Skip to main content

Sejenak di Maumere

Saya akhirnya tiba di Kota Maumere. Setelah berjam-jam sebelumnya menempuh perjalanan dengan menumpang angkot kecil dari Moni, di kaki Gunung Kelimutu.

Tugu Selamat Datang di salah satu sudut kota.

Maumere

Maumere adalah ibu kota Kabupaten Sikka. Berada di pesisir utara yang merupakan kota terbesar di Pulau Flores. Kota ini lebih besar dari Labuan Bajo di ujung barat. Juga lebih besar dari Ruteng dan Ende yang telah saya kunjungi sebelumnya.

Sore sampai malam, saya habiskan waktu dengan berkeliling kota mengendarai sepeda motor. Yang saya sewa dari tempat saya menginap. Menyusuri Jalan Gajah Mada, Jalan El Tari, Jalan Ahmad Yani, dan Jalan Soekarno-Hatta yang menjadi jalan-jalan utama kota ini. 

Maumere memang ramai. Kendaraan lalu lalang. Minibus-minibus dengan trayek Ende atau Larantuka beberapa kali saya lihat melintas. Begitu pula mobil-mobil pribadi berplat hitam. Sepeda motor banyak berseliweran, yang walaupun di jalan raya ibu kota kabupaten, sebagian besar pegendaranya tidak memakai helm.

Makam di Halaman Rumah

Di pinggiran kota, barulah keramaian sedikit berkurang. Jika di kota, pemandangan yang terlihat sebagian besar adalah pertokoan dan perkantoran, di maka di pinggiran yang merupakan perkampungan, kebanyakan hanyalah rumah-rumah warga dengan makam di halaman rumahnya.

Seperti yang sudah saya lihat dan ketahui sebelumnya, masyarakat Flores memang menguburkan anggota keluarganya yang sudah meninggal di halaman rumahnya. Dan di Maumere, saya melihat hal seperti ini lebih banyak.

Makam-makam di halaman rumah ini kebanyakan dibangun dari batu marmer atau keramik. Dilengkapi dengan rumah kecil dan lampu yang menyala di malam hari. Masyarakat Flores percaya bahwa keluarga yang masih hidup akan selalu merasa lebih dekat dengan keluarganya yang sudah dimakamkan.

Jalan-jalan sendirian di pinggiran kota di hari yang telah malam, dengan pemandangan makam di halaman-halaman rumah warga, cukup menyeramkan juga. Tapi tak mengapa. Karena malam belumlah terlalu malam. Masih banyak yang duduk-duduk di teras rumah. Masih banyak warung yang buka. Juga masih cukup banyak kendaraan yang melintas.

Maumere, Kota Pelabuhan

Di pagi hari. Ketika saya sarapan, saya bertemu seseorang dari Bali. Namanya Dede, dari Denpasar. Umurnya sebaya dengan saya. Ia yang menyapa duluan karena melihat gelang tridatu yang saya kenakan. Gelang tridatu adalah gelang dari benang yang berwarna merah, putih, dan hitam. Yang biasa dipakai orang Bali sebagai bagian dari sistem kepercayaan.

Dede sudah seminggu berada di Maumere. Ia yang bekerja di sebuah perusahaan logistik di Denpasar, sedang ditugaskan di kota ini. Untuk mengurus logistik kapal pesiar Emil Qatar yang akan berkunjung ke Maumere.

Katanya, Emil Qatar atau putra dari Raja Qatar akan berwisata di sekitar Flores bagian timur dan sekitarnya. Berkeliling dengan kapal pesiar. Rombongan dari Qatar itu akan datang dengan dua pesawat jet pribadi. Serta satu kapal pesiar yang akan lebih dulu merapat di pelabuhan. Dan perjalanan wisata itu, akan dimulai dari Maumere. 

Kapal pesiar harusnya telah datang, tapi terlambat. Dede bersama timnya lah yang bertugas untuk mengurusi kebutuhan logistik kapal tersebut di Maumere. Air, bahan makanan, bahan bakar, dan keperluan-keperluan kapal lainnya. Karena kapal belum datang, ia hanya bisa menunggu. Sampai akhirnya bertemu dengan saya dan menceritakan kisahnya.

Sebagai kota terbesar di Flores yang terletak di pesisir, pelabuhan terbesar Flores pun juga terletak di kota ini. Sehingga tak salah wisatawan sekelas putra raja dari Timur Tengah memilih Maumere untuk merapatkan kapalnya.

Memiliki pelabuhan besar, menyebabkan Maumere dicanangkan menjadi salah satu titik tol laut dalam program Nawa Cita Presiden Joko Widodo. Pengangkutan barang dan ternak dari dan keluar Pulau Flores dilakukan di Pelabuhan Maumere.

Penjual ikan di pinggir Jalan Nasional Maumere - Larantuka.

Moke Maumere

Menjelang siang, dari Kota Maumere, saya memacu motor ke arah timur. Melewati Bandara Frans Seda. Menyusuri Jalan Nasional Maumere - Larantuka. Bersama Erick Enriquest, karyawan penginapan di tempat saya menginap. Menuju ke sebuah pondok di tengah perkebunan yang gersang.

Ke mana pun mata memandang, terlihat pohon-pohon lontar tumbuh di mana-mana. Satu dua atau beberapa pohon berdekatan, di antara tanaman-tanaman kebun. Setelah melalui jalan berbatu dan sedikit berdebu, kami akhirnya tiba di tempat yang dituju.

Saya bersama Anselmus Alfaristo, pengrajin moke di Maumere.

Kami bertemu dengan Anselmus Alfaristo. Lelaki 34 tahun yang biasa dipanggil Risto. Berprofesi sebagai pembuat moke, minuman beralkohol khas Maumere yang terbuat dari sadapan pohon lontar. Di sela-sela kegiatannya membuat moke, Risto juga sesekali menjadi buruh bangunan.

Saya dan Erick duduk di atas kayu di pondok samping rumahnya. Risto lalu mengambil sebotol moke dan menyajikannya pada kami. Bersama tempurung kelapa yang difungsikan sebagai gelas. Minuman beralkolhol itu seolah menjadi pengganti kopi atau teh untuk menyambut kedatangan saya. 

Saya teguk minuman itu. Sambil mendengarkannya bercerita tentang moke. Yang menjadi minuman simbol persatuan kekerabatan. Yang jika ada ritual adat atau pesta, moke menjadi wajib yang harus ada.

Saya juga bercerita padanya tentang arak bali. Minuman yang tak jauh berbeda dari daerah asal saya. Walaupun ia tak pernah mencicipinya, tapi ia mengenalnya.

Proses Pembuatan Moke

Di pondok tempat kami berbincang itu, ada tungku yang di atasnya bertengger periuk tanah. Di atas periuk tersebut, ada rangkaian bambu betung yang panjang, yang berujung ke sebuah wadah penampungan. Itulah perkakas penyulingan moke tradisional milik Risto.

Setiap pagi dan sore, Risto naik pohon lontar. Mengiris mayangnya dan mengambil cairan hasil irisan yang telah dilakukannya sebelumnya. Cairan hasil irisan itu disebut sebagai nira. Atau moke putih. Secara umum juga disebut sebagai tuak. Berkadar alkohol rendah dan digemari sebagai minuman di nusantara sejak dulu.

Nira atau moke putih atau tuak itulah yang kemudian diproses untuk menjadi moke.  Prosesnya ada dua, yaitu memasak dan menyuling. Tungku api berfungsi sebagai tempat pembakaran. Periuk tanah berfungsi sebagai wadah nira yang dimasak. Rangkaian bambu berfungsi sebagai saluran penyulingan uap nira. Dan hasil tetesan pengembunan uap nira itu ditampung dalam wadah di ujung bambu.

Nira, moke putih, atau tuak; hasil sadapan pohon lontar.


Risto menuangkan nira ke dalam periuk untuk disuling menjadi moke.

Risto mulai menyalakan tungku. Lalu mengambil nira dari sebuah ember besar. Menyaringnya, lalu memasukkannya ke dalam periuk. Setelah penuh, mulut periuk ditutup rapat dengan bambu yang lubangnya membentuk rangkaian panjang. 

Celah yang timbul di antara bambu dan periuk ditutupnya dengan tanah liat.  "Uap dari nira ini tidak boleh bocor, supaya moke yang dihasilkan maksimal", katanya menjelaskan. 

Rangkaian bambu dari mulut periuk sampai ke tempat penampungan cukup panjang. Dari yang ukurannya besar di mulut periuk, sampai yang kecil di ujungnya. Semakin panjang bambunya, semakin berkualitas mokenya. 

Tetesan-tetesan pertama yang dihasilkan dari penyulingan ini rasanya sepat. Biasanya ukuran satu gelas pertama ini dibuang, supaya tidak merusak hasil tetesan-tetesan berikutnya.

Jika satu periuk nira sudah habis disuling, maka moke pun sudah dihasilkan dari hasil tetesan-tetesan yang ditampung. Untuk menghasilkan moke yang baik, moke yang sudah dihasilkan itu disuling ulang. Bisa tiga sampai empat kali penyulingan lagi. 

Moke yang disuling tiga sampai empat kali inilah yang disebut sebagai moke kelas satu, yang kualitasnya paling baik. Yang disuling dua kali disebut kelas dua, berkualitas sedang. Yang disuling sekali disebut kelas tiga, berkualitas rendah. 

Menunjang Ekonomi

Selain sebagai minuman tradisi dan simbol persatuan, moke bernilai ekonomi tinggi bagi Risto. Juga bagi para pembuat moke lainnya di Sikka dan sekitarnya. 

Risto sudah belasan tahun membuat moke. Pekerjaan yang merupakan warisan turun temurun di desanya. Berbotol-botol moke dihasilkan. Ada yang dititip di warung-warung pinggir jalan. Ada yang dijual ke pedagang pengecer di pasar. Ada juga yang distok di rumah untuk pembeli yang langsung datang kepadanya. 

Hasil jualan mokenya sangat membantu pendapatan keluarga. Untuk belanja sembako maupun untuk biaya sekolah anak. Harga sebotol moke sekitar dua puluh ribu sampai lima puluh ribu rupiah. Tergantung kelasnya. Di Maumere, setiap hari ada saja yang membelinya.

Risto di pondok tempatnya menyuling moke.

Aktivitas Risto dalam menyuling moke.

Walaupun moke mudah ditemukan di warung atau di pasar, baik di Maumere atau pun di Flores pada umumnya, tetapi payung hukum peredarannya masih abu-abu. Konon, Gubernur NTT berniat melegalkannya dalam peraturan daerah. 

Moke memang minuman beralkohol dan memabukkan. Pro kontra masalah ini selalu saja ada. Apalagi jika dibawa ke ranah nasional yang lebih luas. Masyarakat nusantara yang beragam seakan terbelah. Ada yang setuju ada yang tidak setuju.

Tapi yang pasti, jika kita setuju dan suka moke atau minuman tradisional yang beralkohol lainnya, sebaiknya tahu diri. Kalau minum, secukupnya saja dan tidak berlebihan. Karena apa pun yang berlebihan, pada umumnya berakibat tidak baik.

Pamit

Cukup lama saya di pondok Risto. Tetesan-tetesan hasil penyulingan nira belum penuh mengisi wadah penampung. Tak mungkin saya menunggunya sampai selesai. Karena waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu penyulingan memang lama. Bisa seharian.

Saya ketika di Bandara Frans Seda, Maumere (maaf, lupa nyengir).

Hari telah beranjak sore. Saya pun pamit pada Risto. Dan sebotol moke kelas satu, yang sudah distok Risto sebelumnya, ikut serta bersama saya. []

I Komang Gde Subagia - Sikka, Juni 2019

Comments