Skip to main content

Kilas Balik Manggarai

Ada sesuatu yang magis dari sebuah perjalanan. Yang kadang sulit dimengerti. Perjalanan memberikan sentuhan pengetahuan baru bagi mereka yang melakukannya. Ia mengajarkan pelakunya untuk tahu dan mencari tahu. Tanpa bicara. Tanpa menggurui.

Begitu pula ketika saya menginjakkan kaki di tanah Flores selama beberapa hari terakhir. Secara kasat mata, saya merasakan aura perbedaan suasana. Terutama ketika bergerak makin ke timur meninggalkan Kota Ruteng.

Inilah yang menyebabkan rasa keingintahuan. Akan kehidupan masyarakat beserta cerita di baliknya. Terutama tentang Flores bagian barat. Tentang Manggarai, yang akan saya tinggalkan.


Peta Manggarai Raya di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Ditandai dengan arsir warna merah.

Peta sebelumnya diambil dari pembesaran bagian Nusa Tenggara Timur di Kepulauan Nusantara


Manggarai di Flores Barat

Manggarai adalah kawasan di bagian barat Pulau Flores. Orang menyebutnya sebagai Manggarai Raya. Yang kini sudah terpecah menjadi tiga kabupaten. Manggarai Barat dengan ibu kotanya di Labuan Bajo. Manggarai, ibu kotanya di Ruteng. Dan Manggarai Timur, ibu kotanya di Borong.

Secara umum, Suku Manggarai menjadi penghuni utama di Manggarai Raya. Selain Suku Manggarai, ada suku-suku lainnya di Flores. Jika diurutkan setelah Manggarai, maka suku-suku tersebut adalah : Riung, Ngada, Nagakeo, Ende, Lio, Sikka, dan Larantuka.

Pengaruh Lain di Manggarai

Jika berbicara tentang Manggarai, maka sejarahnya tidak akan bisa lepas dari cerita tempat lain di nusantara. Seperti Suku Minangkabau di Sumatera, Kesultanan Makassar di Sulawesi, Kesultanan Bima di Sumbawa, serta Bangsa Portugis dan Belanda yang datang di kemudian hari.

Dulu, jauh sebelum abad ke-18, ada tiga kerajaan lokal di Manggarai yang disebut kedaluan. Yaitu Bajo, Cibal, dan Todo. Ketiganya ada dalam pengaruh kekuasaan tidak langsung Kesultanan Bima. Dengan kata lain, Bima menguasai sebagian besar daerah di Manggarai. Sementara Kesultanan Bima berada di bawah kekuasaan Kesultanan Makassar.

Perebutan Hegemoni

Pada abad ke-18, seorang putra sultan di Bima menikahi seorang putri dari Makassar. Putra sultan Bima ini lalu hendak menyerahkan Manggarai kepada Makassar sebagai upeti. Didirikanlah sebuah kesultanan lain di Reo, Manggarai. Untuk Makassar.

Sultan lain di Bima tak setuju. Ia tak rela Reo diserahkan ke Makassar. Maka, sultan dari Bima yang tak setuju ini mengajak Kedaluan Bajo untuk memerangi Reo.

Di lain pihak, Kedaluan Todo juga membantu menyerang Reo. Ini karena Todo mendapat kesempatan memperluas daerah kekuasaan.

Bima, Bajo, dan Todo menang. Reo kalah. Kesultanan Reo pun urung menjadi bagian Kesultanan Makassar. Tetapi menjadi perpanjangan tangan Kesultanan Bima di Manggarai.

Antara Cibal dan Todo

Singkat cerita dan seiring perjalanan waktu. Di lain pihak, Kedaluan Cibal mulai tak suka dengan perkembangan Kedaluan Todo. Apalagi Cibal menganggap Todo bukan Manggarai asli, tetapi keturunan Minangkabau.

Mereka bersaing. Rivalitas makin meninggi. Sehingga sering menimbulkan peperangan terbuka. Daerah kekuasaan antara Cibal dan Todo berubah-ubah sesuai hasil perang.

Antara Bima, Bajo, Cibal, dan Todo


Tak banyak literatur yang menuliskan tentang anggapan Cibal pada Todo. Apakah benar nenek moyang Kedaluan Todo berasal dari Minangkabau.

Sistem kekerabatan di Todo adalah patrilineal, garis keturunan lelaki. Sama seperti di Wae Rebo yang saya kunjungi sebelumnya. Bukan matrilineal seperti di Ruteng Pu'u. Sungguh berbeda dengan Minangkabau.

Tapi cerita lisan dari mulut ke mulut memang seperti itu. Bahwa nenek moyang Todo memang berasal dari tanah Sumatera Barat.

Kedatangan Portugis dan Belanda

Portugis sebenarnya sudah datang ke Flores sejak abad ke-16. Tapi pengaruhnya sebagian besar berada di Flores bagian timur.

Belanda melalui VOC merebut hegemoni Portugis di Flores seabad kemudian, abad ke-17. Termasuk Manggarai di barat.

Belanda baru membangun pusat pemerintahan di Todo pada abad ke-20, tepatnya tahun 1907. Lalu dipindahkan ke Ruteng setahun kemudian, pada 1908.

Minat Belanda terhadap Manggarai tidak saja pada perdagangan seperti yang dilakukan VOC. Tetapi juga menjalankan penyebaran agama Katolik. Maka tak heran, di Ruteng banyak terdapat gereja, biara, dan bangunan peninggalan Belanda.

Ketika Belanda sudah benar-benar berkuasa di Manggarai, pengaruh Kesultanan Bima di kedaluan-kedaluan yang ada pun sudah sirna.

Todo yang menjadi kedaluan paling berpengaruh tak mau tunduk pada Bima. Begitu juga kedaluan lainnya. Tapi Belanda bisa masuk dengan mudah.

Maka dari itu, Belanda mutlak berkuasa hingga seratus tahun kemudian. Sampai akhirnya Jepang masuk saat perang dunia kedua. Lalu berlanjut hingga Flores menjadi bagian Indonesia merdeka. Sampai sekarang.

Demikianlah

Dan demikianlah. Saya seperti guru sejarah saja. Atau mungkin Geografi. Perjalanan ke tempat-tempat baru memang menyenangkan. Menggugah rasa keingintahuan. Setiap sudut nusantara, selalu punya kisah-kisah menarik untuk disimak. Seperti sedikit catatan kecil tentang sejarah Manggarai di atas. []

I Komang Gde Subagia - Ruteng, Juni 2019    

Comments