Pasar Klojen

Pasar Klojen

Ketika memutuskan untuk staycation di Kota Malang, jauh sebelum keberangkatan, saya sudah menetapkan satu tujuan yang tak boleh dilewatkan: berkunjung ke pasar kotanya. Bagi saya, denyut nadi sebuah kota bisa kita rasakan lewat riuh rendah pasar tradisionalnya. Tempat di mana hiruk-pikuk keramaian bersumber, tempat orang-orang berjualan dan berbelanja, bergumul dalam satu ruang kehidupan yang tak dibuat-buat.

Dan Pasar Klojen lah yang kami pilih. Berjarak sekitar satu setengah kilometer dari hotel tempat kami menginap, saya dan istri memutuskan untuk berjalan kaki ke sana. Kota Malang siang itu cukup bersahabat; langit cerah, udara sejuk khas dataran yang agak tinggi, dan jalanan yang ramai tapi tidak macet. Dengan bantuan Google Maps, kami tiba menjelang tengah hari.

Dua pintu masuk pasar menyambut kami, dan di sekitarnya, deretan sepeda motor memenuhi sisi jalan. Beberapa tukang becak tampak santai menunggu penumpang sambil mengobrol atau sekadar duduk termangu. Tukang parkir bekerja mengatur kendaraan-kendaraan. Lalu lintas sempat tersendat, tapi justru di situlah keseruan dimulai—membaca dinamika kecil yang tak terlihat jika kita melintas terlalu cepat.

Begitu melangkah masuk, suasana pasar menyergap dengan nyaman. Tidak pengap, tidak gaduh berlebihan. Pasar Klojen memang tidak besar, mungkin seukuran aula besar—kalau dibandingkan dengan balai desa, kira-kira dua kali lipatnya. Namun, ruang dalamnya cukup lega berkat langit-langit yang tinggi dan ventilasi yang memadai. Lapak-lapak pedagang tersusun rapi, mayoritas dengan meja berlapis keramik. Di sisi barat, kios-kiosnya menyatu dengan area luar, menciptakan semacam teras hidup yang menyatu dengan lingkungan tepi jalan.

Aroma makanan segera menyeruak, membimbing langkah kami menyusuri lorong-lorong. Ada nasi pecel, bubur ayam, rawon, soto, bakso, mie, jajanan tradisional seperti kue putu dan apem, hingga minuman kekinian berwarna-warni. Ada kopi, teh, dan es buah yang tampak segar di balik kaca etalase. Di sisi lain, tampak pula pedagang daging dan sayur mayur, serta kios yang menjual perabotan plastik, baskom, ember, dan peralatan dapur lainnya.

Yang mencuri perhatian, bukan hanya dagangan mereka, tapi wajah-wajah ramah para penjualnya. Mereka menyapa dengan nada hangat, menawarkan dagangan tanpa paksaan, dan seolah tahu bahwa pasar bukan sekadar tempat transaksi—tetapi ruang sosial yang mempertemukan banyak lapisan manusia. Mereka seperti paham bahwa pasar ini adalah salah satu tujuan wisata di Malang. Dan kebanyakan pengunjung siang itu tampaknya memang datang untuk berburu makan siang.

Dari berbagai sumber yang saya baca sebelum ke sini, saya mendapat informasi bahwa Pasar Klojen sudah berdiri sejak tahun 1919. Ia adalah pasar tertua di Malang, bagian dari rancangan tata kota era kolonial di kawasan elite pada masa itu. Terletak di Jalan Cokroaminoto, di simpang pertemuannya dengan Jalan Pattimura dan Jalan Trunojoyo. Pasar ini dulu dibangun bukan hanya sebagai tempat jual beli, melainkan sebagai simpul logistik dan ekonomi masyarakat multikultur—Eropa, Tionghoa, dan pribumi.

Beberapa tahun silam, pemerintah kota melakukan revitalisasi. Hasilnya mengesankan seperti yang saya lihat sekarang. Pasar Klojen tampil bersih dan tertata. Ia tradisional, tetapi terasa modern. Seperti ada kesadaran yang kuat dari pemangku kebijakan bahwa nilai sejarah tak hanya layak dilestarikan, tetapi bisa menjadi daya tarik tersendiri. Ada unsur-unsur masa lalu yang dipertahankan. Mereka mampu merawat sejarah. Atmosfernya jadul, tapi fungsinya tetap sesuai dengan masa kini. 

Namun, ada satu saran penting bagi siapa pun yang ingin berkunjung: datanglah pagi-pagi. Waktu terbaik adalah sekitar pukul tujuh atau delapan. Saat itulah semua pilihan makanan masih lengkap. Kami sendiri sebenarnya ingin menyantap nasi pecel, tapi sayang, karena sudah sarapan di hotel, kami baru tiba menjelang makan siang. Sayurnya tinggal sedikit, tahu-tempenya pun sudah ludes. Walah!

Akhirnya, kami hanya membeli beberapa jajanan pasar untuk camilan. Beberapa potong kue pukis polos dan yang bertaburkan coklat. Di luar pasar, kami duduk di kios kecil sambil menyeruput segelas es kopi. Mengamati secuil kehidupan yang berjalan di depan mata, dengan kesadaran bahwa kota ini akan menjadi rumah sementara kami selama seminggu ke depan.

Dan seperti pasar-pasar tua lainnya di kota-kota besar Indonesia, Pasar Klojen bukan hanya tempat jual beli. Ia layaknya sebuah tempat keramaian yang hangat, menyambut kami dengan manis. Ia juga saksi sejarah yang telah berlalu, ruang kenangan dan nostalgia bagi pengunjungnya, serta menjadi cermin dari wajah kota yang sejuk ini. []








I Komang Gde Subagia | Malang, Juli 2027

Comments