terhadap orang-orangnya pun tidak jauh berbeda dari rumor itu. Mereka terlihat urakan, mayoritas laki-laki dengan rambut gondrong dan gaya santai. Hanya satu dua perempuan, itu pun tampak tomboy. Sekilas, mereka lebih mirip preman terminal ketimbang mahasiswa teknik. Sering saya lihat mereka nongkrong di kantin. Menempati meja paling sudut, merokok, tertawa keras, seolah dunia di sekitar tak terlalu penting.

Entah bagaimana, kesan-kesan itu tak terlalu berpengaruh. Niat saya untuk bergabung tetap teguh. Namun saya malah melewatkan kesempatan di tahun pertama. Pengumuman penerimaan anggota baru terdengar samar, tak benar-benar sampai ke telinga saya. Seorang anggota Astacala yang saya temui kemudian berkata santai, “Pendaftarannya sudah tutup. Daftar saja tahun depan.” Belakangan, saya tahu ia bernama Ahmad Fauzi, alias Otong.

Meski tak bisa bergabung, saya sempat ikut salah satu kegiatan mereka yang terbuka untuk mahasiswa umum: Astacala Lintas Alam. Sesuai namanya, kegiatannya adalah trekking di alam. Rutenya dimulai dari Villa Istana Bunga di Parongpong, lalu berjalan ke barak tentara di Situ Lembang, bermalam di sana, dan keesokan harinya mendaki menuju puncak Gunung Tangkuban Perahu. Saya ikut bersama tiga teman dari Bali: Ufo, Kake, dan Agung. Itulah perjalanan pertama saya dengan Astacala di alam.


***

Setahun kemudian, 2002, saya mendaftar sebagai anggota Astacala. Mengikuti pendidikan dasar. Lulus. Tapi hanya dua orang yang berhasil menyelesaikannya: saya dan seorang mahasiswa senior asal Bengkulu: Jimi Piter alias Jimbo. Jumlah kami yang seadanya membuat saya sempat ragu. “Benarkah saya bergabung ke kelompok ini?” pikir saya kala itu. Saya juga anggota termuda. Entah mengapa, saya merasa seolah masa depan Astacala dititipkan di pundak saya seorang.

Sebagai anggota muda, saya diwajibkan mengikuti berbagai pendidikan lanjutan: navigasi darat, gunung hutan, pertolongan pertama dan search and rescue, panjat tebing, arung jeram, serta fotografi dan jurnalistik. Setelah itu ada satu tahap pamungkas: ekspedisi. Bukan ekspedisi besar, tapi kegiatan yang tingkatannya lebih sulit dari pelatihan sebelumnya, yang dirancang dan dikelola mandiri sebagai media belajar manajemen perjalanan. Kegiatan itu nantinya diakhiri dengan sidang, seperti ujian skripsi. Jika lulus, barulah status saya naik menjadi anggota penuh.

Sayangnya, pada tahun pertama itu saya justru lebih banyak mangkir. Jimbo menjalani semua pelatihan sendiri secara resmi. Saya hanya ikut dua saja: arung jeram dan ekspedisi kecil yang dipimpin Jimbo. Bisa dibilang, saya bukan peserta aktif. Lebih mirip 'tim hore' atau partisipan yang meramaikan suasana.

Di Astacala, setiap angkatan memberi nama bagi dirinya. Saya dan Jimbo memilih nama 'Air'. Nama ini datangnya dari saya. Alasannya sederhana: terdengar bagus dan cocok dengan angkatan yang sudah ada sebelumnya yang bernama Api. Air, kami pikir, bisa menjadi penyejuk bagi organisasi ini. 

Nama akun 'airmengalirsampaijauh' yang saya gunakan hingga kini pun lahir dari masa-masa itu. Saya adalah angkatan Air, dan kebetulan ada Jimbo, yang merupakan dedengkot Masjur, unit kegiatan jurnalistik kampus. Ia punya akun bernama 'bungamataair'. Memang orangnya puitis dan suka menulis. Biar identik, saya pun memilih nama airmengalirsampaijauh. Dengan filosofi sebagai pengingat akan perjalanan hidup: bahwa hidup ini mengalir, dan kita menjalaninya sepenuh hati.

Ngomong-ngomong soal penamaan angkatan, Jimbo sempat mengusulkan alternatif lain: Rotan Tiga. Katanya, hal itu disebabkan jumlah kami bertiga pada awalnya. Satu orang lainnya adalah Agung Pengayoman, teman seangkatan kuliah asal Jambi, yang ikut pendidikan dasar bersama kami. Sayangnya, ia memilih mengundurkan diri dua hari sebelum penutupan, tapi masuk lagi setahun kemudian.

Karena banyak absen dalam kegiatan resmi di angkatan Air, saya pun ngulang. Saya ikut pelatihan lanjutan bersama angkatan berikutnya: Kabut Fajar. Jumlah anggotanya banyak, sebagian seangkatan kuliah dengan saya. Prosesnya lebih ramai, lebih ceria, dan jauh lebih menyenangkan. Hingga akhirnya saya lulus dan mendapat nomor anggota penuh.


***

Selepas itu, saya menghadapi 'pendidikan' yang lebih serius. Sengaja saya tulis dalam tanda kutip. Karena yang saya maksud bukan sekadar pendidikan yang belajar materi teknik lapangan, tapi lebih kepada 'pendidikan kehidupan' yang sebenarnya. Saya masuk dalam struktur pengurus, menjadi bagian dari badan pendidikan dan latihan. Bertanggung jawab dalam kaderisasi dan peningkatan keterampilan sumber daya manusia. Merancang silabus kepecintaalaman, menyusun metode belajar di lapangan, mengajari anggota muda bernavigasi, memanjat tebing, mengarungi sungai. Dari anggota muda yang dulu hanya cemen dan ikut-ikutan, saya kini menjadi orang yang diikuti.

Dalam proses itu, ada dua sosok yang sangat membentuk saya sebelumnya.

Yang pertama adalah Ulman Noviadi. Kami memanggilnya Ulil. Ia mantan Ketua Astacala. Orangnya tenang tapi jahil, dan justru karena itulah saya mudah belajar darinya. Dalam pendidikan dasar, ia panitia yang low profile. Ia tidak suka menghukum dengan push-up atau koprol seperti panitia lain. Dari Ulil, saya belajar berkegiatan di alam dengan lebih tenang. Rasa takut berlebih melihat tebing yang terjal atau sungai yang deras, perlahan bisa saya kendalikan. Juga berlatih navigasi dengan benar: membaca peta, kompas, kontur, menakar jarak, hingga menentukan posisi di tengah hutan lebat.

Sosok kedua adalah Wahyu Djatmiko, atau Bedjat. Perawakannya biasa saja, rambut gondrong, ada terus di seluruh rangkaian pendidikan dasar saya. Statusnya alumni kala itu. Sama seperti Ulil, ia tak pernah memberi hukuman fisik. Ia lebih senang mengamati, mendampingi. Saya mengenalnya lebih dekat ketika menjadi anggota muda. Saat saya sering nongkrong di sekretariat, ia tidak menghakimi saya karena jarang ikut pelatihan lanjutan. Ia sibuk dengan dunianya: membangun perpustakaan kampus bersama komunitas Sang Pemula.

Dari Bedjat, saya belajar mencintai buku. Ia memperkenalkan saya pada nama-nama besar seperti Pramoedya Ananta Toer dan Tan Malaka. Ia juga membangun saung Astacala yang melegenda: bangunan kayu dengan ruang bertingkat yang bukan abal-abal, bagai rumah pohon. Ia juga banyak berkreativitas, seperti membuat rak buku, loteng, meja, dan kursi di sekretariat. Bahkan membangun website organisasi, sesuatu yang langka di awal 2000-an. Dari sinilah saya makin belajar menulis dan mulai mengelola situs web.


***

Mungkin cukup itu yang ingin saya ceritakan. Saya menulis secuil kisah perkenalan saya dengan Astacala ini sebagai bentuk penghormatan kecil. Karena hari ini, 17 Oktober 2025, adalah ulang tahun Astacala yang ke-33. Tulisan ini mungkin bisa dibilang sebagai nostalgia, sekaligus juga pengakuan. 

Dari komunitas inilah saya belajar banyak hal: belajar mencintai alam, belajar berkarya, belajar dari orang-orangnya. Saya beberapa kali terjatuh di sana, tentu. Tapi dari sana pula saya belajar untuk bangkit. Semua itu ikut membentuk saya menjadi seorang manusia seperti sekarang.

Sebagai penutup, izinkan saya mengutip kalimat yang ditulis Jimbo, rekan seangkatan saya. Diambil dari bagian epilog di buku Meniti Langkah- 25 Tahun Astacala, sebuah karya kolektif yang kami susun saat organisasi ini genap berusia seperempat abad beberapa tahun yang lalu:

“Astacala, sebagai sebuah organisasi pecinta alam, sebuah karya pergumulan anak-anak muda penuh gairah. Seperti namanya yang diawali dengan niat yang baik, tumbuh tanpa mengenal ujung waktu, berakhir hingga tamatnya hayat. Dia pasti bukan hanya sekedar rumah biasa bagi para penghuni dan tamu-tamunya, yang pintunya bisa membuka atau menutup. Tapi Astacala adalah jelmaan semaian bibit dari hakikat ide-ide orang yang pernah mendiaminya.”

“Seperti sebuah rumah. Ia akan kuat karena orang yang mendiaminya memberikan cahaya pada isinya. Bangunan yang semakin kokoh walau waktu memakan usianya. Sebuah bangunan tanpa pagar namun mengikat erat orang yang pernah melewati hari bersamanya. Setitik tonggak yang pasti tiada terlupa oleh kita benih-benihnya. Tak akan terlupa! Tak akan pernah!” []


I Komang Gde Subagia | Denpasar, Oktober 2025

Comments