Di Sulawesi Utara

Ini adalah bagian perjalanan saya ke Maluku Utara dan sekitarnya. Kota Manado di Sulawesi Utara menjadi titik awal saya untuk menuju kepulauan rempah. Walaupun singgah hanya sehari dan semalam, ada beberapa hal yang saya catat di ujung utara pulau besar berbentuk huruf K ini.

Pesawat yang saya tumpangi bersiap mendarat di Bandara Sam Ratulangi, Manado.


Tiba di Manado

Tak ada apa pun di benak saya ketika melangkahkan kaki keluar dari pesawat. Saya tiba di Bandar Udara Sam Ratulangi ketika langit jingga perlahan menghitam. Yang terpikir hanya segera menuju Wanea, daerah yang saya ingat harus dituju setibanya di kota ini. 

Penerbangan saya dari Denpasar ke Manado dengan transit di Makassar cukup menguras waktu dan tenaga. Berangkat pagi, tiba menjelang malam. Perjalanan udara hampir seharian terasa begitu lama. Saya cukup lelah karenanya.

Sebuah Avanza hitam berplat hitam, yang oleh sopirnya diklaim sebagai taksi, mengantarkan saya dan beberapa orang lain menuju pusat kota. Kami penumpangnya berjumlah empat orang. Tak saling kenal sebelumnya. Membayar patungan untuk menyewa taksi tersebut. Menyusuri jalan yang makin lama makin ramai dan macet.

Manado adalah kota terbesar kedua di Sulawesi, setelah Makassar. Jumlah penduduknya padat dan memiliki banyak kawasan perbelanjaan. Apalagi di bulan Desember, hari-hari menjelang Natal dan tahun baru. Manado yang mayoritas warganya beragama Kristen tampak riuh. Kota ini terlihat sibuk di waktu yang baru saja memulai malam.

Keramaian tampak di mana-mana: di jalan-jalan, pertokoan, pusat perbelanjaan, hingga gereja-gereja yang saya lewati. Hiasan, lampu warna-warni, dan pohon Natal semarak menyala. Semua itu seolah ikut menyambut saya yang pertama kali menginjakkan kaki di Tanah Minahasa. Padahal jelas, sebenarnya itu untuk menyambut hari raya.


Sekilas Tentang Sulawesi Utara

Dulu, dunia mengenal Sulawesi sebagai Celebes. Saat itu, para penjelajah Portugis sedang dalam ekspedisi menemukan sumber rempah di Kepulauan Maluku. Sulawesi, yang bukan tujuan utama, dijadikan hanya sebagai tempat persinggahan. 

Sementara itu, Spanyol yang datang dari arah berlawanan terlambat tiba. Mereka pun kalah bersaing dengan Portugis di Maluku dan kemudian beralih ke Filipina. Ujung utara Celebes, yang disebut Tanah Minahasa, menjadi kawasan jelajahnya. 

Portugis dan Spanyol tercatat menorehkan kisah yang begitu banyak dalam perjalanan sejarah Sulawesi Utara. Kawasan yang subur membuat kedua bangsa Eropa itu bersaing memperebutkan titik-titik strategis. Banyak perang terjadi, melibatkan mereka dengan rakyat Minahasa.

Penduduk Sulawesi Utara yang mayoritas beragama Kristen juga tak lepas dari pengaruh kedua bangsa Eropa yang merupakan rival satu sama lain itu. Selain di bidang ekonomi, mereka juga menyebarkan agama. Portugis tercatat dalam sejarah berhasil membaptis tokoh-tokoh penting dan sebagian besar rakyat Manado pada masa kehadirannya.

Ketika zaman berganti ke masa perdagangan VOC dan penguasaan oleh Belanda, pengaruh itu berlanjut pada pengembangan tanaman perkebunan seperti kelapa dan cokelat: bagian dari komoditi pelengkap rempah-rempah., barang-barang yang menjadi tujuan utama bangsa Eropa datang ke nusantara.


Menuju Kosan Bolenk

Saya akhirnya tiba di seberang sebuah pom bensin di Wanea. Itu ancer-ancer yang saya pakai untuk menemukan sebuah rumah kos. Ancer-ancer ini diberitahukan oleh Anatoli Marbun, teman saya yang biasa dipanggil dengan sebutan Bolenk. Ia rekan saya di Astacala, organisasi pecinta alam di Bandung. Ia telah tinggal di Manado beberapa minggu ini.

Musim pandemi Covid-19 memang belum benar-benar berakhir. Karena Manado termasuk kota berstatus zona merah, kosan Bolenk menerapkan syarat yang ketat bagi penghuni maupun tamunya. Saat saya tiba, penjaga kos menanyakan surat keterangan rapid test. Lalu melakukan penyemprotan desinfektan di sekujur tubuh saya. Wuih!

Setelah melalui pengecekan, saya diizinkan masuk. Kemudian mandi dan rebah di kasur di kamar kos. Lelah dan lapar. Sementara Bolenk lagi khusyuk beribadah secara daring, saya memilih untuk keluar rumah saja. Mencari makan malam sendirian. Menyusuri jalan yang ramai. Menghirup udara malam Kota Manado.

Kondisi kosan Bolenk di Kota Manado.


Makan Porsi Besar

Jalan di sekitar kos cukup ramai. Ada cukup banyak warung makan yang masih buka hingga larut malam. Dan saya cukup hati-hati melihat penampakannya dari luar. Melihat-lihat plang warung sekiranya tercantum pilihan menu yang tersedia. Dengan harapan semoga saya tak memasuki warung yang menunya tak saya inginkan.

Saya bukan orang yang fanatik dalam urusan makanan, apalagi yang kaitannya dengan kepercayaan. Saya hanya tak ingin kehilangan selera makan. Saya pernah mendapatkan 'kejutan' ketika membeli makan di Flores dulu. Setelah memesan capcay di sebuah warung di Kota Ruteng, saya kehilangan selera begitu tahu di sana juga tersedia daging anjing.

Saya masih oke dengan daging babi atau sapi, tapi tidak dengan daging anjing. Melihatnya dalam menu saja sudah membuat lapar saya sirna. Apalagi sampai tersaji di piring. Dan ini Manado, yang tak jauh dari Tomohon, kota yang terkenal dengan pasar penjual daging anjing, monyet, kelelawar, kucing, tikus, hingga ular. Rasanya saya harus benar-benar berhati-hati. 

Saya akhirnya duduk di sebuah warung. Memesan sepiring nasi dengan capcay ayam. Untuk saya makan di tempat. Juga memesan sebungkus nasi goreng babi untuk Bolenk di kosan. Satu porsi nasi yang saya pesan ternyata luar biasa banyak. Seperti porsi kuli, batin saya dalam hati. Untunglah saya cukup lapar dan bisa menghabiskannya.

Hal serupa terjadi saat sarapan bersama Bolenk di warung depan kos keesokan paginya. Saya tak pernah sarapan dengan porsi besar, tapi pagi itu disuguhi nasi goreng super jumbo. Saya hanya sanggup makan separuhnya. Bolenk, yang biasanya makan banyak, juga kewalahan. Akhirnya nasi goreng itu kami bungkus untuk bekal perjalanan ke Bitung nanti. 


Naik Bus ke Bitung

Pagi itu, sebuah mobil sewaan yang dipesan lewat aplikasi mengantarkan saya dan Bolenk ke Terminal Pal 2. Lokasinya di pusat Kota Manado. Tempat transit bus-bus antar kota di Sulawesi Utara. Kami akan menuju Bitung, kota di bagian timur provinsi ini. 

Tak butuh waktu lama, sebuah bus tujuan Bitung kami naiki. Tak ada calo yang menawarkan jasa. Juga tak ada preman-preman terminal yang mengganggu. Lancar-lancar saja dan tak ada masalah berarti. Mendapatkan moda transportasi di terminal bisa dibilang cukup mudah.

Tak butuh waktu lama, kami sudah naik bus tujuan Bitung. Tak ada calo, tak ada preman terminal. Semuanya lancar. Sedikit berbeda dengan terminal-terminal yang pernah saya singgahi di kota-kota Pulau Jawa dan Sumatera. 

Bus belum penuh penumpang, tapi langsung berangkat. Mungkin karena jadwal keberangkatan harus dipatuhi, jadi kami tak perlu menunggu lagi berlama-lama.

Bus yang kami tumpangi adalah bus kelas ekonomi. Tak memiliki pendingin udara. Tapi itu tak masalah. Jendela kaca bisa saya buka lebar-lebar. Udara luar bisa masuk dan bersirkulasi di dalam bus dengan baik. Panas dan gerah tak begitu terasa.

Walaupun antara Manado dan Bitung terdapat jalan tol, tapi bus memilih jalur jalan raya antar kabupaten. Sesekali perjalanan tersendat. Bus terjebak kemacetan di ruas jalur yang baru saja keluar dari kota. 

Kemacetan yang terjadi ternyata disebabkan oleh beberapa kendaraan besar. Mereka parkir sembarangan di pinggir jalan. Itu mengakibatkan lintasan tidak bisa dilalui oleh kendaraan-kendaraan roda empat secara bersamaan. Ada-ada saja kelakuan pemilik kendaraan. Parkir seenaknya.

Di sisi kiri jalur perjalanan, ada pemandangan bagus: gunung yang tinggi menjulang. Itulah Gunung Klabat, gunung tertinggi di Provinsi Sulawesi Utara. Nama gunung itu ada kaitannya dengan salah satu versi penamaan Celebes, sebutan lain untuk Pulau Sulawesi. 

Klabat diambil dari bahasa setempat, yaitu Kalawat. Artinya babirusa. Oleh pelaut Portugis, dilafalkan sebagai Calabets. Lama-lama nama itu dipakai sebagai nama pulau yang disebut dengan Calabes atau Celebes.

Menjelang sampai di Bitung, ada juga gunung lain yang menjadi pemandangan berikutnya. Itu adalah Gunung Tangkoko. Ia terkenal dengan cagar alamnya, yang dihuni oleh satwa-satwa endemik seperti yaki dan tarsius. Keduanya adalah spesies langka yang dilindungi.

Perjalanan dari Manado ke Bitung. Tampak Gunung Klabat di balik jendela.


Tiba di Bitung

Bus yang saya tumpangi berhenti di terminal Kota Bitung. Terminal yang merupakan tujuan akhir perjalanan bus. Sementara tujuan saya dan Bolenk adalah ke pelabuhan.

Waktu belum lewat tengah hari. Rasanya baru saja siang. Karena jarak dari terminal ke pelabuhan masih jauh, saya dan Bolenk melanjutkan perjalanan dengan angkot.

Di dalam angkot, kami bertemu seorang pemuda. Namanya Eson Banggai. Ia berasal dari Morotai, sebuah pulau di Maluku Utara yang nanti akan saya kunjungi. Ia sudah lama merantau di Bitung, bekerja di sebuah perusahaan kontraktor bangunan. 

Eson bercerita bahwa ia tak pernah pulang kampung sudah lebih dari lima belas tahun. Hingga ia memutuskan untuk pulang akhir tahun ini. Bolenk berdecak kagum akan ceritanya, merasa kalah lama-lamaan tidak pulang kampung. Belasan tahun, waktu yang lumayan lama untuk berpisah dengan keluarga besar.

Tak butuh waktu lama, Eson menjadi teman seperjalanan. Tujuan saya dan Bolenk berikutnya adalah ke Ternate di Maluku Utara. Sama seperti Eson, ia yang akan ke Morotai harus melalui Ternate dulu. 

Itu artinya kami akan menumpang kapal yang sama. Nanti setelah beberapa lama di Ternate, saya dan Bolenk akan ke Morotai juga. Karena tujuan kami searah, jadilah merasa senasib seperjalanan dengan Eson.

Bertemu Eson Banggai di dalam angkot.

Beli tiket kapal tujuan Ternate.


Pelabuhan Bitung

Kami kemudian tiba di Pelabuhan Bitung, pelabuhan terbesar di Sulawesi Utara. Karena lokasinya di ujung paling utara Pulau Sulawesi, pelabuhan ini langsung bisa mencapai kota-kota lain di kawasan Indonesia Timur, menjadi tempat persinggahan yang strategis.

Kapal-kapal penumpang antar kota besar rutin singgah di sini. Pelabuhan yang selalu ramai ini menjadi salah satu faktor penting pendorong pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Utara dan sekitarnya. Truk-truk kontainer tampak memenuhi lapangan parkir. 

Siang makin terik. Kami bertiga tak mau membuang waktu percuma. Segera kami menuju loket penjualan tiket, berharap ada kapal yang bisa segera kami tumpangi menuju Ternate. []


I Komang Gde Subagia | Manado - Bitung, Desember 2020

Comments