Sudah lama saya tidak bepergian jauh dengan bus. Dulu, di masa kuliah, naik bus antarkota adalah hal biasa—terutama saat pulang kampung dari Bandung ke Denpasar, atau sebaliknya. Tapi belakangan ini, semuanya serba cepat. Pesawat murah dan waktu yang terbatas membuat saya hampir lupa rasanya duduk lama-lama di jalan darat, menikmati pelan-pelan pemandangan yang lewat satu demi satu.
Hingga akhirnya, saya mencobanya kembali. Naik bus dari Denpasar menuju Malang, Jawa Timur. Karena saya bepergian bersama istri—yang bukan tipe pelancong bebas yang bisa naik moda transportasi apa saja—otomatis saya tidak bisa memilih bus sembarangan. Maka, pilihan jatuh pada bus bertipe sleeper, dengan tempat duduk berupa kapsul. Kami bisa tidur selonjoran dengan nyaman.
Bus yang kami pilih namanya Juragan 99, milik salah satu crazy rich asal Malang. Bus ini direkomendasikan oleh seorang kenalan di Bali yang cukup sering bolak-balik ke kota itu. “Kalau buat jalan yang nyaman bareng keluarga, pas banget, Bli!” katanya. “Cuma harganya agak mahal dikit,” sambungnya. Baiklah, pikir saya.
Memang, jika dibandingkan dengan bus biasa yang juga ber-AC, harga sleeper bus ini jauh lebih mahal—selisihnya bisa dua kali lipat. Jika bus reguler hanya berkisar seratus hingga dua ratus ribuan, bus yang layaknya hotel berjalan ini bisa mencapai empat ratus ribuan. Untuk dua orang, saya mengeluarkan uang hampir sejuta rupiah. Tak masalah, demi kenyamanan. Lagipula, bagi saya pribadi, ini lebih untuk pengalaman.
Singkat cerita, perjalanan pun dimulai. Kami berangkat dari pool-nya langsung di Mahendradata. Proses check-in berlangsung tertib, termasuk penyerahan barang untuk dimasukkan ke bagasi, yang diberi nomor sesuai data penumpang. Kami juga diminta memilih menu makan siang yang nanti akan disajikan setelah penyeberangan dari Gilimanuk ke Ketapang.
Bus ini memiliki dua tingkat: atas dan bawah. Saya memilih tempat di tingkat bawah, satu untuk saya, satu lagi untuk istri. Posisinya berseberangan, dipisahkan lorong sempit. Posisi ini memungkinkan kami tetap bisa saling mengobrol dan melihat satu sama lain sepanjang perjalanan. Alasan lain memilih tempat duduk bawah adalah agar tidak terlalu merasakan goyangan bus, yang lebih terasa di bagian atas. Selain itu, lebih praktis—tidak perlu naik-turun tangga kecil.
Di dalam kapsul tempat kami duduk, suasananya cukup nyaman. Seperti kamar di hostel Bobobox, hanya saja jauh lebih kecil. Dilengkapi selimut, dua bantal bersih dan wangi, serta satu kotak makanan dan minuman ringan untuk dinikmati sepanjang perjalanan. Disediakan pula sarapan dalam kotak kecil. Di bagian belakang, bersebelahan dengan kamar kecil, tersedia pantri. Penumpang bisa membuat kopi atau teh sendiri di sana.
Yang tidak saya sangka, saya bertemu teman lama di tengah perjalanan. Mahardika, adik kelas saya di STT Telkom, asal Klungkung. Kami bertemu saat sama-sama antre kamar kecil di atas kapal penyeberangan. Ternyata, ia sedang liburan ke Surabaya dan Jogja bersama keluarganya, naik mobil pribadi. Bisa-bisanya kami berada di kapal yang sama! Kami bahkan bertemu lagi saat makan siang. Ia ternyata istirahat di rumah makan yang sama. Lucu juga.
Perjalanan memakan waktu lebih dari dua belas jam. Akhirnya kami tiba di Malang, turun di pool bus di Klojen—daerah yang ramai tempat makan. Karena sudah lapar, kami langsung kulineran. Pilihan jatuh pada Bakso Priangan yang lokasinya tak jauh dari pool. Esok hari, kami akan ke daerah ini lagi. Sesuai rencana, hari pertama di Malang memang akan kami isi dengan kulineran di sekitar Klojen. []
I Komang Gde Subagia | Malang, Juli 2025