Kayutangan

Kartu pos dari Kayutangan.


Di Kota Malang, tepatnya di Kecamatan Klojen, terdapat sebuah kawasan unik dan menarik. Sebuah kampung di lokasi strategis, tak jauh dari pusat kota. Namanya: Kayutangan. Ia menjadi salah satu bucket list utama yang saya masukkan ketika menyusun rencana wisata di kota apel ini.

Namanya terdengar sederhana, dibentuk dari dua kata yang jelas: kayu dan tangan. Konon, nama ini berasal dari sebutan jalan pada masa kolonial Belanda: Kajoetanganstraat. Alasannya, karena petunjuk lalu lintas di jalan itu terbuat dari kayu dan berbentuk tangan.

Namun, sejarah penamaan ini punya beberapa versi. Petunjuk lalu lintas kayu berbentuk tangan hanyalah salah satunya. Ada kisah lain yang menyebut bahwa nama itu berasal dari pepohonan berbentuk tangan yang tumbuh di sana. Ada pula yang mengatakan, sumbernya dari pohon yang memang bernama “kayu tangan” dan banyak ditemui di wilayah ini.

Entah mana yang benar. Toponimi suatu daerah memang kerap seperti itu—kisah yang beredar dari mulut ke mulut, menjadi cerita turun-temurun yang dipercaya hingga kini. Kadang, fakta sejarah dan bumbu cerita rakyat saling bercampur, membentuk narasi yang sulit dipisahkan. Justru di situlah letak pesonanya yang kadang menggugah rasa ingin tahu: sebuah identitas yang tumbuh bukan hanya dari catatan resmi, tetapi juga dari imajinasi dan ingatan kolektif warganya.

Usai menyantap makan siang di sebuah kedai es krim legendaris, saya dan Asa — istri saya, berjalan santai di trotoar jalan yang dahulu bernama Jalan Basuki Rahmat. Keramaiannya mengingatkan saya pada pusat-pusat wisata kota lain di Indonesia: seperti Malioboro di Yogyakarta, Braga di Bandung, atau Ubud di Bali. Derap langkah orang yang lalu-lalang berlatar pertokoan serta kafe-kafe kecil di pinggir jalan, sementara denting musik dari satu dua kios atau restoran sesekali menambah hangat suasana.

Pintu masuk menuju gang kecil kawasan Kayutangan dari sisi timur ada dua, masing-masing dengan gerbang bertuliskan: Kayutangan Heritage. Loket karcis yang dikelola warga lokal ada di setiap pintu masuk. Tiketnya seharga lima ribu rupiah. Setelah membayar, kami mendapatkan dua lembar kartu pos bergambar foto-foto lawas kawasan ini, yang sekaligus menjadi bukti pembayaran. "Kalau nanti misalnya ditanya di loket lain, tunjukkan saja kartu pos ini" kata penjaga loket menjelaskan sesaat setelah ia menyerahkannya pada kami.

Rumah-rumah berdempetan rapi di gang sempit yang kami susuri. Bersih dan nyaman. Apalagi saat itu sore hari, matahari sudah condong ke barat dan sinarnya sebagian besar terhalang bangunan di sekeliling kami. Angin sore berembus lembut di lorong-lorong, membawa udara sejuk khas Malang yang bahkan terasa sedikit dingin.

Yang ditawarkan di kawasan ini adalah nuansa oldies yang kental. Rumah-rumahnya berdaun pintu dan jendela dari kayu tua, unik dan estetik. Teras-terasnya berlantai ubin bermotif klasik, dihiasi pernak-pernik masa lalu yang sengaja dipajang untuk menarik perhatian pengunjung.

Di satu atau dua rumah, koleksi barang antik memenuhi ruangan: lampu petromaks, lentera, lampu gantung, televisi hitam-putih, pemutar piringan hitam, tape recorder, radio, alat musik, hingga telepon dengan tombol putar. Kursi, meja, dan lemari tua pun hadir melengkapi. Pengunjung bisa berfoto dengan memberikan donasi, seperti tertera di poster kecil: "Foto aja di sini! Cukup donasi Rp5.000" di dinding rumah.

Beberapa rumah lainnya disulap menjadi kafe kopi berdesain vintage, seakan mengajak pengunjung kembali ke masa lalu. Rasanya ada belasan tempat ngopi di gang-gang Kayutangan—luas seluruh kawasannya pun tak lebih dari dua lapangan bola. Namun, saat itu saya sedang tidak ingin kopi, melainkan ingin meneguk sesuatu yang segar dan dingin.

Pilihan jatuh pada sebuah depot minuman legendaris: Depot Es Taloen, yang sudah buka sejak tahun 1950, seperti tertulis di papan namanya. Konon, ini adalah kedai es campur pertama di Kota Malang. Es campur pesanan saya tampak begitu menggoda—perpaduan cendol, puding, kolang-kaling, tape singkog,ketan, durian, dan es serut bertabur sirup manis. Segarnya luar biasa, menghapus dahaga setelah Lelah berjalan-jalan di gang.

Menjelang senja, kami kembali menyusuri Kayutangan, kali ini di jalur yang bersebelahan dengan aliran Kali Sukun. Airnya cukup bersih meski berbau agak kurang sedap. Tepiannya dipagari besi berornamen hiasan bunga, lengkap dengan lampu-lampu bergaya Eropa. Saat lampu-lampu itu menyala, suasana menjadi romantis.

Di satu titik, jembatan kecil menghubungkan kedua sisi kali. Kesan jadulnya kuat, seolah sisa peninggalan Belanda. Tak jauh dari situ, sebuah kedai kopi tampak ramai, pengunjungnya duduk di kursi tinggi sambil menunggu pesanan. Di sebelahnya, sebuah tangga kecil berkelok tempat pengunjung bisa kembali ke jalan raya di sisi barat kawasan. Berdisir dan melihat gang di tepi kali ini, mengingatkan saya pada gang-gang kecil di kota-kota Italia yang pernah saya lihat di tayangan YouTube.

Meski malam mulai merayap turun, cahaya lampu-lampu temaram membuat Kayutangan seolahtetap berdenyut. Wisatawan yang didominasi anak-anak muda masih sibuk berswafoto di sudut-sudut yang tampak semakin fotogenik di bawah cahaya kuning lampu. Tak tersa sekitar tiga jam kami habiskan untuk menelusuri lorong-lorongnya, seakan waktu berjalan pelan. Hingga akhirnya, kami keluar di sisi utara dan riuh lalu lintas kota menyergap kembali. Lalu-lalan kendaraan dengan lampu-lampunya yang berpendaran mengingatkan saya bahwa penyusuran gang harus berakhir, meski rasanya ingin lebih lama lagi blusukan di dunia kecil yang sepertinya masih ada yang tersembunyi.

Tapi tak apa. Walaupun sebentar, Kayutangan meninggalkan kesan yang tak sekadar indah bagi saya. Ia juga memberikan sedikit kehangatan. Menjadi sebuah perjalanan singkat menyusuri sudut kota yang memadukan sejarah dan estetika. Jejak masa lalu di tengah kota ini seakan mengajarkan satu hal: bahwa nostalgia tak pernah benar-benar usang, selama ada yang mau merawatnya. []

I Komang Gde Subagia | Malang, Juli 2025

Comments