Skip to main content

Ke Ende

Ende, adalah kota tempat Bung Karno mendapatkan ilham Pancasila


Ende adalah kampung nelayan yang dipilih sebagai penjara terbuka untukku. Jika naik jip dari kota terdekat, dibutuhkan waktu delapan jam. Jalan utamanya adalah jalanan tanah bekas tebasan hutan. Di musim hujan, terjadi kubangan lumpur yang becek.

Itulah kalimat pembuka Sukarno, presiden pertama Indonesia. Tentang pandangannya akan kampung nelayan terpencil di Flores. Yang dituturkan pada Cindy Adams. Wartawan Amerika yang menuliskan biografi sang proklamator : Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Tiba di Ende

Hari telah malam. Perjalanan saya hari ini sudah memasuki Kota Ende. Sedari tadi saya memperhatikan laju minibus yang saya tumpangi di Google Maps. Melihat posisinya. Dan mencari-cari tempat yang cocok untuk turun.

Buku 'Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia' karya Cindy Adams. 


Ende tak lagi seperti cerita Bung Karno di atas. Bukan lagi sebuah kampung nelayan terpencil. Jalannya sudah beraspal, bukan tanah. Dari balik kaca minibus, lampu-lampu berpendaran dari kendaraan bermotor yang lalu lalang.

Seorang perempuan muda yang duduk di samping saya menyarankan untuk turun di sekitar simpang lima saja. Di dekat pintu masuk Bandara Hasan Aroeboesman. Di sana cukup ramai. Ada pertokoan. Dan warung-warung makan.

Saya turun di sana. Lalu menunggu seorang teman di depan sebuah mini market. Kedatangan saya di Flores sudah diketahuinya. Semenjak dari Labuan Bajo, ia sudah mewanti-wanti untuk mengabarinya jika saya sudah sampai di Ende.

Teman saya ini namanya Agustian Setya Danarko. Biasa dipanggil Koplo. Teman kuliah sewaktu di Bandung dulu. Yang sering nongkrong dengan anak-anak pecinta alam Astacala. Sering bareng membuat bibit tanaman dan nanam-nanam pohon. Atau mendiskusikan buku-buku bacaan.

Sekian lama tak bertemu, akhirnya saya bertemu dengannya di Ende. Apa kabar, Bro? Sapanya ketika kami berjabat tangan.

Siang Sebelumnya

Siang tadi di Bajawa, saya duduk menunggu di depan sebuah warung. Tak jauh dari Pertigaan Watujaji. Saya tak menyewa mobil travel untuk menuju Ende. Tapi menumpang angkutan umum. Yang biasa digunakan oleh warga setempat sehari-hari. Pergi pulang antar kabupaten.

Kendaraannya berupa mobil minibus. Berwarna merah. Menumpang mobil ini membuat saya merasa lebih berbaur dengan masyarakat setempat.

Banyak barang ikut masuk. Berjubelan sampai di atap mobil. Ada karung-karung berisi sayur, beras, kopi, atau cokelat. Ada kelapa. Ada kayu bakar. Ada kasur. Bahkan ada kambing, yang mengembik karena terikat kepanasan.

Minibus yang saya tumpangi dari Bajawa ke Ende


Jika naik travel, mobilnya ber-ac. Langsung dijemput dan diantar sampai tujuan. Tapi dengan angkutan umum ini, ac-nya alami. Alias angin dari jendela. Saya juga bisa naik dari pinggir jalan. Turun bisa di mana saja. Asalkan jalurnya dilewati. Yang pasti, tujuan akhirnya di Ende.

Sebenarnya, naik angkutan umum ini juga bisa minta dijemput. Tapi saya tak tahu caranya. Seperti nantinya mobil yang saya tumpangi ini masuk ke kampung-kampung menjemput penumpang. Karenanya, saya jadi bisa melihat suasana di pelosok. Ini menjadi nilai tambah.

Seorang penumpang yang akan menitipkan kayu bakar untuk dikirim ke Ende


Kelebihan lain naik angkutan umum ini adalah musiknya. Musik diputar kencang. Seperti oto-oto di Manggarai. Memainkan lagu-lagu kekinian. Lagu luar negeri, lagu dalam negeri, atau lagu lokal Flores. Lagu-lagunya semua bernada gembira.

Lagu yang paling saya ingat dan saya suka adalah yang berjudul 'Kaka, Ade Masih Sekolah'. Lagu ini benar-benar memiliki cita rasa daerah timur. Beberapa kali lagu ini saya dengar mengalun. Di kendaraan umum atau di warung-warung. Sepertinya akan menjadi memori song saya, untuk mengenang perjalanan di Flores.

Bertemu Koplo

Setelah menempuh enam jam perjalanan dari Bajawa, saya akhirnya bertemu Koplo. Ia menjemput saya dengan taft tuanya. Bersama Putri, istrinya. Di depan sebuah minimarket. Di seberang gereja yang tak jauh dari pintu masuk bandara.

Malam itu pula kami menuju keluar kota. Ke arah perbukitan di timur laut Kota Ende. Yang jaraknya sekitar tujuh kilometer dari tempat pertemuan kami. Koplo punya rumah di sana. Tepatnya sebuah lahan perkebunan dengan gubuk kayu yang baru dibangunnya. Koplo menyebut tempatnya itu dengan sebutan : Mette Ground.

Mette Ground, lahan perkebunan yang dimiliki oleh Koplo


Jadilah saya bermalam di Mette Ground. Satu kata dari saya ketika sampai adalah : gila! Lokasinya di perbukitan yang sepi. Untuk mencapainya, harus menempuh beberapa puluh meter jalanan off road. Serta menyeberangi jembatan kayu yang rapuh. Tetangga terdekatnya berjarak sekitar 500 meter.

Selain lokasinya yang agak terpencil, tak ada sambungan listrik PLN. Kabel PLN tak sampai. Lampu-lampu di Mette Ground menggunakan sumber energi dari tenaga surya. Dari solar panel. Sedangkan airnya dari selang yang alirannya bersumber dari mata air alami. Lokasi mata air itu tak begitu jauh.

Pemandangan Kota Ende di sela-sela pohon kelapa


Koplo yang anak klub vespa sering mengajak teman-temannya nongkrong di halaman. Makanya ia memasang perangkat internet dengan pemancar wifi. Lengkap dengan CCTV. Supaya ramai dan aman, katanya. Nongkrong dengan buka tenda. Sambil bakar-bakaran. Sambil melihat kerlap-kerlip lampu Kota Ende di bawah sana. Yang pemandangannya sedikit terhalang beberapa pohon kelapa.

Oh ya, ini sedikit cerita tentang Koplo. Ia adalah seorang engineer telekomunikasi. Yang memutuskan untuk membeli lahan di Ende. Lalu banting setir jadi petani. Menyepi di kota kecil. Berkebun. Sambil memelihara ayam. Dan berbisnis kopi. Rasanya memang cocok dengan jiwanya. Semoga lancar-lancar terus, Bro!

Saya bersama Koplo


Keliling Kota dengan Sepeda

Pagi berikutnya, saya meluncur di atas sepeda. Menuruni bukit. Dari Mette Ground menuju Kota Ende. Koplo meminjami saya sepeda. Untuk keliling-keliling kota. Melihat-lihat apa saja yang bisa dilihat.

Peta pembesaran Ende di Nusa Tenggara Timur 
(klik kanan dan buka untuk memperbesar tampilan)


Peta Ende
(klik kanan dan buka untuk memperbesar tampilan)


Ende bisa dibilang adalah kota pelabuhan. Yang berkembang dari sebuah kampung nelayan. Dua teluk dengan satu tanjung mengapit kota dari sisi selatan. Kedua teluknya memiliki pelabuhan. Pelabuhan Bung Karno di teluk sebelah barat. Dan pelabuhan Ippi di teluk sebelah timur.

Di tanjung yang menjorok ke selatan, dua gunung berdiri. Pas sepasang. Gunung Meja dan Gunung Ia. Tingginya hanya beberapa ratus meter dari permukaan laut. Terlihat jelas jika kita melihatnya dari tepi pantai. Atau dari titik-titik tertentu di Kota Ende.

Gunung Meja dilihat dari Lapangan Perse


Tempat Pembuangan Bung Karno

Jika berbicara tentang Ende, tak mungkin untuk melewatkan kisah Bung Karno. Di kota inilah Bung Karno banyak berpikir sehingga terlahir ide Pancasila. Dasar negara Indonesia.

Patung Bung Karno, Garuda Pancasila, dan pohon sukun di Lapangan Perse


Bung Karno dibuang ke Ende oleh Belanda pada tahun 1934 sampai 1938. Dari biografinya, ia mengatakan bahwa segala hal yang dimiliki telah dilucuti dalam pembuangannya. Tapi ada satu hal yang kemudian banyak ia miliki dalam pembuangan. Yaitu : waktu.

Bung Karno banyak memiliki waktu luang di Ende. Karena itulah ia banyak membaca buku-buku yang dibawanya. Juga bisa menulis banyak naskah drama. Membangun kelompok teater dan melakukan pentas-pentas pertunjukan.

Karena banyaknya waktu luang, itu pula yang membuat Bung Karno bisa sering duduk termenung. Di bawah pohon sukun, tak jauh dari pantai. Sambil memandang lautan.

Ia merenungkan keanekaragaman. Ia yang seorang Jawa, dilahirkan oleh ibu dari Bali. Bersekolah dan mendapatkan istri di Tanah Pasundan. Punya banyak teman seperjuangan dari Sumatera. Lalu melihat kehidupan di Ende : para pastor dan masyarakat penganut Katolik, yang berbaur rukun dengan penganut Islam.

Mengunjungi Situs 

Hari yang telah menjelang siang begitu panas. Saya mengayuh sepeda di bawah terik mentari. Menuju bekas rumah pengasingan Bung Karno. Yang telah diresmikan menjadi situs bersejarah. Oleh Bung Karno sendiri pada tahun 1954. Ketika Indonesia telah merdeka.

Rumah pengasingan Bung Karno di Ende


Situs rumah pengasingan ini kecil saja. Jalan menuju tempatnya juga kecil. Berada di antara rumah-rumah warga yang lain. Dulu, bangunannya hanya beratapkan ilalang. Milik warga Ende yang bernama Abdullah Ambuwaru.

Kini, rumah tersebut sudah sedikit berubah. Telah beratap seng. Terakhir kali direnovasi dengan mempertahankan bentuk aslinya pada tahun 2012, yang selesai pada tahun 2013. Diinisiasi oleh Boediono, wakil presiden ketika itu.

Rumah pengasingan Bung Karno di Ende

Patung Taman Bung Karno diresmikan oleh Wakil Presiden Boediono pada tahun 2013


Saat saya tiba di situs ini, kondisinya tutup. Karena hari libur. Walaupun saya bisa melihat dari luar, pintunya tergembok. Saya yang jauh-jauh dari Bali ke Ende ternyata tak bisa masuk.

Jika saya bisa masuk, maka akan cukup banyak peninggalan bersejarah yang bisa dilihat. Antara lain naskah-naskah drama yang ditulis oleh Bung Karno semasa pembuangannya.

 Lapangan Perse

Saya mengayuh sepeda lagi. Kali ini menuju ke pantai. Di dekat pantai ada tanah lapang. Namanya Lapangan Perse. Yang kini lebih dikenal dengan nama Lapangan Pancasila. Namanya telah diubah oleh pemerintah setempat.

Daun sukun yang jatuh. Pohon sukun di Lapangan Perse juga disebut Pohon Pancasila.
 

Di salah satu sudut lapangan, ada pohon sukun. Konon, di bawah pohon itulah tempat Bung Karno biasa merenung. Pohon sukun itu pohon baru. Karena pohon yang asli sudah mati sekitar tahun 1970-an.

Tak jauh dari pohon sukun, ada patung Bung Karno. Patung itu sedang duduk menghadap ke pantai. Sengaja dibangun tak jauh dari pohon sukun. Sehingga patung tersebut dinaungi oleh dedauannya. Menjadi pengingat dan pengikat batin antara Ende dan Republik Indonesia. Menjadi penguat nasionalisme. Dari generasi ke generasi.

Kata Bung Karno, "Di kota ini kutemukan lima butir mutiara, di bawah pohon sukun ini pula kurenungkan nilai-nilai luhur Pancasila"


Walaupun lapangan ini tempat bersejarah, saya melihatnya kurang terawat. Beberapa sampah plastik berceceran. Pondasi lantai banyak yang pecah. Rumput juga kurang sedap dipandang. Padahal ada beberapa wisatawan lokal Flores yang saya lihat  senang berswafoto di tempat ini.

Keliling Pasar dan Menyusuri Pantai

Siang yang makin panas membuat saya enggan mengayuh sepeda terlalu jauh. Pasar Ende berlokasi cukup dekat dari Lapangan Perse. Jalanan juga tak menanjak. Masih di dekat-dekat pantai juga. Saya ke sana saja. Ke pasar

Pasar cukup ramai. Seperti pasar pada umumnya. Satu hal berbeda dengan pasar-pasar yang biasa saya lihat adalah : pinang. Banyak pedagang sayur di Pasar Ende yang berjualan pinang. Ini tentu karena warga di Flores pada umumnya dan di Ende pada khususnya, masih banyak yang makan Pinang.

Menjelang sore, saya memutuskan untuk bersantai di tepi pantai. Jalan-jalan. Lalu duduk-duduk sambil minum es kelapa muda. Di sebuah warung yang menghadap ke laut. Sambil memandangi kapal yang sedang bergerak dari pelabuhan. Yang sepertinya menuju ke Pulau Ende di seberang sana.

Ketika hari makin sore, orang-orang yang berdatangan ke pantai makin ramai. Laki perempuan. Tua, muda, dan anak-anak. Rambut keriting, ikal, maupun lurus. Mungkin beberapa dari mereka beragama Katolik. Dan mungkin juga sebagiannya beragama Islam.

Pelabuhan Bung Karno. Dulu disebut dengan Pelabuhan Ende saja.


Suasana sore di Teluk Ende bagian barat. Pulau Ende terlihat di seberang lautan.


Rasanya pemandangan seperti itulah yang menjadi salah satu inspirasi Bung Karno. Sehingga ada ide tentang lima butir buah pikiran yang kelak menjadi dasar negara.

Sejenak, pikiran saya kembali pada tulisan di bawah pohon sukun. Yang terpatri pada batu marmer di Lapangan Perse.

Bahwa : di kota ini kutemukan lima butir mutiara, di bawah pohon sukun ini pula kurenungkan nilai-nilai luhur Pancasila. []

I Komang Gde Subagia - Ende, Juni 2019

Comments