Dari Bitung ke Ternate

Bli Gejor di atas Kapal Dalente Woba yang berlayar dari Bitung ke Ternate.


Perjalanan dengan kapal laut dari Bitung ke Ternate yang melintasi Laut Maluku, diperkirakan memakan waktu sekitar delapan belas jam. Sampai dengan tulisan ini dibuat, perjalanan ini adalah penyeberangan antar pulau terlama yang pernah saya lakukan dengan kapal laut. Dari data yang saya dapatkan, jarak lintasan yang akan ditempuh adalah sekitar hampir tiga ratus kilometer. Dan pada beberapa titik, memiliki kedalaman lebih dari empat ribu meter.


Jam Karet

Kapal yang saya tumpangi sebenarnya dijadwalkan berangkat pukul sepuluh malam. Entah karena apa, kapal tak kunjung berangkat di waktu yang telah ditentukan. Penjelasan mengapa kapal terlambat berangkat pun tidak ada.

Ya, begitulah kita di Indonesia. Terlambat dua jam dianggap biasa saja. Makanya kita punya istilah “jam karet.” Waktu terasa murah, seolah bisa dibeli kembali. Kita terbiasa menunggu dengan pasrah, sambil berkata, “Namanya juga Indonesia,” padahal di situlah kita kehilangan rasa disiplin.

Kapal yang berangkat tidak tepat waktu, kereta yang molor, rapat yang tak pernah dimulai sesuai jadwal; semuanya menjadi cermin halus tentang kesadaran kolektif kita: bagaimana kita memaknai tanggung jawab. Padahal, ketepatan waktu bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga soal menghormati pihak lain.

Bangsa besar dibangun bukan hanya oleh gagasan megah, tapi oleh kebiasaan kecil yang dibiasakan: datang tepat waktu, menepati janji, menyiapkan diri dengan sungguh-sungguh. Mungkin, kalau suatu hari kita belajar menghargai menit, bangsa ini akan mulai menjemput jam-jam kemajuannya sendiri.

Para penumpang bersiap memasuki kapal.

Mulai memasuki kapal.


Dalente Woba

Sambil menunggu keberangkatan yang molor itu, saya sempat berbincang dengan Zaenal Mustofa, seorang penumpang. Ia lelaki setengah baya yang saya temui di ruang tunggu, bercerita tentang kapal yang sama-sama kami tumpangi ini: Dalente Woba. Milik PT ASDP Ferry, badan usaha milik negara yang memberikan pelayanan pada penyeberangan antar pulau. Sedikit berbeda dengan kapal-kapal PT Pelni, badan usaha milik negara lainnya yang sama-sama bergerak di bidang pelayaran, yang melayani pelayaran jarak jauh antar pulau antar provinsi. 

Zaenal, yang seorang pedagang, sering naik kapal pergi-pulang dari Bitung ke Ternate, juga ke pulau-pulau lain di Maluku Utara. Katanya, kapal Dalente Woba sudah tidak baru lagi. Kapal ini sudah lama dan lebih kecil jika dibandingkan dengan Portlink, kapal lain di Bitung yang juga melayani jalur ke Ternate. Tapi kita tak bisa memilih mau naik kapal mana, karena keduanya berangkat bergantian setiap hari. Kebetulan, hari ini kami kebagian kapal yang usianya lebih tua.

“Tapi tak apa. Saya sering naik kapal itu, dan sejauh ini aman-aman saja,” lanjut Zaenal ketika melihat raut muka saya yang tampak khawatir mendengar ceritanya.

Ia menegaskan bahwa yang dimaksudnya hanya soal kenyamanan. Kapal lain memiliki fasilitas pendingin udara di semua ruangannya, sedangkan Dalente Woba hanya memiliki pendingin di ruang kemudi dan ruang istirahat kru kapal. Di ruang penumpang, hanya ada kipas angin.

Bolenk dan Zaenal.


Suasana di Kapal

Sebelum sirine kapal berbunyi pertanda akan berangkat, kami: saya, Bolenk, dan Eson; sudah naik dan mencari tempat untuk beristirahat. Cukup banyak penumpang lain yang masuk bersama kami, tentu dengan tujuan yang sama: ke Ternate.

Kapal tersusun atas empat tingkat. Paling bawah adalah tempat kendaraan bermotor. Di sana ada banyak truk dan kendaraan besar, juga beberapa sepeda motor. Di tingkat kedua adalah tempat istirahat penumpang, terdiri dari banyak dipan bertingkat, dilengkapi kamar kecil di pojok, serta ruang televisi dan karaoke di sisi lain.

Di tingkat ketiga terdapat dek dan ruang terbuka, tempat yang pas untuk mencari angin. Di tingkat ini juga ada ruangan berbayar dan kamar khusus untuk para kru kapal yang tidak boleh dimasuki sembarangan. Sepertinya itu ruangan berpendingin yang diceritakan Zaenal sebelumnya. Sementara di tingkat keempat, yang paling atas, terdapat ruang kemudi tempat nahkoda dan timnya mengendalikan kapal.

Di ruang penumpang yang dipannya bertingkat, saya dan Bolenk memilih dipan bagian atas. Rasanya lebih lega. Dipan bawah tampak lebih pengap. Saya mengambil matras empuk yang memang disediakan kapal untuk dijadikan alas. Begitu juga dengan Eson, ia mengambil matras dan menempati dipan di seberang saya.

Dek kapal paling bawah: tempat parkir kendaraan.

Dek kapal tempat istirahat penumpang dengan dipan bertingkat. 
Tampak Bolenk sedang memperlihatkan tiket pada pertugas pemeriksa.


Meninggalkan Pelabuhan Bitung

Tepat tengah malam, sirine kapal berbunyi nyaring, menandakan kapal sudah angkat sauh dan mulai bergerak meninggalkan pelabuhan. Saya yang sudah mengunduh peta secara luring mulai melihat pergerakan. Posisi kapal perlahan bergerak ke selatan, keluar dari Selat Lembeh.

Sebelum sinyal internet hilang, saya mengirimkan pesan singkat kepada istri di rumah, mengabarkan bahwa saya sudah di kapal dan sedang menuju Ternate. Selama delapan belas jam ke depan, atau mungkin lebih, saya tak akan bisa dihubungi karena tidak ada sinyal di tengah laut.

Ruang penumpang terasa panas dan gerah, mungkin karena kapal masih berjalan pelan. Kami yang belum mengantuk memutuskan naik ke dek di lantai tiga, mencari angin dan menikmati pemandangan malam di laut. Kerlap-kerlip lampu dari daratan Bitung dan Pulau Lembeh makin lama makin menjauh.

Tak banyak orang di lantai tiga. Di sebuah meja, ada kartu remi tak bertuan. Tapi saya tak tertarik bermain meski diajak oleh Bolenk. Karena salak yang saya beli di Bitung masih ada, kami habiskan salak itu. Sayang, nasi goreng yang dibungkus dari Manado lupa dimakan. Sudah basi, dan akhirnya dibuang. Sedih rasanya membuang nasi itu.

Beberapa saat kemudian, dua orang ibu-ibu dan seorang perempuan muda datang ke meja kami. Mereka ikut duduk dan berbincang ringan. Mereka dalam perjalanan pulang ke Tobelo, sebuah kota di Pulau Halmahera. Akhir tahun, mereka pulang kampung untuk merayakan Natal dan tahun baru. Nanti setelah di Ternate, kami juga akan singgah di kota itu sebelum lanjut ke Morotai, sesuai rencana perjalanan.

Tak banyak yang kami bicarakan. Bolenk malah tertidur pulas di kursi. Eson yang mulai mengantuk pamit ingin istirahat di ruang penumpang. Angin berhembus makin kencang karena kapal sudah memasuki laut lepas. Daripada masuk angin, lebih baik saya ikut beristirahat. Saya membangunkan Bolenk, dan ia pun mengikuti saya ke bawah.

Dek kapal tingkat ketiga: ruang terbuka di bagian atas.

Lorong di dek tingkat ketiga yang berisi ruangan atau kamar-kamar para kru kapal.


Jalur Rempah

Laut yang dilayari kapal kami bukan sekadar bentangan air yang memisahkan Sulawesi dan Maluku, melainkan jalur tua yang menyimpan jejak peradaban. Sejak berabad-abad silam, perairan ini telah menjadi urat nadi perdagangan rempah. Ia adalah penghubung antara Kesultanan Ternate dan Tidore dengan dunia luar.

Dari sinilah cengkih dan pala berlayar menembus samudra, menjemput kapal-kapal Portugis, Spanyol, hingga Belanda yang datang berebut pengaruh. Di atas gelombang yang kini kami lintasi dengan Dalente Woba, pernah melaju pula kapal-kapal kayu yang membawa rempah dan sejarah, sekaligus kisah tentang pertemuan, perebutan, dan pertukaran budaya.

Kini, jalur itu tetap hidup, meski tak lagi digerakkan oleh rempah, melainkan oleh penumpang dan barang-barang sehari-hari. Kapal-kapal perintis menggantikan armada niaga masa lalu. Dan di tengah malam yang pekat, saya merasa seolah ikut mengarungi sungai waktu: menyusuri lintasan yang sama, hanya berbeda zaman.

Laut Maluku: jalur tua yang menjadi urat nadi perdagangan rempah.

Laut Maluku: menjadi saksi kapal-kapal Portugis, Spanyol, hingga Belanda yang datang berebut pengaruh di masa lalu.


Pagi Berikutnya

Pagi-pagi benar, suasana di ruang penumpang sudah mulai ramai. Awal hari, waktunya orang-orang bangun dari tidurnya. Tidur saya semalam cukup nyenyak, tapi saya masih mengantuk. Bolenk masih tertidur, begitu juga Eson yang masih meringkuk di tempatnya.

Di sudut ruangan, di lorong menuju kamar kecil, terlihat antrean penumpang. Sepertinya mereka sedang menunggu giliran untuk menuntaskan panggilan alam. Saya yang tidak sakit perut hanya buang air kecil.

Uh... mungkin karena kapal lama dan bukan kelas eksekutif, kondisi kamar kecilnya tidak bagus-bagus amat. Bahkan terkesan jorok. Baunya pesing sekali. Rasanya, suasana seperti ini sudah lumrah di kapal penyeberangan kelas ekonomi. Kapal-kapal Merak–Bakauheni, Ketapang–Gilimanuk, atau Padangbai–Lembar pun, sejauh yang saya tahu, kondisinya mirip-mirip.

Jika ingin ke Ternate dari Sulawesi Utara, sebenarnya ada pilihan lain: naik kapal kelas eksekutif dari Pelabuhan Manado. Tentu saja harga tiketnya lebih mahal. Tapi saya dan Bolenk telah memutuskan berangkat dari Bitung, sesuai rencana perjalanan kami. Hanya kapal inilah yang tersedia.

Merasakan suasana kelas ekonomi sebenarnya tidak masalah. Malah bisa menambah warna cerita perjalanan kami.

Pagi yang mendung di Laut Maluku.


Melalui Kepulauan Batang Dua

Pukul tujuh pagi. Gelombang laut terasa sedikit lebih besar dari sebelumnya. Goyangan kapal yang tenang sejak malam mulai berubah. Beberapa orang terlihat berdiri di dekat jendela, memperhatikan sesuatu di kejauhan.

Ketika saya ikut memperhatikan, ternyata ada pulau kecil berjarak belasan kilometer dari kapal. Jika dilihat di peta, jarak antara kedua pulau itu sekitar empat puluh kilometer. Satu pulau berada di sisi utara kapal, satu lagi di sisi selatan.

Dua pulau itu lazim disebut Kepulauan Batang Dua. Saya memperkirakan namanya demikian karena hanya ada dua pulau di tengah laut luas. Pulau di sisi utara bernama Pulau Maju, sedangkan di sisi selatan bernama Pulau Gureda. Keduanya terletak di tengah perlintasan kapal antara Bitung dan Ternate di Laut Maluku.

Jalur pelayaran kapal berada di antara kedua pulau. Kapal dari Bitung ke Ternate biasanya berpapasan dengan kapal dari Ternate ke Bitung di selat antara dua pulau terpencil ini. Karena berada di laut lepas, perairannya cukup deras dan bergelombang. Karena itulah daerah ini dikatakan cukup rawan bagi kapal.

Maju dan Gureda secara administrasi termasuk wilayah Provinsi Maluku Utara. Kedua pulau tersebut berpenghuni, namun jumlah penduduknya tidak banyak. Sebagian besar adalah nelayan. Melalui lensa tele, saya melihat satu perahu nelayan sedang melaut tak jauh dari pulau.

Listrik di pulau-pulau terpencil itu bersumber dari diesel yang baru tersedia beberapa tahun terakhir. Tak ada jaringan seluler untuk berkomunikasi. Kapal besar atau kapal perintis pun jarang singgah. Transportasi dari dan ke sana hanya mengandalkan pelayaran rakyat, yang saat musim gelombang tinggi sering kali tidak beroperasi.

Pulau Gureda di sebelah selatan.

Pulau Maju yang tampak samar di sisi utara.


Camar di Tengah Laut

Setelah kapal menjauh dari Kepulauan Batang Dua, laut kembali terasa sepi. Di tengah kesunyian itu, beberapa burung camar tiba-tiba muncul di langit. Mereka terbang mengelilingi kapal dan sesekali bertengger di ujung tiang. Saya berpikir, jauh juga mereka terbang, karena daratan terdekat sudah kami lewati berjam-jam yang lalu.

Dari yang saya tahu, burung camar biasanya bersarang di dekat pantai. Mereka jarang menjelajah terlalu jauh ke laut. Rasanya, sarang mereka memang ada di Kepulauan Batang Dua. Saya memperkirakan mereka sudah terbiasa dengan kapal, sehingga sering terbang mengikuti.

Kalaupun burung-burung itu ingin kembali ke daratan dan kelelahan, mereka bisa berenang atau mengapung di permukaan laut. Camar memang memiliki kemampuan berenang. Selain itu, bulu mereka juga tahan air sejak lahir. Menarik sekali mengetahui hal-hal kecil seperti ini di tengah laut.

Burung camar di tengah laut.
Foto oleh Bolenk

Burung camar di tengah laut.
Foto oleh Bolenk

Burung camar di tengah laut.
Foto oleh Bolenk

Merapat

Menjelang sore, Kepulauan Maluku Utara mulai terlihat. Bayang-bayang daratan dengan gunung-gunung yang menyembul samar mulai tampak jelas. Saya takjub menyaksikannya. Sebentar lagi sampai.

Makin mendekati daratan, suasana laut makin ramai. Ada banyak perahu nelayan dan kapal kecil yang berpapasan.

Gunung Gamalama di Pulau Ternate semakin jelas terlihat. Gunung Kie Matubu di Pulau Tidore juga tampak berdiri gagah. Samar-samar, pohon-pohon di lereng gunung terlihat memikat, seolah memanggil dari kejauhan.

Sinyal telepon dan internet mulai tertangkap oleh gawai para penumpang. Satu dua gawai berbunyi, menandakan pesan masuk atau notifikasi. Pertanda jaringan telekomunikasi sudah mencapai kapal kami.

Hampir semua penumpang sibuk menatap layar gawai mereka. Mungkin mengabarkan kepada keluarga bahwa kapal akan segera merapat, atau sekadar memperbarui status di media sosial.

Sayang, itu tak terjadi pada saya. Gawai saya tetap tak mendapat sinyal. Saya benar-benar “mati gaya” selama di kapal. Kartu seluler yang saya gunakan tidak memiliki layanan di Maluku Utara. Nanti, setelah mendarat, saya harus segera membeli kartu baru.

Menjelang sore, Kepulauan Maluku Utara mulai makin terlihat jelas.

Sinyal telepon dan internet mulai tertangkap oleh gawai para penumpang.


Tiba di Ternate

Kapal akhirnya merapat dan bersandar di pelabuhan. Sore belum terlalu larut; langit masih terang. Saya pun melangkah keluar dari kapal, menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Pulau Ternate.

Pelabuhan tempat kami mendarat bernama Pelabuhan Bastiong. Cukup ramai orang berlalu lalang. Para penumpang Dalente Woba yang hendak ke pulau lain harus melanjutkan perjalanan dengan kapal berikutnya.

Eson yang akan ke Morotai sudah menemukan kapal menuju Halmahera. Dari sana, ia akan melanjutkan perjalanan darat sebelum menyeberang ke Morotai dari Tobelo, sesuai rencana perjalanannya.

Kami sempat berfoto bersama di Pelabuhan Bastiong sebelum berpisah, bertukar nomor telepon, dan berjanji akan bertemu lagi di Morotai jika memungkinkan.

Bli Gejor dan Bolenk mendarat di Pelabuhan Bastiong Ternate.
Foto oleh Eson.


Ke Pusat Kota

Dua tukang ojek mengantarkan saya dan Bolenk meninggalkan pelabuhan. Kami melintasi pasar dan menyusuri jalan utama pulau, menuju sebuah penginapan di pusat Kota Ternate. Dan dalam riuh sore jalanan kota, laut yang baru saja kami lintasi, seakan masih membentang dalam bayangan di kepala. []


I Komang Gde Subagia | Bitung–Ternate, Desember 2020

Comments