Skip to main content

Kopi Petang

Buah kopi yang masih hijau di salah satu kebun.

Hujan turun ketika saya baru saja melalui Jembatan Bangkung, perbatasan dua desa di Kecamatan Petang, di Kabupaten Badung : Desa Pelaga dan Desa Belok Sidan. Lalu pemandangan sawah dan kebun kembali membentang di sepanjang jalur perjalanan. Puncak-puncak bukit diselimuti kabut. Kemudian, saya mengarahkan mobil untuk masuk dan parkir di halaman sebuah rumah yang asri.

Saat itu adalah selepas siang di akhir pekan. Saya mengajak Asa, istri saya, berkunjung ke Belok Sidan. Ke sebuah warung kopi, yang berdampingan dengan kebun kopinya. Tempat yang saya rasa menarik. Konon, kebun kopi di daerah ini adalah kebun-kebun penghasil arabika pertama di Bali. Lebih awal dari Kopi Kintamani yang terkenal itu.

Di bawah naungan payung, kami bergegas masuk ke dalam. Lalu duduk di salah satu teras untuk menikmati suara gemericik hujan yang tak terlalu deras. Udara yang sedikit berkabut terasa bertambah dingin. Secangkir cappucino, segelas teh melati, dan beberapa potong banana roll coklat disajikan oleh seorang pramusaji pada kami.

Belajar meracik kopi di Bali Beans.

Kopi Petang rasa Italia : Cappucino.

Buku-buku tentang kopi.

Saya yang selalu penasaran pada tempat-tempat baru, beranjak ke belakang rumah. Melihat kebun kopi yang tak terlalu luas. Yang tak tertata seperti kebun teh di Jawa atau di luar negeri yang biasanya sangat luas dan homogen. Di sini, di sela-sela pohon kopi, tumbuh pula pohon-pohon yang tinggi. Musim panen sudah lewat. Mungkin sudah dua atau tiga bulan yang lalu. Karena hanya ada sedikit biji-biji kopi dan itu pun masih menghijau.

Kebun kopi Bu Wayan yang dinaungi pohon-pohon tinggi.

Saya berjumpa dengan Ni Wayan Sari Sedana. Wanita paruh baya yang sudah berusia 72 tahun ini adalah petani kopi. Ia juga pemilik warung kopi yang kami kunjungi ini. Yang secara modern dikelola oleh anak bungsunya yang pulang dari luar negeri. Bu Wayan Sari sangat ramah dan bersemangat menceritakan kisahnya. 

Kecintaannya akan kopi dimulai ketika ia tinggal di Pupuan. Daerah lereng Gunung Batukaru di Tabanan itu adalah salah satu penghasil kopi di Bali. Pupuan terkenal dengan kopinya yang berjenis robusta. Bu Wayan Sari belajar banyak tentang kopi di sana. Yang kemudian ia terapkan di desa asalnya. Di tempat yang saya kunjungi ini. Di Banjar Lawak, di Desa Belok Sidan. Di Kecamatan Petang.

Di Petang, yang huruf 'e' dalam kata tersebut dibaca seperti melafalkan kata 'meja', sebagian besar kebun kopi berada di tiga desa : Belok Sidan, Pelaga, dan Sulangai. Desa-desa ini berlokasi di ketinggian sekitar 800 sampai 1.100 meter dari permukaan laut. Berada di lereng Gunung Catur atau Puncak Mangu, yang beberapa waktu lalu saya sempat mendaki ke sana.

Tanaman kopi di Petang ini sebenarnya satu kawasan dengan tanaman-tanaman kopi di Kintamani. Persis beberapa puluh meter di sebelah utara kebun kopi Bu Wayan Sari, wilayahnya secara administratif sudah termasuk masuk kawasan Kintamani di Bangli. Lokasi perkebunan di Kintamani lebih tinggi. Sekitar 1.100 sampai 1.500 meter dari permukaan laut.

"Tahun 1980-an dulu, tak banyak yang menanam kopi di Petang dan Kintamani." begitu kata Bu Wayan mengenang masa-masa awal ia menanam kopi di lahan yang awalnya adalah sawah. Keputusan yang dianggap aneh saat itu. Oleh masyarakat yang lebih banyak memilih menanam padi atau jeruk.

Jembatan Bangkung, salah satu tempat ikonik di Petang.

Gunung Catur di kejauhan dilihat dari Desa Belok Sidan.

Buah jeruk yang tersisa usai panen di salah satu kebun warga.

Tanaman bunga di perkebunan warga di Desa Belok Sidan.

Berbeda dengan di Pupuan, kopi di Petang sebagian besar berjenis arabika. Tanamannya tumbuh dinaungi oleh pohon-pohon yang tinggi di sekitarnya. Sehingga kebun menjadi cukup teduh. Hal itu membuat kopi mempunyai siklus berbuah yang lebih lama dibandingkan jika kopi terkena sinar matahari secara langsung. Karenanya, umur kopi bisa lebih lama. Bisa sampai puluhan tahun. Dan yang pasti, kualitasnya juga tetap baik dan terjaga.

Seiring waktu, banyak petani lain mengikuti jejaknya. Ikut menanam kopi di lahan mereka selain padi, jeruk, dan tanaman-tanaman lain. Bu Wayan Sari bersama suami beserta anaknya kemudian membentuk kelompok petani kopi di banjarnya. Tujuannya untuk menanamkan kesadaran pada para petani. Supaya memiliki standar berkebun kopi yang baik. Supaya kopi-kopi yang dihasilkan berkualitas. 

Dengan berkelompok, persatuan terbentuk. Informasi tentang komoditas perdagangan bertambah. Salah satunya adalah membuat jalur distribusi kopi menjadi lebih pendek. Jarak antara petani dengan konsumen semakin dekat. Petani menjadi lebih sejahtera, konsumen pun mendapatkan kualitas dan harga yang masuk akal. Fair trade atau perdagangan yang adil pun tercipta.

Ketika zaman makin modern seperti sekarang, brand dengan merk Bali Beans didirikan. Lengkap dengan warungnya yang 'kekinian'. Dikelola oleh salah satu anaknya sejak tahun 2016 yang lalu. Yang saat ini saya kunjungi dan saya nikmati olahan kopinya dalam bentuk kopi italia : cappucino. Keempat anak Bu Wayan Sari, semuanya berbisnis kopi. Masing-masing memiliki brand mereka sendiri. Sukses di tempat-tempat lain seperti di Canggu dan Kuta. Tapi yang pasti, asal kopinya sama, yaitu dari Petang.

Kopi yang diolah dari kebun sampai siap saji ke tangan konsumen.

Kopi yang enak bukan hanya dari racikan dan cara menyajikannya saja. Juga bukan hanya dari sudut-sudut instagramable tempat kita nongkrong untuk menikmatinya. Tetapi ia dinilai secara keseluruhan. Dari tanaman-tanaman yang unggul, yang dipelihara secara organik dan berkesinambungan, serta melalui pengolahan yang tepat. Juga melalui perdagangan yang adil. Sampai akhirnya diracik, kemudian disajikan supaya siap diminum. 

Begitulah cerita Bu Wayan Sari pada saya. Yang sangat antusias menjelaskan tentang kopi dan kisahnya. Yang terlihat bahagia menjalani hari-harinya bertani dan mengolah kopi yang kini makin digemari. Semua itu, ia anggap sudah lebih dari cukup. Ceritanya ikut menjalarkan semangat pada saya yang mendengarkannya. Meresap bersama nikmatnya cappucino yang samar-samar masih tersisa di kerongkongan. []

I Komang Gde Subagia - Petang, Februari 2022

Comments