Setiap akhir September, ada satu kenangan masa kecil yang selalu muncul di benak saya, terutama jika topiknya makin ramai diperbincangkan. Ingatan itu berkaitan dengan bagaimana sebuah negara bisa mengarahkan cara pandang warganya lewat pameran, cerita, hingga film wajib tonton.
Ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar di Klungkung, awal tahun 90-an, setiap minggu terakhir bulan September selalu ada pameran di Lapangan Puputan Klungkung, atau kadang di Balai Budaya. Saya suka, karena ada keramaian di sana. Hiburan bagi masyarakat dan anak-anak sekolah di sebuah kota kecil di bagian timur Pulau Bali.
Stand-stand pameran diisi oleh kantor-kantor dinas dan instansi pemerintah: kodim, polres, rumah sakit, dan sebagainya. Mereka memamerkan berbagai hal tentang kegiatan lembaga masing-masing. Namun, ada satu hal yang selalu sama: gambar-gambar pahlawan revolusi, kisah penculikan para jenderal, cerita tentang kejamnya PKI, serta aneka pesan mengenai pentingnya nilai-nilai Pancasila dan bahaya laten komunis.
Kami, para murid sekolah, berbondong-bondong datang bersama guru pendamping. Saya menikmatinya, karena rasanya seperti tamasya bersama. Bermain sambil belajar. Pulang dari pameran, kami selalu diberi tugas menuliskan pengalaman dan “manfaat” yang kami peroleh dari kunjungan itu.
Malamnya, tanggal 30 September, film Pengkhianatan G30S/PKI pasti diputar di TVRI, satu-satunya stasiun televisi kala itu. Saya hanya pernah menonton film itu sekali, bersama orang tua. Setelahnya, saya tak pernah mau lagi menonton. Film itu terlalu penuh kekerasan, darah, dan rasa ngeri yang menempel lama di benak anak-anak.
Kini, bila saya mengingat kembali, saya tak habis pikir: apa yang ada di benak orang tua saya saat membiarkan saya menonton film seperti itu? Dan apa yang ada di pikiran pemerintah hingga mewajibkan seluruh masyarakat, bahkan anak-anak sekolah, untuk menyaksikannya? Jujur saja, saya trauma.
Ketika reformasi datang, film itu berhenti tayang. Meski kini tersedia di YouTube, saya tidak pernah berniat untuk menontonnya lagi—bahkan sekadar iseng pun tidak. Rasa takut masa kecil itu masih membekas. Lagi pula, pemahaman saya tentang peristiwa 1965 kini sudah jauh berbeda.
Seiring waktu, saya mencoba mencari tahu melalui buku, film, majalah, maupun artikel di internet. Saya membaca berbagai versi: versi militer, versi aktivis yang kerap bertolak belakang, hingga versi sejarawan yang berusaha netral. Dari situ saya memahami bahwa apa yang dulu ditanamkan ke kepala saya lewat pameran dan film hanyalah satu versi: versi penguasa.
Saya mulai melihat peristiwa itu sebagai konflik kepentingan politik dan militer yang kompleks, bukan sekadar “pemberontakan PKI” sebagaimana dulu saya percayai. Peristiwa itu memicu pembantaian massal yang menelan ratusan ribu jiwa, orang-orang yang dianggap sebagai biang masalah—sesuatu yang sama sekali tak pernah diceritakan secara lugas dalam pameran di Klungkung atau film yang diputar di TVRI.
Hari ini, setiap akhir September, saya selalu mengingat kembali masa kecil saya: bagaimana sebuah negara mampu menanamkan cerita tunggal, membentuk pola pikir, dan menutup pintu bagi kemungkinan melihat kebenaran lain. Dampaknya panjang: lahir generasi yang tumbuh dengan rasa takut untuk bertanya, terbiasa membisu, dan mewarisi stigma terhadap siapa pun yang dianggap “berbau kiri.”
Celakanya, watak sebagian besar masyarakat kita—anak-anak hingga generasi mudanya—juga cenderung enggan menggali peristiwa masa lalu secara utuh, kurang tertarik pada sejarah bangsanya sendiri. Sikap abai ini seolah melengkapi skenario lama: narasi dibiarkan berjalan hanya ke satu arah, tanpa ada dorongan kuat untuk mencari kebenaran yang lebih luas.
Dari pengalaman itu saya belajar: apa yang ditanamkan sejak kecil belum tentu benar. Kita berhak, bahkan wajib, mencari kebenaran yang lebih jujur. Sejarah tidak bisa hanya diceritakan dari satu sumber, apalagi hanya dari penguasa. Kita harus berani mempertanyakannya—agar generasi berikutnya tidak lagi dicekcoki oleh satu versi kebenaran semu.
Setelah puluhan tahun berlalu, apakah kita benar-benar sudah bebas dari narasi tunggal penguasa? Ataukah kini kita hanya menggantinya dengan kisah-kisah lain yang dibentuk demi keuntungan segelintir pihak, yang bukan demi kebenaran sejati? []
I Komang Gde Subagia | Denpasar, September 2025
Comments
Post a Comment
Comment