Skip to main content

Selepas Moni



Saya masih setengah mengantuk. Berusaha keras membuka mata untuk segera bangun. Lalu duduk di tepian ranjang penginapan. 

Barusan, saya hanya sempat tidur selama dua jam. Usai turun dari Gunung Kelimutu pagi tadi. Walaupun dua jam hanya sebentar, tapi rasanya sangat cukup untuk mengembalikan kesegaran tubuh.

Hari telah beranjak siang. Ini masih di penginapan milik John. Di Moni. Usai membasuh muka dan menggosok gigi, saya bergegas berkemas. Dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan.

Tertipu Calo

"Ayo Mas. Mampir ke penginapan saya. Duduk di restoran. Kita ngopi-ngopi dulu lah di sana sambil nunggu travelnya datang."

Seorang lelaki, yang kelihatannya berusia tak jauh berbeda dengan saya, menawari untuk mampir. Saat itu saya tengah duduk sambil makan nasi goreng. Di sebuah warung di tikungan jalan. Tak jauh dari Pasar Moni.

Saya tak langsung percaya dengan tawarannya. Dari gerak-geriknya, sedikit mencurigakan. Ia pasti calo. Naluri jalanan saya menebak tingkah lakunya.

Ia memang menawari saya tumpangan ke Maumere. Bahwa rekannya yang merupakan sopir travel antar kota di Flores bisa menjemput saya. Yang saat ini sedang dalam perjalanan dari Ende menuju Maumere.

Harga tiketnya seratus ribu rupiah. Mobil ber-ac dan nyaman. Saya timbang-timbang, tak masalah. Toh walaupun ia mengambil sedikit persenan dari nilai tersebut. Dan lagi pula, jarak Moni ke Maumere memang cukup jauh. Harga yang masih wajar.

Usai makan, saya pun beranjak dari pinggir jalan. Mengikuti langkahnya. Masuk ke dalam gang kecil dan menuju sebuah bangunan. Yang dinaungi pohon bambu. Yang ia katakan sebagai restorannya.

Sial! Yang saya lihat kemudian bukan restoran seperti yang saya bayangkan. Hanya sebuah bangunan lusuh. Dengan meja dan kursi. Tak ada pengunjung. Tak ada menu. Juga tak ada gerak-gerik staf seorang pun atau kegiatan di dapur.

Sup Jagung untuk Turis Perancis

Saya hanya duduk. Mengobrol dengan lelaki yang kemudian saya ketahui bernama Iwan. Iwan De La Rose, katanya sambil menyebut nama penginapannya.

Tadi ia menawari saya mampir untuk ngopi. Tapi, jangankan kopi, air putih pun tak ada. Apa-apaan nih, saya bersungut dalam hati. Sedikit kesal. Sekaligus juga kasihan melihatnya. Karena menyaksikan apa yang saya lihat berikutnya.

Bangunan yang saya singgahi ini adalah bagian dari rumahnya. Di salah satu sudut, ada dapur yang biasa saja. Malah bisa dibilang tak begitu baik dan menarik. Seorang perempuan muda yang merangkul bayi terlihat memandang kami dari pintu dapur. Perempuan itu adalah istri Iwan.

Di samping dapur, ada bangunan rumah yang sedikit lebih baik. Dengan beberapa kamar yang memang untuk disewakan. Kamarnya juga tak bagus-bagus amat. Beberapa meja dan kursi dari bambu ditata di depan kamar. Tak ada tamu yang saya lihat.

Di halaman rumah yang hanya berupa tanah, tumbuh rumput dan beberapa tanaman tak terawat. Bunga-bunga mawar mekar. Tak banyak. Tapi cukup mewarnai suasana yang saya ras sedikit muram.

Lalu ada yang datang. Seorang perempuan bule yang kemudian saya ketahui berasal dari Perancis. Menanyakan sup jagung yang ia pesan. Katanya, ia sudah membayarkan deposit pada Iwan untuk sarapan di tempat ini.

Tapi yang terjadi adalah : Iwan meminta istrinya yang sedang mengasuh bayi untuk segera membuatkan sup jagung. Yang kemudian sang istri mengatakan bahwa jagungnya habis. Uangnya juga tak ada.

Ya sudah beli dulu, lalu segera masak. Begitu perintah Iwan pada istrinya sambil memberikan uang lima puluh ribuan.

Lalu kemudian Iwan mengatakan pada tamunya yang dari Perancis ini, dalam bahasa Inggris, bahwa supnya belum matang. Lalu mengedip dan berkata pada saya, dalam bahasa Indonesia, untuk tak bilang bahwa jagungnya masih dibeli. Lalu ia pun pergi entah ke mana.

Hhhhh... Ada-ada saja yang saya alami. Kesal. Sekaligus kasihan melihat keadaan Si Iwan dan anak istrinya ini. Melihat semua ini, tentu saja saya berkesimpulan bahwa Iwan ini bukanlah orang yang berkecukupan. Yang harus menghidupi anak istrinya. Tapi caranya melayani turis seperti ini tentulah tak baik.

Dan akhirnya, setelah beberapa lama saya mengobrol dengan turis dari Perancis ini, sup jagung untuknya pun datang. Setelah mencicipi, ia berkomentar : supnya tak enak. Dan ia kecewa, sudah menunggu sangat lama.

Ketika Iwan datang kembali, turis Perancis ini mengatakan bahwa supnya enak. Sambil kedip mata pula pada saya. Saya hanya bisa melongo.

Hanya Angkutan Pedesaan

Mobil yang akan membawa saya ke Maumere tiba. Tapi, ya ampun. Bukan mobil travel ber-ac dan nyaman seperti yang dijanjikan. Yang datang hanya sebuah mobil kecil berwarna putih, sebuah angkutan pedesaan. Dan itu pun saya pikir pastilah angkutan umum yang memang lewat di jalan. Oh, shit! Saya memaki.

Saya yang sebenarnya sudah mengiklaskan uang transportasi saya ke Maumere lewat calo, dicarikan olehnya, yang seharga seratus ribu itu, akhirnya protes. Bukan masalah harga angkutannya. Atau bukan juga karena jenis mobilnya yang tak ber-ac.

Tapi ini masalah caranya yang sudah melewati batas. Ia berbohong. Penipu. Saya tak suka dibohongi. Sedikit keributan kecil terjadi. Walaupun saya tak meminta uang kembalian. Saya memarahinya. Dan ia tahu bahwa ia salah.

Saya menasehatinya tentang citra Moni dan ulahnya. Tentang pelayanannya pada bule Perancis yang jadi tamunya. Tentang Bali yang menjadi asal saya dan menjadi tempat wisata dunia.

Sopir angkutan pedesaan yang akan saya tumpangi pun geleng-geleng kepala setelah mengetahui duduk perkaranya. Saya yang masih dongkol akhirnya masuk ke dalam mobil. Sambil membayangkan Si Iwan De La Rose. Yang rejekinya ditunggu anak dan istrinya di rumah. Sial!

Berganti Tempat, Berganti Suasana

Saya jadi teringat pesan Koplo sewaktu di Ende. Selepas Moni sampai ke Maumere, bahkan sampai ke Larantuka, sebaiknya lebih berhati-hati. Karakter masyarakat Flores akan mulai berbeda. Nanti lihat saja sendiri dalam perjalananmu, katanya.

Di Flores bagian barat, masyarakatnya cukup ramah. Selama saya di Flores, tak pernah ada kejadian bertemu orang yang cari gara-gara. Seperti preman jalanan atau calo terminal. Semuanya aman-aman saja. Bahkan hampir semua orang yang saya temui sangat ramah.

Tapi lebih ke timur, ke arah Maumere, keramahan seperti itu mungkin sedikit berubah. Masih sama, tak ada begal atau kejahatan serius. Tapi, yang ada hanya sedikit kesan ugal-ugalan. Terutama jika ada kegiatan minum-minum sampai mabuk.

Dan saya membuktikannya di Moni. Bertemu dengan Iwan De La Rose yang berbisnis wisata. Walaupun ia tak mabuk, tapi membohongi para pejalan atau turis yang menjadi tamunya tentu menjadi pengalaman yang tak menyenangkan.

Bagaimana pun juga, ini hanyalah oknum. Yang mencoreng citra Flores. Atau Moni pada khususnya. Semoga citra masyarakat Flores yang baik dan ramah, yang sudah melekat di benak saya, tak berubah karena ulah satu oknum ini.

Jopu Ranggase

Angkutan pedesaan kecil ini pun melaju. Yang beberapa puluh meter kemudian menurunkan satu-satunya penumpang selain saya. Di tepi jalan yang masih di wilayah Desa Moni.

Saya sendirian kali ini sebagai penumpang. Bersama seorang sopir dan seorang kenek. Tak ada lagi yang lainnya. Tak ada juga barang-barang lainnya. Hanya sebuah ban bekas di lantai mobil. Saya yakin sopir dan kenek ini orang yang jujur.

"Mas, kita mau jemput penumpang yang lain dulu ya." begitu kata sopir kepada saya. Di mana kemudian mobil ini masuk ke jalan kecil. Meliuk-liuk dan naik turun di jalan aspal yang kondisinya tak begitu baik di tengah perkebunan.

Saya membuka Google Maps. Arah perjalanan kami menuju ke sebuah tempat yang bernama Jopu Ranggase. Menjelang sampai, jalanan makin kecil. Juga makin rusak.

Kebun dan semak belukar berubah menjadi perkampungan dengan rumah-rumah adat Flores. Dengan beberapa tiang jemuran di sana sini. Juga beberapa ekor babi dan ayam berkeliaran di halaman. Rasanya, inilah keaslian rumah adat di Flores dengan kehidupan masyarakatnya. Yang tak dipoles demi kunjungan turis.

Sebenarnya saya lebih suka naik angkutan umum beginj. Dibandingkan menaiki mobil travel yang sekali jalan langsung ke tujuan. Saya bisa melihat hal-hal yang tak terduga. Keaslian masyarakat seperti ini. Yang apa adanya.

Beberapa orang yang kami lewati melihat mobil angkutan ini. Seperti takjub. Yang sepertinya mobil ini adalah mobil satu-satunya yang lewat kemari. Seperti tak pernah ada kendaraan yang lewat ke tempat ini sebelumnya.

Bersama Keluarga dari Lembata

Mobil berhenti di depan sebuah rumah. Lalu  satu demi satu beberapa orang dari dalam rumah masuk ke dalam mobil. Ada orang tua. Ada mama-mama. Ada anak-anak. Ada beberapa pemuda-pemudi tanggung. Membawa tas dan berbagai barang. Mobil pun jadi penuh.

Seorang mama yang masih muda duduk di samping saya. Mengajak ngobrol. Ia sekeluarga dari Lembata, sebuah pulau di timur Flores. Lagi liburan di rumah saudaranya di Jopu Ranggase. Hari ini, ia mau ke Larantuka. Untuk kemudian menyeberang ke Lembata keesokan harinya.

Si mama cukup kaget ketika tahu saya dari Bali, melakukan perjalanan sendiri di Flores, sudah lebih dari seminggu. Basa-basi, ia menawari untuk main ke Lembata. Katanya, di sana banyak tempat yang bagus. Juga ada tradisi berburu ikan paus.

Sayang, waktu saya tak banyak. Saya akan kembali ke Bali sesampainya di Maumere nanti. Tentu tak sempat lagi untuk melanjutkan perjalanan lebih jauh ke timur.

Andai suatu hari nanti ada kesempatan, saya ingin sekali melanjutkan perjalanan ini. Dimulai dari Maumere. Lalu ke Larantuka. Kemudian menyeberang ke Adonara dan Lembata. Singgah ke Baranusa. Lalu ke Alor.

Bahkan, jika waktu lebih banyak, akan lebih menarik lagi jika dilanjutkan lagi sampai ke Timor dan Sumba. Juga Rote. Sehingga seluruh Nusa Tenggara Timur bisa dikunjungi. Semoga saja. Suatu hari nanti saya bisa kembali melakukan perjalanan seperti ini.

Menuju Maumere

Mobil yang tadinya berguncang-guncang di jalanan yang tak rata akhirnya melaju mulus. Saya duduk kalem saja. Sambil senyum-senyum, melihat anak-anak kecil asal Lembata yang semobil dengan saya ini bermain tebak-tebakan. Sesekali mereka bersorak kegirangan. Menambah keriuhan di dalam mobil.

Akhirnya saya kembali ke jalur yang benar. Maksudnya, angkutan yang saya tumpangi ini sudah keluar dari jalan-jalan kecil pedesaan. Sudah kembali ke jalan raya antar kabupaten lagi. Menyusuri Jalan Raya Trans Flores. Menuju Maumere. []

I Komang Gde Subagia - Sikka, Juni 2019

Comments