Seekor sapi melenguh keras, berdiri di hadapan takdirnya. Tali menjerat leher dan tanduk, tubuhnya bergetar, kakinya pincang berlumuran darah, dan matanya berair. Istri saya bercerita, ia menyaksikannya dalam upacara mecaru di Bali—tradisi yang mengorbankan hewan. Saya pernah ada dalam upacara itu. Tapi mendengar gambarannya lagi, bayangan tentang hewan yang menangis dalam siksaan sebelum disembelih itu, tak pernah lepas dari kepala saya.
Aneh memang. Di meja makan, daging hewan hadir sebagai santapan: lawar, sate, tum—semua begitu wajar, harum, nikmat. Tak ada rasa iba di sana. Tapi ketika hewan itu masih bernapas, menatap dengan mata penuh takut, semua berbeda. Ada sesuatu yang menyentuh hati, seolah jiwa saya ikut meraung sakit, yang tak bisa diabaikan.
Sains bilang, hewan memang bisa merasakan takut dan stres. Sistem saraf mereka mirip dengan kita: detak jantung yang berpacu, hormon stres yang melonjak, tubuh yang gemetar. Air mata yang kita lihat mungkin hanyalah reaksi biologis. Tapi manusia punya kemampuan yang lebih: menafsirkan. Dan di situlah beban itu muncul—air mata hewan berubah menjadi cermin yang memperlihatkan wajah kita sendiri, sebagai makhluk pemangsa sekaligus makhluk berperasaan.
Saya teringat masa kecil di Bali. Dulu, saya bisa ikut menyembelih ayam untuk upacara keluarga. Darah, jeritan, tubuh yang menggelepar—semua terasa biasa. Kini saya tak lagi sanggup. Tak bisa untuk mengakhiri nyawa seekor hewan. Kini tiba-tiba mulai ada jarak. Kalaupun terlibat dalam upacara, saya hanya mampu membersihkan hewan yang telah mati disembelih. Saya seperti ingin menolak bagian paling kejam dari ritual itu.
Dalam banyak budaya, hewan memang bukan sekadar santapan. Mereka adalah persembahan, jembatan antara manusia dan alam, antara dunia fana dan dunia gaib. Di Bali, sapi, babi, ayam, bebek, bahkan hingga anjing, hadir dalam ritual dengan makna yang melampaui tubuh mereka sendiri. Pengorbanan mereka diyakini menjaga keseimbangan kosmos. Namun, ketika saya menatap mata hewan itu, keseimbangan itu terasa goyah. Ada perasaan yang berkata: “Mereka juga hidup. Mereka juga takut.”
Barangkali memang begitulah hukum dunia: hidup lahir dari hidup lain. Tidak ada bunga tanpa tanah yang hancur, tidak ada daging tanpa nyawa yang dikorbankan. Tetapi kesadaran manusia adalah anugerah sekaligus beban. Kita makan dengan lidah, tetapi hidup dengan hati. Dan hati menagih pertanyaan: berapa banyak penderitaan mahluk lain yang sudah kita abaikan, hanya demi sepiring makanan yang nikmat?
Saya tidak tahu ke mana sapi itu pergi setelah napas terakhirnya. Surga hewan? Reinkarnasi? Atau hanya sunyi yang panjang? Yang saya tahu hanyalah ini: ia pernah ada. Ia pernah menatap dunia dengan mata yang jernih. Ia pernah menunggu giliran. Dan setidaknya, sebelum dagingnya kembali hadir di meja makan, saya teringat lagi tentang air matanya, yang diceritakan oleh istri saya tempo hari. []
I Komang Gde Subagia | Klungkung, Agustus 2025
Comments
Post a Comment
Comment