Skip to main content

Tenganan

Saya tiba di sebuah desa tua ketika hari beranjak sore. Jalanan beraspal yang saya tempuh telah berakhir. Berujung di desa tua itu, desa yang bernama Tenganan. Yang berlokasi di antara perbukitan hijau. Saat itu, langit terlihat berselimutkan awan-awan mendung. 

Desa Tenganan Pegringsingan.

Tenganan adalah sebuah desa di Kecamatan Manggis, di Kabupaten Karangasem, Bali. Yang menjadi spesial dari desa ini adalah ia merupakan desa tradisional. Yang masih dominan mempraktikkan cara-cara hidup warisan leluhurnya dari masa silam.

Penduduk Desa Tenganan adalah masyarakat Bali Aga, yaitu sub suku Bali yang dianggap sebagai Bali yang asli. Kadang disebut juga sebagai Bali pegunungan. Mereka telah ada atau datang ke Pulau Bali sebelum era migrasi Hindu Jawa dari Majapahit. Majapahit menguasai Bali pada abad ke-14.

Mendung yang seharian ini bergelayut akhirnya menurunkan hujannya. Saya yang datang bersama rombongan keluarga buru-buru ke loket masuk. Untuk berteduh sekaligus meminta izin akan jalan-jalan keliling desa. Juga meminjam beberapa payung.

Tak ada tiket masuk yang perlu dibayar. Yang ada hanya dana punia untuk desa, yaitu sumbangan suka rela seikhlas kita. Kenapa? Yang saya tahu dan saya salutkan adalah karena Tenganan tidak mau terjebak dalam ketergantungan akan pariwisata.

Tenganan menerapkan konsep ekowisata. Hasil dari pariwisata adalah bonus dari apa yang telah dilakukan warganya selama ini, yaitu menjaga sumber daya yang ada di desa tetap dimiliki oleh desa dan selalu lestari.

Hutan, sawah, ladang, dan pekarangan-pekarangan rumah adalah milik desa. Berstatus sebagai tanah adat. Seluruh wilayah di Tenganan yang luasnya hampir seribu hektar adalah tanah adat. Semua itu tidak bisa diperjualbelikan.

Batu prasasti peresmian Tenganan sebagai desa wisata.

Saat berjalan memasuki desa, ada patung-patung kerbau tak jauh dari loket masuk. Sebuah maskot yang menarik, karena kemudian ada banyak kerbau asli yang sedang merumput di jalanan desa.

Jalan di dalam kawasan Desa Tenganan tidak beraspal. Hanya bebatuan yang disusun dan dikeraskan. Rumput-rumput tumbuh di sela-sela bebatuan dan di pinggir-pinggir jalan. Rumput-rumput itu menjadi pakan utama kerbau-kerbau tadi.

Kerbau-kerbau yang merumput di jalanan ini adalah kerbau liar. Alias tak bertuan, tak ada pemiliknya. Kerbau-kerbau itu disepakati sebagai milik bersama, milik desa. Sudah ada dan beranak-pinak dari dulu. Disembelih saat ada upacara adat. 

Kerbau-kerbau di Desa Tenganan.

Hewan lain milik pribadi juga ada. Seperti entok dan ayam. Entok dan ayam betina berkeliaran. Sedangkan ayam-ayam jantan kebanyakan dipelihara dalam kurungan. Saya banyak melihat kurungan ayam di samping-samping rumah. Dalam perkiraan saya, tentu ada banyak penghobi tajen atau sabungan ayam dari Tenganan. Hobi para lelaki yang merupakan warisan masa lalu dan masih ada sampai kini di nusantara, termasuk di Bali, di Tenganan ini.

Ayam-ayam jantan yang dipelihara dalam kurungan.

Di sudut-sudut rumah dan di dahan-dahan pohon, tergantung kungkungan atau sarang lebah. Ada kungkungan berarti ada lebah. Ada lebah berarti menandakan kualitas lingkungan yang baik. Karena di lingkungan yang baik, yang hijau dan banyak pepohonan, tentunya ada banyak bunga. Bunga-bunga dari berbagai tanaman dan pepohonan yang melimpah merupakan sumber nektar, cairan manis yang menjadi pakan lebah dan koloninya. Pakan itu diolah oleh lebah yang kemudian menghasilkan madu.

Kungkungan atau rumah lebah.

Di sebuah bale banjar, saya melihat sekelompok warga sedang santai. Mereka ngobrol sambil membuat bilah-bilah sate lilit. Bilah-bilah sate itu akan dipakai nanti jika ada upacara adat atau hari raya. Mereka ditemani satu jerigen tuak dan alunan lagu dari radio yang sedang menyiarkan tembang-tembang berbahasa Bali.

Hari raya atau upacara besar di Tenganan dilaksanakan setiap bulan kesepuluh berdasarkan penanggalan lokal. Disebut sebagai usaba desa. Sebuah wujud puji syukur pada Sang Pencipta atas anugrah alam yang telah dilimpahkan pada umat manusia. Saat itulah tradisi perang "geret pandan" yang terkenal itu dilangsungkan.

Suasana di salah satu bale banjar di Desa Tenganan.

Salah satu pura tempat persembahyangan penduduk desa.

Walaupun penduduk desa Tenganan pada umumnya bertani, ada banyak profesi sampingan lain yang digeluti oleh mereka. Salah satu profesi tersebut adalah sebagai pengrajin. Produk kerajinannya berupa lukisan, ukiran kayu, anyaman bambu, tenun, maupun tulisan-tulisan pada lontar. Saya melihat hasil-hasil kerajinan itu hampir di setiap rumah. Dipajang untuk dijajakan pada para pengunjung.

Kain tenun, sebagai salah satu produk kerajinan dari Tenganan begitu melegenda. Sejak dulu, masyarakat Desa Tenganan dikenal akan keahliannya menenun kain gringsing yang berkualitas. Kain itu dikerjakan dengan teknik ikat ganda, teknik yang hanya ada di Tenganan. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu kain sangat lama, bisa dua sampai lima tahun. Kain yang khas ini menyebabkan Tenganan disebut juga sebagai Tenganan Pegringsingan.

Seorang lelaki paruh baya, yang saya lupa namanya, menyapa di depan rumahnya. Ia bercerita tentang kegiatannya menenun. Katanya dengan bangga, ia sering diundang ke luar negeri untuk ikut serta dalam pameran-pameran kain bergengsi. Tapi dua tahun belakangan ini, kegiatannya itu mulai surut karena imbas pandemi.

Foto I Wayan Mudita Adnyana, seorang penekun seni menyurat lontar di Tenganan.

Kerajinan lain yang menarik bagi saya di Tenganan adalah lontar-lontar bertuliskan aksara Bali. Di salah satu rumah, saya melihat sebuah foto. Deretan aksara Bali tertatah di sebuah papan di samping foto tersebut. Terbaca dengan samar : I Wayan Mudita Adnyana. Ia seorang lelaki berusia 90 tahun lebih, yang memiliki antusias tinggi dalam menekuni seni menyurat lontar sedari kecil. Berkarya dan menulis ulang berbagai kekawin dan sastra kuno. Sayang, rumahnya tutup dan saya tak sempat menemuinya.

Pada masa sekarang yang modern, menulis dan mengabadikan peristiwa bisa dilakukan di berbagai media digital. Tapi I Wayan Mudita Adnyana tetap gigih. Dengan nyurat lontar, ia merawat tradisi, melestarikan kisah, dan menyambung peradaban. Zaman boleh berubah. Apapun medianya, baik digital atau kertas, bahkan lontar sekalipun, esensi menulis tetap sama, yaitu mengabadikan peristiwa dan buah pikiran.

Sore di Tenganan.

Kentongan yang tergantung di depan-depan rumah.

Buah kelapa hasil kebun penduduk desa.

Sore semakin sore. Saya cukup terpesona dengan apa yang ada di Tenganan. Bukan semata-mata tentang berwisata melihat sebuah desa. Tapi tentang pengelolaannya yang berwawasan lingkungan, serta tentang warisan-warisan leluhur yang mendidik dan bermanfaat sampai kini. Walaupun Tenganan menjadi tujuan wisata, saya melihatnya tak begitu terbuai oleh itu. Ia tak memoles wajahnya seperti apa yang kebanyakan terjadi dengan banyak desa di Bali, yang mengundang banyak investor demi kepentingan ekonomi belaka.

Ketika berjalan pulang, saya melihat seekor entok terpisah sendiri. Ia sedang berjalan mencari kelompoknya, memutar menjauhi saya. Ia menuju beberapa ekor lainnya yang sedang mengais makanan di seberang tempat yang lain. Seketika saya menyadari bahwa saya telah menghalangi jalannya. Lalu saya menjauh, dan kemudian ia bergabung dengan entok-entok lain yang bergerombol di tanah yang becek. 

Saya menghirup nafas dalam-dalam. Melihat lagi Tenganan dengan suasananya di sore itu. Gerimis hujan mulai berhenti. Kabut tipis bergerak perlahan di sela-sela perbukitan. Angin segar menggoyangkan daun-daun pada pepohonan. Dan langit masih ditutupi awan-awan mendung. []

I Komang Gde Subagia | Manggis, Januari 2022

Comments