Saya memiliki banyak waktu di Bitung ketika menunggu keberangkatan kapal ke Ternate. Karena itulah, saya memanfaatkan waktu luang tersebut untuk mampir ke sebuah pulau yang tak jauh dari pelabuhan: Pulau Lembeh.
Memastikan Tiket Kapal
Kapal ke Ternate berangkat setiap pukul sepuluh malam. Keterangan itu saya baca pada jadwal pelabuhan, tertulis di atas kertas putih yang ditempelkan di kaca pos jaga di pintu masuk Pelabuhan Bitung.
Ada dua kapal yang bergantian berlayar dari Bitung ke Ternate, yaitu 'Portlink 'dan 'Dalente Woba'. Hari ini giliran 'Dalente Woba' yang berangkat dari Bitung. Bolenk memesan tiket untuk kami berdua, sementara Eson—teman baru kami—memesan satu tiket untuk dirinya sendiri.
Loketnya hanya satu. Ketika akan dibuka, para calon penumpang sudah berdatangan dan mengantre. Tak semuanya menuju Ternate seperti kami. Ada juga yang membeli tiket kapal ke Sangihe dan Talaud, dua gugusan kepulauan di Sulawesi Utara yang lokasinya sudah sangat dekat dengan perbatasan Filipina.
Di loket membeli tiket tujuan Ternate.Menunggu
Jam menunjukkan pukul dua belas siang. Masih lama. Waktu yang cukup panjang untuk menunggu keberangkatan kapal. Saya, Bolenk, dan Eson memutuskan untuk makan siang di sebuah warung dekat ruang tunggu penumpang, sambil berdiskusi hendak ke mana kami siang ini.
“Ke Tangkoko yuk, Lenk?” ajak saya pada Bolenk.
Di Tangkoko, mungkin kami bisa melihat tarsius, primata mungil endemik Sulawesi yang populasinya cukup banyak di hutan tersebut. Gunung itu berlokasi tak jauh dari Bitung. Dari kota pelabuhan tempat kami berada sekarang, gunung itu tampak menjulang tinggi berselimut awan.
Namun di pelabuhan kami melihat banyak perahu kecil hilir mudik dari dan ke pulau seberang bernama Pulau Lembeh, sebuah pulau di sebelah timur Sulawesi Utara yang terkenal akan keindahan bawah lautnya. Dari Bitung, pulau itu tampak hijau dan dipenuhi pohon kelapa.
Bli Gejor dan Bolenk sedang istirahat di sebuah warung di Pelabuhan Bitung.Memutuskan ke Pulau Lembeh
Saya dan Bolenk akhirnya memutuskan untuk ke Pulau Lembeh saja daripada ke Tangkoko. Perkiraan saya, waktu penyeberangannya hanya sekitar sepuluh menit, karena memang jaraknya tidak jauh.
Dermaga perahu ke Lembeh berbeda dengan pelabuhan kapal feri. Lokasinya tidak berjauhan, tetapi dipisahkan oleh tembok tinggi. Jadi, untuk ke dermaga perahu saya harus keluar pelabuhan dan berjalan memutar agak jauh.
Eson tidak ikut ke Lembeh. Ia memilih tidur-tiduran di ruang tunggu penumpang. Saya dan Bolenk menitipkan tas carrier padanya. Saya hanya berpesan agar ia menjaganya baik-baik. Ke Lembeh, saya hanya membawa tas kecil berisi kamera dan barang-barang berharga lainnya.
Itu Pulau Lembeh. Ada di seberang pelabuhan.Melalui Pasar
Untuk menuju dermaga perahu, kami melewati pasar kecil dan deretan pertokoan yang tak lebar. Toko-tokonya menjual berbagai macam barang: peralatan elektronik, pernak-pernik Natal dan Tahun Baru, kembang api, kopra, dan pala.
Ya, ada kopra dan pala—hasil bumi khas daerah kepulauan tropis. Kelapa biasanya tumbuh di dataran rendah hingga batas ketinggian tertentu. Hampir semua bagian pohon kelapa bisa dimanfaatkan, tetapi daging buah yang diolah menjadi kopra adalah komoditas paling utama.
Sementara pala adalah tanaman rempah yang banyak tumbuh di Kepulauan Maluku. Walaupun begitu, tanaman ini juga terdapat di wilayah lain seperti Sulawesi.
Di salah satu emperan toko, saya melihat pedagang buah salak. Sekilas saya mengira itu salak Bali. Namun mungkinkah salak dari Bali dijual di emperan pasar di ujung utara Sulawesi?
Ternyata salak itu adalah salak Sangir, atau disebut juga salak Sangihe. Sangir atau Sangihe adalah nama kepulauan di Laut Sulawesi. Ibu penjualnya dengan ramah menjelaskan asal-usul salak tersebut.
Tagulandang, salah satu daerah di kepulauan itu, merupakan penghasil salak. Rasanya manis dengan sedikit asam yang lembut, seperti perpaduan antara salak pondoh dan salak Bali yang sering saya makan.
Pedagang salak tagulandang.
Menyeberangi Selat Lembeh
Selat Lembeh memisahkan Pulau Sulawesi dan Pulau Lembeh. Jarak terpendeknya hanya sekitar satu hingga dua kilometer. Perairannya tenang, seperti kolam. Seorang awak perahu bahkan menyebut kapal feri yang bolak-balik Bitung–Lembeh sebagai “feri kolam”.
Saya menaiki salah satu perahu yang bersiap menyeberang menuju Dermaga Papusungan, salah satu dari sekian banyak dermaga di Pulau Lembeh. Di atas perahu, saya berbaur dengan warga setempat yang memang setiap hari melintasi jalur ini.
Perahu-perahu mengangkut berbagai barang dagangan dari Bitung, seperti makanan dan minuman ringan. Wajar, karena hampir semua kebutuhan di pulau seluas lima ribuan hektar ini didatangkan dari Bitung dan Manado.
Ada juga sepeda motor yang diikat di atap perahu. Masyarakat Lembeh lebih sering membawa kendaraan sendiri ke Bitung atau Manado. Jika membawa kendaraan roda empat, mereka harus menggunakan feri kolam tadi.
Proses bongkar muat sepeda motor di atas perahu.Pemandangan di balik jendela.
Merapat di Papusungan
Tak butuh waktu lama, kami tiba di Dermaga Papusungan, yang berlokasi di Desa Papusungan. Dermaganya kecil saja, sekilas mengingatkan saya pada Dermaga Pulau Pramuka di Kepulauan Seribu, Jakarta, yang dulu beberapa kali saya kunjungi.
Beberapa tukang ojek menawarkan jasa ketika kami keluar dermaga, siap mengantar ke mana saja di Pulau Lembeh. Angkutan pedesaan juga tampak sedang “ngetem” menunggu penumpang.
Belum tahu mau ke mana, kami memilih ke warung. Di dekat dermaga banyak warung berdiri. Siang yang terik membuat kerongkongan kering; ke warung rasanya pilihan tepat. Bisa minum es sambil mengobrol dengan pemilik warung tentang situasi di pulau.
Saya memesan segelas es teh. Sebenarnya ingin es kelapa muda, tapi tak ada. Padahal pohon kelapa berlimpah di Pulau Lembeh. Ya sudah, tak mengapa.
Dari warung lain, Bolenk memesan sepiring pisang goreng yang baru saja diangkat dari penggorengan—masih panas dan harum. Kami menikmati kudapan siang sambil mengisi daya telepon genggam di colokan listrik warung.
“Di atas bukit sana ada Tugu Cinta. Bagus untuk foto-foto saat matahari terbenam. Satu jam naik ojek,” kata ibu pemilik warung.
Namun ini masih siang. Tak mungkin kami menunggu sunset di sana, takut ketinggalan kapal ke Ternate. Lagi pula, saya tidak begitu tertarik dengan tempat-tempat yang dipoles untuk wisata foto, apalagi yang memakai embel-embel “cinta”. Dalam bayangan saya, tempat seperti itu penuh umbul-umbul dan pernak-pernik warna-warni.
Hal menarik lain di Pulau Lembeh adalah Patung Yesus dan Monumen Trikora. Patung Yesus berada cukup jauh di balik pulau, sedangkan Monumen Trikora lebih dekat. Karena waktu terbatas, kami memutuskan berjalan kaki ke Monumen Trikora saja.
Merapat di Dermaga Papusungan.Istirahat sambil makan pisang goreng di sebuah warung.
Monumen Trikora
Dari Papusungan, kami berjalan kaki menyusuri jalan utama ke arah selatan. Lumayan juga, berjalan di siang yang masih terik. Dari Google Maps, Monumen Trikora tampak berada di balik bukit di depan kami.
Monumen Trikora di Pulau Lembeh adalah tugu peringatan pembebasan Irian Barat yang dibangun pada 1980-an, mengenang pendaratan awal TNI di Bitung sebelum menuju pulau paling timur Indonesia yang saat itu masih dikuasai Belanda.
Peristiwa perebutan Irian Barat dikenal dengan nama Trikora, kependekan dari Tri Komando Rakyat. Itu adalah operasi militer yang dikumandangkan oleh Soekarno, presiden pertama Indonesia, pada 19 Desember 1961 di Yogyakarta.
Kisah Perebutan Irian Barat
Ketika Indonesia merdeka pada 1945, wilayah yang diklaim sebagai bagian republik adalah seluruh bekas jajahan Hindia Belanda, termasuk Papua yang kala itu disebut Irian Barat oleh Soekarno. Irian sendiri konon merupakan singkatan dari Ikut Republik Indonesia Anti Netherlands.
Hingga tahun 1961, Irian Barat masih diklaim oleh Belanda sebagai daerah kekuasaannya dan direncanakan menjadi negara merdeka paling lambat pada 1970-an.
Klaim dan niat Belanda ini tentu ditentang keras oleh Soekarno, hingga akhirnya Operasi Trikora dilancarkan dan berlangsung sampai 15 Agustus 1962.
Seiring waktu, pada tahun 1969 rakyat Papua menyatakan bergabung dengan Indonesia melalui Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat), dan wilayah itu kemudian menjadi Provinsi Irian Jaya, yang kini telah mekar menjadi Provinsi Papua dan Papua Barat.
Berfoto di bawah plakat Monumen Trikora.Keliling Monumen
Saya dan Bolenk berkeliling monumen. Di dalamnya banyak lorong dan ruang gelap serta tangga-tangga yang menghubungkan satu sisi dengan sisi lain.
Sayang, kondisi monumen ini tidak terawat. Sampah plastik dan coretan dinding terlihat di banyak tempat. Bau pesing muncul di sudut-sudut tersembunyi. Beberapa bagian bangunan rusak tanpa perbaikan.
Di dekat pantai di sisi barat monumen, ada sebuah pesawat bekas—pesawat DC-3 TNI AU yang dulu digunakan mengangkut logistik pasukan dari Bitung ke Papua. Kondisinya juga kurang baik, banyak coretan di badannya.
Setelah menaiki tangga menuju bagian tengah monumen, tampak lambang Garuda yang posisinya miring, terpasang di tembok. Di bawahnya, sebuah plakat bertuliskan pernyataan tentang peristiwa Trikora yang tampaknya dibuat oleh Soeharto, presiden kedua Indonesia, saat meresmikan monumen ini.
Di dinding-dinding monumen yang mulai keropos, tergambar diorama operasi militer: pasukan berbaris, mobilisasi umum, dan sebagainya. Sayang sekali, peninggalan bersejarah seperti ini kurang mendapat perawatan.
Jalan-jalan keliling monumen.Itu pesawat DC-3 TNI AU, yang dulu dipakai dalam Operasi Trikora.
Melihat Tangkoko
Akhirnya saya turun ke tepi pantai di sisi barat monumen. Saya menuruni beberapa anak tangga hingga ke pinggir laut.
Papan-papan kayu yang terpasang kokoh menjadi lantai tempat saya duduk menikmati pemandangan Selat Bitung yang tenang, sambil makan beberapa buah salak yang saya beli sebelumnya di pasar Bitung.
Beberapa perahu hilir mudik. Di kejauhan tampak keramaian Pelabuhan Bitung. Lebih jauh lagi, Gunung Tangkoko terlihat misterius di balik awan. Ingin rasanya mendakinya suatu hari nanti.
Hutan di Gunung Tangkoko merupakan habitat yaki, monyet hitam Sulawesi yang endemik dan hanya terdapat di bagian utara pulau ini. Tentu akan menarik sekali jika bisa mengamatinya.
Saya juga tahu bahwa di sana hidup tarsius, primata kecil khas Asia Tenggara. Saya pertama kali mengenal hewan ini dari stiker konservasi yang tertempel di Sekretariat Astacala. Bahkan, di halaman Monumen Trikora di Lembeh berdiri patung tarsius berukuran besar.
Sayang sekali, saya hanya singgah sebentar di Bitung. Semoga suatu hari nanti saya bisa berkunjung lebih lama, berkeliling ke Tangkoko, dan belajar lebih banyak tentang yaki serta tarsius.
Tuh! Ada patung tarsius di belakang Bli Gejor.Duduk santai di tepi pantai, melihat Tangkoko yang ada di seberang lautan.
Kembali ke Bitung dari Batulubang
Hari telah sore. Kami pun mengakhiri kunjungan singkat di Pulau Lembeh—kunjungan yang tak direncanakan, hanya untuk mengisi waktu menunggu keberangkatan kapal.
Tak jauh dari monumen, ada perkampungan dengan dermaganya sendiri. Hampir setiap kampung di pulau ini memiliki dermaga. Karena kampung ini termasuk wilayah Desa Batulubang, dermaganya pun bernama Dermaga Batulubang.
Anak-anak berenang di sekitar dermaga. Perahu-perahu tertambat menunggu giliran berangkat ke Pelabuhan Bitung. Satu demi satu penumpang mulai berdatangan. Saya dan Bolenk ikut naik ketika jumlah penumpang sudah cukup dan kapal siap menyeberang.
Suasana di Dermaga Batulubang.Sore makin temaram ketika perahu merapat kembali ke Pelabuhan Bitung.
Bersiap ke Ternate
Sore perlahan temaram. Perahu merapat ke daratan, dan kami kembali berada di Pelabuhan Bitung. Waktu belum terlalu malam. Kapal laut yang akan berangkat ke Ternate masih bersandar dan belum dibuka untuk penumpang. Ia akan berangkat beberapa jam lagi. []
I Komang Gde Subagia | Bitung, Desember 2020























Comments
Post a Comment
Tulis nama Anda. URL bisa dikosongkan atau lengkapi dengan http/https.